Terbaru

Pro Kontra Penetapan 1 Dzulhijjah 1445 H (Bagian 1)

6/14/2024 06:40:00 PM

Pro Kontra Penetapan 1 Dzulhijjah 1445 H (Bagian 1)

6/14/2024 06:40:00 PM

Pengantar


Obrolan kita kali ini bermula dari kawan saya ustadz Faris BQ yang sedang berada di tanah suci dan membagikan berita tentang penetapan awal Dzulhijjah di Arab Saudi yang tak lama setelahnya tersiar ke seluruh penjuru dunia dengan cepatnya.


Media-media sosial semacam Whatsapp, Tiktok, Youtube, ataupun media-media resmi merilis bahwa Mahkamah Tinggi Kerajaan Arab Saudi (KSA) melalui lembaga Daairatul Ahillah-nya menetapkan bahwa 1 Dzulhijjah 1445 Hijriyyah jatuh pada hari Jumat yang bertepatan dengan 7 Juni 2024 Masehi berdasarkan laporan rukyatul hilal dari pemantau tersumpah yang mengaku melihat hilal di saat maghrib pada hari Kamis.


Maka dengan sendirinya bisa dihitung bahwa pelaksanaan Wukuf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah 1445 Hijriyyah akan bertepatan dengan hari Sabtu, 15 Juni 2024 Masehi lalu diikuti perayaan Iedul Adlha sehari setelahnya yang akan digelar pada hari Ahad, 16 Juni 2024 Masehi waktu Arab Saudi.


Sedangkan Republik Indonesia, melalui Sidang Itsbat Kemenag telah menetapkan bahwa 1 Dzulhijjah jatuh pada hari Sabtu, 8 Juni 2024 Masehi berdasar rukyatul hilal di waktu maghrib pada hari Jumat, sehingga Yaum Arafah 9 Dzulhijjah 1445 Hijriyyah akan bertepatan dengan hari Ahad 16 Juni 2024 Masehi dan Iedul Adlha 10 Dzulhijjah 1445 Hijriyyah akan dirayakan pada hari Senin 17 Juni 2024.


Pembaca barangkali memperhatikan penggunaan istilah Hijriyyah dan Masehi yang tak biasa di awal tulisan ini yang mungkin memantik pertanyaan dalam hati, mengapa tidak disingkat dengan huruf H dan M saja seperti biasa dijumpai dalam penggunaannya?


Well, untuk masalah ini, memang saya sengaja untuk tidak menyingkat istilah Hijriyyah dan Masehi hanya dengan huruf H dan M saja, karena poin ini akan menjadi pengingat kita tentang hal kecil namun sebenarnya besar dan bahkan menjadi kunci kita dalam memahami masalah. Namun, sabar dulu, saya akan berbicara tentang hal ini di akhir tulisan.


Mengapa Indonesia tidak ikut Arab Saudi?


Setelah berita itu tersebar ke khalayak ramai, mulailah terdengar pertanyaan simpel ini di mana-mana. Sekali waktu saya baca di grup-grup Whatsapp: "Mengapa Indonesia tidak ikut Arab Saudi? Kan cuma beda 4 jam?" Kali yang lain saya dengar celetukan dari salah seorang jamaah shalat yang duduk di belakang saya yang mempertanyakan hal yang sama.


Sejatinya, secara umum kaum muslimin Indonesia mengikuti ketetapan pemerintah ini. Namun tidak dipungkiri ada juga saudara-saudara kita yang mengikuti pandangan berbeda, misalnya takmir Masjid Al-Azhar di Jakarta memutuskan untuk berhari raya hari Ahad tanggal 16, seperti halnya masjid Mujahidin Perak Surabaya, masjid Al-Irsyad Surabaya juga 3 masjid di wilayah Bireuen Aceh. 


Sebelumnya juga sudah beredar digital flyer di beberapa grup tentang penyelenggaraan shalat Iedul Adlha di Pesantren Persis Bangil pada hari Ahad sebagaimana juga Pesantren Gontor, Majlis Tafsir Al-Quran dan Jamaah An-Nadzir Gowa yang mengumumkan hal yang sama.


Setelahnya, beberapa orang menghubungi saya melalui media perpesanan ataupun langsung melakukan panggilan suara untuk berbincang-bincang tentang pandangan-pandangan ini yang ringkasnya bersumber kepada dua pandangan:


1. Pelaksanaan puasa Arafah harus mengikuti wukuf di Arafah.


2. Pelaksanaan puasa Arafah harus mengikuti Mathla' masing-masing.


Pandangan yang pertama misalnya disampaikan oleh KH Muhammad Shiddiq Al-Jawi dalam tulisannya berikut ini:


"HUKUM BERPUASA ARAFAH BERBEDA DENGAN HARI WUKUF DI ARAFAH


Oleh: KH. Muhammad Shiddiq Al-Jawi


Haram hukumnya Muslim berpuasa Arafah pada hari yang berbeda dengan waktu wukuf di Padang Arafah. Inilah pendapat terkuat (râjih) dalam masalah ini berdasarkan dua dalil sebagai berikut:


Pertama, karena puasa hari Arafah yang berbeda dengan hari wukuf di Arafah telah menyimpang dari definisi syariah (al-ta’rîf al-syar’î) untuk hari Arafah (yauma ‘Arafah).


