Saat Ijtihad Bertransformasi Menjadi Ijma'

Seperti biasa, tiap selasa bakda ashar, saya melanjutkan kajian kitab kecil berjuluk As-Sullam, yang kali ini saya ditemani Ihab dan Lubab, dua kakak beradik putra dari Allahuyarham ustadz Hud A.M.

Sampailah kajian kami kali ini pada bab Al-Ijma' yang membawa kami kepada perenungan tentang terjadinya proses ijma' itu.

www.qposts.com

Dalam diskusi sore itu, saya ungkapkan bahwa ijma' pada asalnya adalah proses seleksi ijtihad-ijtihad terkuat yang kemudian disepakati oleh seluruh khalayak. Saat pernyataan saya dipertanyakan oleh Ihab dan Lubab, maka saya paparkan ulang beberapa kasus ijma' di masa shahabat yang mendukung pernyataan tersebut.

Pada kasus Jam'ul Qur'an, Umar Radhiyallahu 'Anhu menyampaikan ijtihadnya kepada khalifah Abu Bakar Radhiyallahu Anhu tentang perlunya pengumpulan naskah-naskah Al-Qur'an yang saat itu sudah tertulis di berbagai macam media seperti kulit hewan, tulang belikat onta atau pelepah kurma yang dimiliki oleh banyak shahabat, agar menjadi satu mushhaf utuh yang nantinya akan disimpan oleh khalifah.

Ijtihad Umar Radhiyallahu Anhu ini muncul setelah melihat banyaknya huffazh para penghafal Al-Qur'an yang gugur di medan jihad yang karenanya menimbulkan kekhawatiran beliau terhadap kelestarian Al-Qur'an di masa berikutnya.

Saat ijtihad ini disampaikan kepada khalifah Abu Bakar Radhiyallahu Anhu, beliau menolak dengan keras karena dalam ijtihad beliau sendiri hal ini sudah termasuk melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Bahasa tegasnya: ini bid'ah, dan tentu pembaca paham bagaimana kerasnya para shahabat bila berbicara pasal bid'ah.

Kemudian, bila kita analisis ijtihad Umar Radhiyallahu Anhu, beliau berhujjah dengan intisari kaidah Adh-Dhararu Yuzaal, bahwa suatu bahaya itu harus dihilangkan, yang dalam kasus ini adalah bahaya lenyapnya Al-Qur'an atau ketidaklengkapannya di masa yang akan datang akibat tidak ada lagi yang menghafalnya atau menyimpan salinannya secara utuh.

Sedangkan ijtihad Abu Bakar Radhiyallahu Anhu berdasar kepada kewajiban mentaati nash yang melarang membuat bid'ah dalam Agama, tanpa mengesampingkan fakta bahwa Al-Qur'an adalah salah satu pokok utama bahkan dasar dari agama ini.

Lalu pada lanjutan kisah diskusi dua orang shahabat besar ini kita mengetahui bahwa Umar Radhiyallahu Anhu berhasil meyakinkan Abu Bakar Radhiyallahu Anhu bahwa pengumpulan Al-Qur'an benar-benar kebutuhan kaum muslimin yang bila kita analisis kedua ijtihad tersebut kita akan temukan bahwa kebutuhan kaum muslimin terhadap mushhaf imam, melebihi bahaya bid'ah yang digambarkan, sebab tuduhan bid'ah inipun masih bisa didudukkan karena sejatinya pengumpulan Al-Qur'an sudah pernah dilakukan di masa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam meskipun tidak dalam bentuk satu mushhaf yang lengkap.

Setelah itu, Abu Bakar Radhiyallahu Anhu menghubungi Zaid bin Tsabit Radhiyallahu Anhu agar mau memimpin lajnah pengumpulan Al-Qur'an ini. Namun sekali lagi, diskusi yang mirip dengan diskusi sebelumnya terjadi, namun kali ini Abu Bakar Radhiyallahu Anhu menempati posisi Umar Radhiyallahu Anhu yang berusaha meyakinkan Zaid Radhiyallahu Anhu tentang ide ini hingga akhirnya Zaid Radhiyallahu Anhu pun menerima ide jam'ul quran itu.

Nah, dari kisah ini kita bisa melihat bagaimana dua ijtihad tersebut mengerucut menjadi satu ijtihad yang kemudian disepakati oleh semua pihak sehingga bertransformasi menjadi ijma'. Artinya, ijma' itu pada asalnya adalah ijtihad yang diadu hujjahnya dengan ijtihad lainnya hingga menjadi ijtihad terpilih yang kemudian disepakati dan naik derajatnya menjadi ijma'.

Perlu diingat pula bahwa Al-Ijtihaad Laa Yunqadhu Bil Ijtihaad, yang artinya bahwa ijtihad dari seorang mujtahid, tidak dapat digugurkan oleh ijtihad dari mujtahid yang lain.