Imam Badruddin Al 'Aini menjelaskan bahwa "Hari Arafah" (yauma 'Arafah) menunjukkan waktu (al-zaman) dan tempat (al-makan) sekaligus. Dari segi waktu, hari Arafah adalah hari ke-9 bulan Dzulhijjah. Sedang dari segi tempat, hari Arafah adalah hari di mana para jamaah haji berwukuf di tempat yang dikenal dengan Padang Arafah. Jadi, hari Arafah tidak cukup didefinisikan sebagai hari yang ke-9 di bulan Dzulhijjah, namun wajib disempurnakan dengan redaksi, bahwa hari ‘Arafah adalah hari yang ke-9 di bulan Dzulhijjah ketika jamaah haji berwukuf di tempat bernama Padang ‘Arafah. (Badruddin Al-'Ainî, 'Umdatul Qâri Syarah Shahîh Al-Bukhârî, syarah hadits no. 603, 5/339; Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 5/44).


Jadi, definisi syar'i untuk "Hari Arafah" (yauma 'Arafah) adalah :


يَوْمَ عَرَفَةَ هُوَ اْليَوْمُ الَّذِيْ يَقِفُ فِيْهِ الْحَجِيْجُ بِعَرَفَةَ


“Hari ‘Arafah adalah hari yang para jamaah haji berwukuf di Arafah.” (yauma ‘arafah huwa al-yaumu alladzî yaqifu fîhi al hajîj bi-'arafah).


Definisi inilah yang dianggap kuat (râjih) oleh Al-Lajnah Ad-Dâimah Lil Buhûts Al-'Ilmiyyah wal Iftâ` (Dewan Tetap untuk Pengkajian Ilmiah dan Fatwa Saudi) di bawah pimpinan Syeikh Abdul Aziz bin Baz. Definisi ini juga dipilih oleh Lajnah Al-Iftâ Al-Mashriyyah (Dewan Fatwa Mesir), Syeikh Hisamuddin 'Ifanah dari Yordania, Syeikh Abdurrahman As-Sahim, dan lain-lain. (Abu Muhammad bin Khalil, An-Nûr As-Sâthi’ min Ufuq Al-Thawâli’ fi Tahdîd Yaumi ‘Arafah Idzâ Ikhtalafal Mathâli’, hlm. 3).


Definisi tersebut didasarkan pada beberapa dalil hadis. Di antaranya sabda Rasulullah SAW :


وَعَرَفَةُ يَوْمَ تَعْرِفُوْنَ


"Arafah adalah hari yang kamu kenal." ('arafah yauma ta'rifûn). (HR. Baihaqi, As-Sunan Al-Kubrâ, 5/176, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahîh Al-Jâmi', no 4224).


Maka dari itu, jika seorang Muslim berpuasa Arafah pada hari yang dianggapnya tanggal 9 Dzulhijjah, namun bukan hari wukuf di Padang Arafah, misalnya berpuasa satu hari sebelumnya maupun sesudahnya, berarti dia telah menyalahi hukum syariah.


Padahal Islam telah melarang seorang Muslim untuk melakukan amal yang menyalahi hukum syariah, berdasarkan dalil umum dari sabda Rasulullah SAW :


مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ


"Barangsiapa melakukan suatu perbuatan (amal) yang tidak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak." (HR. Bukhari no 2550; Muslim no 1718).


Kedua, karena berpuasa Arafah secara berbeda dengan waktu wukuf di Arafah telah menyalahi patokan wajib untuk menentukan Idul Adha dan rangkaian manasik haji di bulan Dzulhijjah, yaitu rukyatul hilal yang dilakukan oleh Wali Mekkah (penguasa Mekah). Dengan kata lain, patokannya bukanlah hisab, dan juga bukan rukyatul hilal di masing-masing negeri Islam berdasarkan prinsip ikhtilâful mathâli' (perbedaan mathla').


Yang lebih tepat, perbedaan mathla' tidak dapat dijadikan patokan (laa 'ibrata bikhtilâf al mathâli'), karena telah terdapat dalil khusus yang menunjukkan bahwa penentuan Idul Adha, termasuk waktu manasik haji seperti wukuf di Arafah, wajib mengikuti rukyatul hilal Wali Mekkah (Penguasa Mekkah), bukan yang lain. Jika Wali Mekkah (Penguasa Mekkah) tidak berhasil merukyat hilal, barulah kemudian Wali Mekah mengamalkan rukyat dari negeri-negeri Islam di luar Mekah.


Dari Husain bin Al-Harits Al-Jadali RA, dia berkata :


أنَّ أَمِيْرَ مَكَّةَ خَطَبَ ، ثُمَّ قَالَ : عَهِدَ إلَيْنَا رَسُوْلُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ أَنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤيَةَ ، فَإِنْ لَمْ نَرَهُ ، وَشَهِدَ شَاهِدَا عَدْلٍ نَسَكْنَا بِشَهَادَتِهِمَا


"Amir (penguasa) Mekah berkhutbah kemudian dia berkata, "Rasulullah SAW telah berpesan kepada kita agar kita menjalankan manasik haji berdasarkan rukyat. Lalu jika kita tidak melihat hilal, dan ada dua orang saksi yang adil yang menyaksikannya, maka kita akan menjalankan manasik haji berdasarkan kesaksian keduanya." (HR. Abu Dawud, hadis no 2340. Imam ad-Daraquthni berkata, "Hadis ini isnadnya muttashil dan shahih." Lihat Sunan Ad Daraquthni, 2/267. Syeikh Nashiruddin Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud (2/54) berkata, "Hadis ini shahih").


Hadis ini menunjukkan bahwa yang mempunyai otoritas menetapkan hari-hari manasik haji, seperti hari Arafah dan Idul Adha, adalah Amir Mekah (penguasa Mekah), bukan yang lain. Jika Wali Mekkah (Penguasa Mekkah) tidak berhasil merukyat hilal, barulah kemudian Wali Mekah mengamalkan rukyat dari negeri-negeri Islam di luar Mekah, misalnya dari Indonesia, Mesir, Maroko, dan sebagainya.


Maka berpuasa Arafah secara berbeda dengan hari Arafah karena mengikuti rukyat masing-masing negeri Islam, haram hukumnya, karena telah meninggalkan patokan wajib yang ditetapkan Rasulullah SAW, yaitu rukyatul hilal penguasa Mekah.


Sebagai penutup, kami tegaskan sekali lagi, bahwa kaum muslimin seluruh dunia wajib hukumnya mengikuti rukyatul hilal penduduk Mekkah dalam segala hal yang terkait dengan ibadah haji, misalnya kapan jadwal wukuf di Padang Arafah, kapan jadwal Idul Adha, dan sebagainya.


Dalilnya firman Allah SWT :


وَاذْكُرُوا اللّٰهَ فِيْٓ اَيَّامٍ مَّعْدُوْدٰتٍ ۗ


“Dan berzikirlah kamu [dalam ibadah haji] kepada Allah pada hari-hari yang telah ditentukan jumlahnya.” (QS Al-Baqarah : 203)


Imam Ibnul ‘Arabi menafsirkan ayat tersebut dengan berkata:


[ ... وَأَنَّ سَائِرَ أَهْلِ اْلآفَاقِ تَبِعٌ لِلْحَاجِ فَيْهَا] . أحكام القرآن 1/143.


“Bahwa seluruh umat Islam dari berbagai belahan dunia wajib hukumnya mengikuti jamaah haji di Mekkah.” (Imam Ibnul ‘Arabi, Ahkâmul Qur`ân, Juz I, hlm. 143).


Syekh Dr. Muhammad Sulaimân Al-Asyqâr mengatakan :


إِنَّ الْمُسْلِمِيْنَ فِيْ جَمِيْعِ أَقْطَارِ الْعَالَمِ اْلإِسْلاَمِيِّ قَدْ أَجْمَعُوْا إِجْمَاعاً عَمَلِيّاً مُنْذُ عَشَرَاتِ السِّنِيْنَ عَلىَ مُتَابَعَةِ الْحُجَّاجِ فِيْ عِيْدِ اْلَأْضْحَى وَلاَ يَجُوْزُ لِأَيِّ جِهَةٍ أَوْ مَجْمُوْعَةٍ مِنَ النَّاسِ مُخَالَفَةُ هَذَا اْلإِجْمَاعِ


“Sesungguhnya kaum muslimin di seluruh penjuru Dunia Islam telah sepakat dengan kesepakatan yang bersifat ‘amal (dipraktikkan) (Arab : ijmâ’ ‘amali) semenjak puluhan tahun yang lalu untuk mengikuti para jamaah haji dalam Idul Adha, dan tidak boleh bagi pihak atau kelompok mana pun untuk menyalahi ijma’ ini. (Syekh Husamuddin ‘Ifanah, Al-Fatâwâ, Juz VI, hlm. 10; https://al-maktaba.org/book/10517/452). Wallahu a'lam.[*]"


Pandangan ini diamini dan juga disampaikan oleh ustadz Felix Siauw dan Ir. Muhammad Ismail Yusanto M.M dalam unggahan videonya.


Ada pula yang menyampaikan dengan lebih simpel bahwa kita diperintahkan untuk berpuasa Arafah saat orang-orang wukuf di Arafah, tanpa peduli tanggal dan harinya.


Sedangkan pandangan yang kedua diikuti oleh beberapa ormas Islam terbesar Indonesia seperti Muhammadiyah, Persatuan Islam ataupun Nahdlatul Ulama'.