Namun saat satu ijtihad menjadi ijtihad yang terpilih dan disepakati oleh semua pihak hingga menjadi ijma', maka ijma' ini tidak dapat diselisihi, tidak boleh diingkari dan harus dilaksanakan isinya sepanjang zaman sebagaimana nash-nash Al-Qur'an dan Sunnah.

Hal ini menunjukkan bahwa saat terjadi ijma', mujtahid yang ijtihadnya marjuuh atau lemah, secara sukarela melepaskan dan meninggalkan ijtihadnya sendiri dan berbalik mendukung ijtihad raajih atau yang kuat dari mujtahid lainnya hingga menjadi ijtihad terpilih yang meningkat menjadi ijma'.

Hal ini tidak menunjukkan bahwa ijtihad yang marjuuh tersebut digugurkan oleh ijtihad yang raajih yang lalu dianggap menyalahi kaidah Al-Ijtihaad Laa Yunqadhu Bil Ijtihaad, sama sekali tidak.

Ijtihad yang marjuuh itu tetap diakui keberadaannya dalam sejarah, namun tidak lagi didukung apalagi digunakan sebagaimana Abu Bakar dan Zaid Radhiyallahu Anhuma meninggalkan ijtihadnya.

Namun tetap saja ijtihad mereka tercatat dalam riwayat dan sejarah sebagai suatu pelajaran, baik dari sisi ilmu ijtihad -yang menunjukkan bagaimana cara ber-istidlal, cara munaqasyah yang bahkan ijtihad marjuuh ini menjadi specimen abadi untuk masa yang akan datang bila kemudian muncul permasalahan ummat yang mirip dengan permasalahan yang mereka hadapi-, ataupun dari sisi ilmu akhlak -yang menunjukkan bagaimana berpegang teguh kepada ajaran Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan kebesaran hati mereka dalam menerima pendapat-.

Kembali kepada diskusi saya dengan Ihab dan Lubab. Sekarang muncul pertanyaan baru, bagaimana bila pada suatu zaman, ijtihad marjuuh ini tanpa sengaja hidup kembali lalu muncul sebagai pertimbangan baru di kalangan mujtahidin.

Misalnya, di zaman sekarang banyak orang enggan menunaikan zakat. Sedangkan ijma' para shahabat menyatakan bahwa mereka yang tidak menunaikan zakat akan diperangi menggunakan senjata. Lalu, muncul ijtihad marjuuh yang dulu pernah muncul sebelum terjadi ijma' yang menyatakan bahwa mereka yang enggan membayar zakat tidak diperangi.

Apakah boleh ijtihad marjuuh ini menggantikan ijma' karena ada perubahan zaman?

Dalam riwayat terkait hal ini dikisahkan khalifah Abu Bakar Radhiyallahu Anhu berijtihad dan berniat untuk memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat. Sedangkan Umar Radhiyallahu Anhu berijtihad bahwa mereka ini tidak perlu diperangi karena masih muslim dan masih memegang syahadatnya. Namun Abu Bakar Radhiyallahu Anhu menyebutkan dasar ijtihadnya bahwa mereka yang enggan menunaikan zakat pada hakikatnya telah memisahkan antara kewajiban shalat dan kewajiban zakat, di mana mereka bersedia shalat yang merupakan hak Allah atas ibadah jasadiyyah mereka, namun enggan menunaikan zakat yang merupakan hak Allah atas harta benda mereka.

Lalu Abu Bakar Radhiyallahu Anhu meyakinkan Umar Radhiyallahu Anhu dengan menyatakan bahwa: "Kalau seandainya mereka enggan menyerahkan seutas tali yang dulu biasa mereka serahkan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, maka sungguh aku akan perangi mereka karena itu." Yang dengan itu Umar Radhiyallahu Anhu setuju dan menganggap ijtihad Abu Bakar Radhiyallahu Anhulah yang benar. Maka dengan itu terjadilah ijma' dan dengan jelas Umar Radhiyallahu Anhu meninggalkan ijtihadnya sendiri dan berbalik mendukung ijtihad Abu Bakar Radhiyallahu Anhu yang menjadi ijtihad terpilih yang kemudian menjadi ijma' shahabat tersebut.

Kembali ke pertanyaan baru sebelumnya. Lalu bagaimanakah nasibnya kaum muslimin yang menolak atau abai membayar zakat di masa sekarang? Apakah kita mesti mengikuti ijma' di masa Abu Bakar Radhiyallahu Anhu dengan cara memerangi mereka? Ataukah ijtihad marjuuh dari Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu bisa dijadikan pertimbangan kembali?

Tunggu kelanjutannya...

(Dari ide pada 29 Oktober 2019)

No comments:

Post a Comment

Terbaru

recentposts

Sementara Itu

randomposts