Dalam salah satu artikel berjudul "Puasa Arafah, Haruskah Bertepatan Dengan Wukuf?", redaksi website Muhammadiyah menuliskan:


"Pada dasarnya puasa Arafah, wukuf di padang Arafah dan tanggal 9 Zulhijah adalah satu kesatuan (terjadinya pada hari yang sama), sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Qudāmah: Adapun hari Arafah adalah hari kesembilan di bulan Zulhijah, dinamakan demikian karena wukuf di padang Arafah dilaksanakan pada hari tersebut (hari kesembilan Zulhijah) (al-Mughni:1/112). 


Namun berdasarkan penjelasan di atas, Nabi saw dan para Sahabat sudah terbiasa puasa pada hari Arafah meskipun tidak ada dan belum terlaksananya wukuf di padang Arafah oleh umat Islam saat itu. Hal itu menunjukkan bahwa penamaan puasa Arafah tidak dikarenakan adanya jamaah Haji yang sedang wukuf di padang Arafah, tetapi puasa yang dilaksanakan pada tanggal 9 Zulhijah, saat di mana semestinya dilaksanakan wukuf. 


Oleh karena itu, apabila pada tahun ini umat Islam tidak dapat melaksanakan ibadah Haji akibat adanya wabah Covid-19, umat Islam tetap disyariatkan untuk melaksanakan puasa Arafah sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Nabi saw dan para sahabat beliau."


Senada dengan itu, Dr. H. Jeje Zaenudin, M.A, ketua umum PP Persatuan Islam menuliskan edaran digital ringkas yang tersebar di grup-grup Whatsapp sebagai berikut:


"TUJUH ALASAN SHAUM ARAFAH BERDASARKAN TANGGAL NEGERI SENDIRI


Oleh : Dr. H. Jeje Zaenudin Abu Himam MA


  • Penyebutan istilah “hari ‘Arofah” pada asalnya adalah untuk tanggal, bukan pada tempat atupun aktivitas tertentu. Hari ‘Arofah adalah tanggal sembilan Dzulhijah, baik ada yang wukuf ataupun tidak, baik ada yang puasa ataupun tidak. Karena penyebutan nama hari jika pada nama hari-hari dalam sepekan maka maksudnya adalah benar-benar nama hari tersebut secara hakiki. Umpamanya “yaum isnaen” artinya Hari Senin, tidak ada kaitannya dengan tanggal. Hari Senin bisa tanggal berapa saja. Tetapi jika disebut nama hari yang bukan kepada nama hari yang tujuh dalam seminggu itu maknanya adalah tanggal. Umpamanya dikatakan, “ayyamul bid” (hari-hari purnama) maksudnya adalah tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan; “yaum tarwiyah” artinya tanggal delapan Dzulhijah, “yaum tasyrik” artinya tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah, tidak peduli ia jatuh pada hari apa saja. Maka demikian juga jika dikatakan “shaum yaum ‘arofah” maksudnya puasa tanggal sembilan dzulhijah, tidak peduli jatuh pada hari senin, selasa, rabu, kamis, jum’at, sabtu, ataupun ahad.

  • Bahwa perintah puasa ‘Arofah adalah “Shaum yaum ‘arofah”. Artinya “puasa pada hari ‘Arafoh” bukan puasa karena adanya perbuatan wukuf di ‘Arofah, bukan pula “puasa karena tempat ‘Arofah”. Perhatikanlah perbedaannya dengan cermat karena di sinilah letak perselisihannya. Sebab jika ‘Arofah sebagai tempat dan sebagai aktivitas wukuf menjadi syaratnya, maka puasa Arofah hanya ada jika ada yang wukuf di ‘Arofah.

  • Puasa ‘Arofah sudah disyariatkan sejak tahun kedua Hijrah sedang syariat ibadah haji baru pada tahun ke enam atau ke sembilan Hijrah. Jadi selama empat atau tujuh tahun, kaum muslimin puasa ‘Arofah tanpa memperhatikan kapan jamaah haji wukuf, atau tanpa memperhatikan ada atau tidak adanya yang wukuf di ‘Arofah.

  • Pelaksanaan puasa ‘Arofah dengan tidak memperhatikan penanggalan setempat akan menimbulkan permasalahan baru yang lebih sulit, yaitu penentuan hari lebaran Idul Adha nya. Kalau memang ada dalil yang diperselisihkan tentang pengertian puasa ‘Arofah, apakah untuk Idul Adhanya juga harus mengikuti penanggalan Saudi? Maka akan terjadi kekacaun penanggalan bulan Dzulhijah selanjutnya yaitu setelah tanggal sepuluh. Kecauli kalau mau konsisten untuk sepanjang tahun tidak menggunakan penanggalan negeri masing-masing tetapi menggunakan penanggalan tunggal mengikuti hasil ru’yat Saudi dengan konsekwensi negeri-negeri muslim seluruh dunia tidak akan punya kalender melainkan menunggu ketetapan ru’yat Negara Saudi pada setiap awal hulan.

  • Fakta ilmiyah menunjukan bahwa negeri-negeri muslim terbagi pada dua wilayah mathla’ (tempat munculnya hilal) yang terkadang berbarengan terkadang berbeda. Karena munculmya hilal tidak menetap pada posisi dan ketinggian yang sama setiap awal bulan nya. Demikian juga perbedaan waktu antara satu negeri muslim di wilayah barat dengan negeri muslim di wilayah timur ada yang terpaut sampai 12 jam. Sementara pelaksanaan wukuf hanya sekitar enam jam, yaitu dari bada Zhuhur sampai Magrib. Sehingga jika kaum muslimin yang tinggal di sebagian benua Amerika yang beda waktunya antara tujuh sampai delapan jam, maka ia tidak dapat menunaikan ibadah puasa ‘Arofah karena pelaksanaan wukufnya sudah selesai. Sebaliknya kaum muslimin yang ada di Australia juga tidak bisa puasa ‘Arofah karena ketika wukuf baru mulai mereka sudah waktu malam.

  • Fakta historis bahwa selama berabad-abad lamanya kaum muslimin di dunia melaksanakan puasa Ramadhan maupun Arofah berpatokan kepada penanggalan negara masing-masing. Sejak wafatnya Rasulullah hingga abad ke dua puluh, tidak ada satupun negeri muslim yang menyesuaikan penanggalan mereka kepada ru’yat negara Saudi, keculai setelah diketemukannya alat komunikasi dan transformasi yang canggih sekarang ini. Bagaimana mungkin akan memberi tahukan hasil ru’yat di Saudi ke pusat khalifah Islam di Bagdad dan Qordova pada masa itu, atau ke pusat Islam di Jawa dan Sumatra, atau ke pusat Islam di India, dan lain sebagainya. Kecuali ke negeri-negeri Islam yang berada di sekeliling Mekah atau Jazirah Arab, dan itu memang hal yang rasional serta realistis.

  • Tidak ada dalil yang mengkhususkan atau yang membedakan antara ketentuan ru’yat untuk Idul fitri dengan ru’yat Idul Adha. Rasul bahkan bersabda, “Siapa di antara kamu yang sudah melihat Hilal Dzulhijah dan hendak berqurban, maka janganlah ia mencukur rambut dan jangan menggunting kukunya”. (hadits Sahih Muslim). Demikian pula sabda Rasulullah, “Lebaran adalah pada saat kalian berlebaran dan berkurban adalah pada saat kalian berqurban”. (Hadits sahih riwayat Tirmidzi). Kedua hadits tersebut berlaku bagi setiap negeri muslim, bukan hanya untuk Saudi Arabia saja. Wallahu’alam."


Di Mana Titik Temu dan Titik Tengkarnya?


Bila diringkas, kedua belah pihak bersepakat:


  • Bahwa Yaum Arafah itu tertanggal 9 Dzulhijjah.
  • Bahwa pelaksanaan wukuf dan manasik haji mengikuti rukyatul hilal penduduk Makkah.


Adapun titik tengkarnya adalah:


  • Apakah Arafah itu berkaitan dengan momen terjadinya wukuf di Arafah atau tidak?


Pihak pertama menyatakan bahwa Arafah juga terkait dengan momen wukuf, berdasar kepada definisi yang disetujui oleh Al-Lajnah Ad-Dâimah Lil Buhûts Al-'Ilmiyyah wal Iftâ` Arab Saudi juga Lajnah Al-Iftâ Al-Mashriyyah Mesir yang didasarkan kepada sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam:


وَعَرَفَةُ يَوْمَ تَعْرِفُوْنَ


"Arafah adalah hari yang kamu kenal." (HR. Baihaqi).


Adapun pihak kedua menyatakan bahwa istilah Arafah tidak ada hubungannya dengan momen wukuf dengan dasar bahwa secara faktual syariat puasa Arafah sudah diturunkan sejak tahun kedua Hijriyyah, sedang syariat haji baru pada tahun keenam (bila dilihat saat terjadinya Umrah Hudaibiyyah) atau pada tahun kesembilan Hijriyyah yang menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan kaum muslimin melakukan puasa Arafah tiap tahun selama empat atau tujuh tahun pertama itu tanpa mengindahkan atau mencari tahu apakah di Arafah ada wukuf atau tidak. Bagaimana harus mencari tahu, sedangkan syariat wukufnya saja belum ada.


Hal ini didukung oleh kisah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam saat wukuf di Arafah saat berhaji di mana para shahabat bertanya-tanya apakah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berpuasa Arafah atau tidak. Sebagian shahabat ada yang berpuasa Arafah ada yang pula yang tidak, yang menunjukkan bahwa mereka sudah terbiasa di tahun-tahun sebelumnya berpuasa Arafah bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam tanpa tahu apakah di Arafah ada wukuf atau tidak.


Hal ini juga didukung oleh fakta sejarah bahwa penduduk Makkah yaitu kaum Quraisy tidak pernah wukuf di Arafah karena mereka selalu wukuf di Muzdalifah karena menganggap mereka lebih mulia dari kabilah lainnya yang kemudian hal itu baru dihapus oleh perintah Allah dalam surah Al-Baqarah 199 yang memerintahkan kaum muslimin untuk berbondong-bondong turun dari Arafah sebagai ganti wukuf di Muzdalifah.


Kalaupun di tahun-tahun kedua hingga keenam itu kabilah-kabilah selain Quraisy melakukan wukuf di Arafah, maka bisa kita pastikan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam tidak mengutus orang untuk mencari tahu kapan wukuf di Arafah saat itu karena tidak ada riwayat yang mengisahkan hal itu, juga jarak yang sangat jauh (Makkah Madinah saat itu biasanya ditempuh 12 hari jalan kaki atau 24 hari pulang pergi yang berpotensi terlambat puasa Arafah), juga karena yang wukuf di Arafah itu pastilah kaum musyrikin (karena syariat wukuf baru muncul tahun keenam atau kesembilan Hijriyyah), juga karena saat itu kaum muslimin sedang terlibat serangkaian peperangan dengan Quraisy.


Dengan demikian kita bisa yakin bahwa Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasallam melakukan puasa Arafah hanya berdasar rukyatul hilal penduduk Madinah dan bukan karena mengetahui ada atau tidaknya wukuf di Arafah.


Lalu bagaimana dengan definisi yang digunakan oleh Al-Lajnah Ad-Daimah dan Daar Al-Iftaa'?


Maka jawabannya adalah bahwa definisi tersebut disesuaikan dengan fenomena wukuf pada masa-masa berikutnya hingga masa sekarang yang menyebabkan perubahan definisi dari yang sederhana dan ringkas seperti definisi Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam: "Arafah Yauma Ta'rifuun" bahwa "Arafah adalah hari yang kamu kenal" menjadi definisi berpenjelasan: "Yauma ‘arafah huwa al-yaumu alladzî yaqifu fîhi al hajîj bi-'arafah" yaitu "Hari ‘Arafah adalah hari yang para jamaah haji berwukuf di Arafah," yang dirilis lembaga-lembaga fatwa tersebut, yang tentu saja sudah sesuai dengan sudut pandang kesesuaian zaman dan tentu saja masih bisa diperdebatkan juga.


Sebab bila definisi ini diikuti secara kaku bahwa ia berlaku mundur bahkan hingga di masa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, maka bagaimana dengan status puasa Yaum Arafah yang dilakukan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pada tahun kedua hingga tahun keenam atau kesembilan Hijriyyah yang tidak mengindahkan ada atau tidaknya wukuf di Arafah itu? Sah atau tidak?


Atau bagaimana dengan status puasa Yaum Arafah saat pemerintahan Arab Saudi memutuskan tidak ada wukuf di Arafah di masa pandemi Covid-19 yang lalu? Apakah Yaum Arafah-nya saat itu hilang sehingga tidak boleh dipuasai?


Tentu saja kedua belah pihak akan menyatakan bahwa Yaum Arafah tetap ada, meskipun tidak ada wukuf di Arafah.


Karena itu, definisi terakhir ini sebenarnya mudah didudukkan, yaitu bahwa Yaum Arafah itu memang disepakati fenomenanya sebagai hari berkumpulnya para jamaah haji di padang Arafah untuk melaksanakan wukuf, yang tanggalnya sudah ijmak disepakati dan diketahui seluruh kaum muslimin yaitu tanggal 9 Dzulhijjah. Karena itu tidak bisa secara kaku diikuti hanya karena momen wukufnya saja.


Terlebih lagi, sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam "Arafah Yauma Ta'rifuun" bahwa "Arafah adalah hari yang kamu kenal" adalah kalimat yang muhtamal yang mempunyai dua kemungkinan makna, yaitu kemungkinan ditarik ke momen wukuf atau ditarik ke tanggalnya.


Karena mempunyai dua kemungkinan, maka tidak bisa sabda beliau hanya ditarik ke salah satu kemungkinan itu tanpa ada dalil atau alasan lain. Sebab dalam ilmu ushul fiqh, yang seperti ini disebut tahakkum alias maksa.


Satu-satunya alasan pihak pertama dalam menarik sabda beliau ke definisi yang mereka ikuti adalah fenomena wukufnya para jamaah haji di Arafah, tidak ada yang lain. Sayangnya, alasan ini sudah terbantah dengan fakta sejarah ataupun fakta masa Covid-19.


Dan anehnya, kalau memang Yaum Arafah dalam definisinya hanya dihubungkan dengan momen wukuf, mengapa menurut pihak pertama juga dihubungkan sekaligus dengan tanggalnya?


Pertanyaan berikutnya, apakah pihak kedua juga punya alasan menarik sabda beliau ke tanggalnya saja tanpa momen wukuf? Sebab kalau tidak ada, maka pihak kedua berarti tahakkum juga kan?


Maka jawabannya mudah, karena menghubungkan Yaum Arafah dengan tanggal 9 Dzulhijjah adalah ijmak kaum muslimin, yang bahkan pihak pertama pun juga setuju.


  • Apakah penetapan wukuf berdasar rukyatul hilal penduduk Makkah sebagai penetapan Yaum Arafah berlaku untuk seluruh dunia saat itu juga?


Barangkali bagian ini yang paling sulit untuk menjelaskannya karena ada hal kecil yang sangat mempengaruhi penerapannya. Tetap ikuti beberapa bahasan berikutnya.


Garis Tanggal Hijriyyah dan Masehi


Masih ingat di awal tulisan ini saya menuliskan istilah Hijriyyah dan Masehi dengan lengkap dan tidak disingkat?


Nah, kita mulai ngobrol tentang garis tanggal internasional Masehi terlebih dahulu. Perhatikan ilustrasi berikut:




Dimulai dari eksplorasi bangsa eropa dan penanggalan mereka, lalu menjadi kesepakatan internasional, bahwa pergantian tanggal internasional di mulai di tengah samudra pasifik. Saat garis tengah itu berada pada pukul 00:00 maka wilayah di sebelah barat sudah masuk hari baru, sedangkan yang di sebelah timur, tertinggal sehari, yang artinya jika wilayah barat (asia, australia, afrika dan eropa) hari senin, maka wilayah timur (amerika) masih hari ahad.


Kalender masehi dibuat juga berdasar perubahan ini. Karena itulah perayaan tahun baru juga bergeser tiap jam dari satu garis waktu ke garis waktu berikutnya selama 24 jam, yang berarti wilayah di tengah pasifik menjadi wilayah pertama yang merayakan tahun baru. Perhatikan ilustrasi berikut:




Garis merah menunjukkan garis tanggal internasional, perhatikan warna lingkaran yang berbeda dari warna hijau yang berbuah merah lalu berubah biru yang menunjukkan perbedaan hari dari satu tempat di sebelah barat dibanding tempat di sebelah timur.


Kita terbiasa dengan perbedaan tanggal ini karena seluruh sistem penanggalan Masehi ini kita praktekkan dalam seluruh aktifitas dan agenda-agenda kita setiap hari, dari mulai kalender pendidikan, kalender kantor, hingga kalender shalat dan ibadah. Padahal tidak sesuai dengan aturan syariat karena ada perbedaan mendasar dalam konsepnya.


Kalender Masehi didasarkan atas hubungan bumi dan matahari, wabil khusus fakta pergantian harinya dimulai pada pukul 00:00 di tengah malam. Mengapa pukul 00:00? Mengapa tidak pukul 12:00 saja? Mengapa di tengah malam? Mengapa tidak ketika matahari terbit saja? Ini tentu saja kembali kepada konsensus atau kesepakatan internasional yang menetapkan demikian yang kita tak berdaya mengubahnya kecuali semua sepakat untuk mengubahnya.


Sedangkan kalender Hijriyyah didasarkan atas hubungan bumi dan bulan, wabil khusus fakta pergantian harinya dimulai sejak matahari tenggelam alias saat maghrib dan bukan pukul 00:00 tengah malam. Mengapa saat maghrib? Mengapa tidak saat fajar? Ini tentu saja kembali kepada kesepakatan bangsa Arab yang memahami pergantian hari dimulai dari masuknya malam. Karena itu istilah yang banyak kita jumpa dalam kitab-kitab tarikh berbahasa arab sering kali menyebutkan ungkapan: malam senin, malam kamis, malam jumat dst tidak pernah jamnya.


Maka perlu diperhatikan bahwa pergantian hari dalam kalender Hijriyyah dimulai saat maghrib, dan pergantian bulannya dimulai saat muncul hilal.


Berbeda dengan garis tanggal internasional kalender Masehi yang selalu tetap di sekitar samudra pasifik karena memang ditetapkan oleh manusianya atau seluruh negara, garis tanggal internasional kalender Hijriyah selalu berubah dan tidak pernah tetap karena ditentukan oleh kapan pertama kali hilal terlihat.


Karena itu, saya sering berangan-angan ingin membuat jam baru yang islami, yaitu memulai titik jam 00:00 tepat saat maghrib, bukan saat tengah malam. Sehingga isya berarti pukul 01:10, lalu fajarnya pukul 10:00, zhuhurnya jam 16:30, asharnya jam 19:30, lalu kembali ke maghrib pukul 24:00 atau 00:00. Konsep jam ini bolehlah kita sebut sebagai jam Hijriyyah atau jam Arabiyyah untuk membedakannya dengan jam Masehi.


Kalau kita kaji istilah-istlah waktu di masa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam maka kita tidak pernah menemukan penggunaan angka jam untuk menunjukkan waktu. Bahasa Arab dan penggunaannya di masa risalah hanya mengenal nama waktu seperti fajar, syuruq, dluha, hajirah, zhuhur, ashr, maghrib, isya', atamah, yang kemudian di masa modern dicoba ditentukan jamnya.


Kembali ke masalah yang sedang kita bahas, bahwa konsep 24 jam, memanglah konsep Masehi, yang kemudian merembet mempengaruhi pula cara kita menghitung jam Hijri. Nah, di sinilah sebenarnya penyebab titik tengkar masalah ini. Hal kecil yang saya sebutkan beberapa kali sebelumnya namun penting dan menjadi kunci memahami masalah. Yaitu kesalahpahaman atas hakikat penghitungan waktu secara syar'i karena menggunakan penghitungan jam Masehi.


Sebagai ilustrasi untuk memahami lebih jauh, saya tunjukkan data penampakan hilal awal Dzulhijjah tahun 1444 H/2023M:




Arsiran warna hijau menunjukkan wilayah yang bisa melihat hilal dengan mata telanjang, yang menunjukkan bahwa Indonesia masuk dalam wilayah yang pertama kali melihat hilal Dzulhijjah 1444H atau mengikuti jam Hijriyyah yang saya buat, berarti Indonesia masuk pukul 00:00 Waktu Hijriyyah Indonesia tanggal 1 Dzulhijjah 1444H.


Agak asing memang mendengar istilah Waktu Hijriyyah Indonesia (WHI). Tapi, saya mohon anda tetap mengikuti dan juga memohon agar anda melupakan sementara hari dan tanggal Masehinya.


Empat jam berikutnya, hilal juga nampak di Arab Saudi, yang berarti pukul 04:00 Waktu Hijriyyah Indonesia, tanggal 1 Dzulhijjah 1444H juga.


Karena itulah tahun lalu, Indonesia dan Arab Saudi merayakan Idul Adha pada tanggal yang sama karena memang tanggalnya juga sama.


Adapun tahun ini, pukul 00:00 Hijriyyah itu bergeser. Perhatikan data penampakan hilal Dzulhijjah 1445H/2024M berikut:



Sesuai dengan arsiran warna hijau yang menunjukkan wilayah yang bisa melihat hilal dengan mata telanjang, maka bisa dikatakan, wilayah yang pertama kali melihat hilal saat maghrib adalah wilayah Asia timur seperti China, Vietnam, Kamboja, yang berarti itulah titik 00:00 Hijriyyahnya di mana wilayah itu masuk 1 Dzulhijjah 1445H.


Lalu 3,5 jam berikutnya di Arab Saudi terlihat juga hilal itu, karena itu Arab Saudi juga masuk 1 Dzulhijjah 1445H.


Sementara Indonesia saat maghrib tidak terlihat hilal, karena itu Indonesia masih berada di tanggal 30 Dzulqa'dah 1445H.


Barulah setelah waktu bergeser pukul 23:00 Hijriyyah, Indonesia melihat hilal dan masuk 1 Dzulhijjah 1445H. Yang berarti Indonesia tertinggal 23 jam dari titik awal penampakan hilal di Asia timur, atau tertinggal 20 jam dari Arab Saudi. Tapi ingat, masih satu tanggal, yaitu 1 Dzulhijjah 1445H dan belum melebihi 24 jam. Berdasar ini, pemerintah Indonesia lalu menetapkan masuknya 1 Dzulhijjah dan sudah tepat.


Karena itu saya merasa aneh ketika banyak orang menganggap Indonesia berbeda dengan Arab Saudi.  Apanya yang berbeda? Bukankah masih satu tanggal? Kan masih 1 Dzulhijjah juga?


Di sinilah masalahnya. Sebab pihak yang mengatakan Indonesia itu berbeda dengan Arab Saudi, karena melihat dan menggunakan penanggalan Masehi dan jam/waktu Masehi yang titik 00:00-nya tetap di pasifik itu.


Saat maghrib Kamis malam Jum'at tanggal 6 Juni 2024 Masehi yang lalu, hilal terlihat di Arab Saudi, lalu diumumkan bahwa 1 Dzulhijjah dimulai hari Jumat tanggal 7 Juni 2024 Masehi, yang secara Masehi memang benar, tapi tertinggal 6 jam dari waktu yang sebenarnya saat maghrib 1 Dzulhijjah.


Sedang di Indonesia hilal terlihat maghrib Jumat malam Sabtu, lalu diumumkan bahwa 1 Dzulhijjah bertepatan dengan hari sabtu tanggal 8 Juni 2024 Masehi, yang secara Masehi juga benar, tapi tersisa hanya 1 jam sebelum masuk tanggal 2 Dzulhijjah.


Demikianlah, bila kita lupakan kalender Masehi ini saat penetapan tanggal Hijriyyah, maka sebenarnya tidak ada perbedaan substansi. Bahkan bila dilihat dari sudut pandang pihak pertama ataupun pihak kedua.


Karena itu, pertanyaan "Bukankah Indonesia mendahului Arab Saudi 4 jam?" adalah pertanyaan yang muncul karena kebingungan akibat pengaruh penanggalan Masehi.


Sebenarnya masih banyak yang hendak saya obrolkan, namun kita akan lanjutkan di tulisan kedua.

Pengantar Obrolan kita kali ini bermula dari kawan saya ustadz Faris BQ yang sedang berada di tanah suci dan membagikan berita tentang penet...

Terbaru

recentposts

Sementara Itu

randomposts