Setelah lebih dari tiga tahun tidak mengajarkan Ushul Fiqh, akhirnya saya diberi kesempatan oleh Allah Ta'ala untuk muraja'ah kembali ringkasan ilmu ini dengan cara mengajar. Tidak tepat disebut mengajar sih sebenarnya, sebab tidak ada ikatan waktu yang kaku, kelas yang ditentukan, atau metode yang zakelijk yang harus memaksa mata mendelik. Haha.
Image: medium.com |
Kali ini saya bersedia berbagi sedikit apa yang saya tahu hanya kepada satu orang, yah, hanya satu orang. Demi sebuah kesempatan muraja'ah kembali, saya tak ambil pusing berapa orang yang mau ikut. Sebab bila tidak diiyakan, barangkali tidak akan ada lagi kesempatan untuk melakukannya karena thuulul amal bisa membekap jiwa kita. Pengen ini pengen itu akhirnya yang sudah pernah kita punya lepas. Kalaupun tak lepas, jadi tumpul. Demikian pula ilmu.
Teman muraja'ah saya kali ini adalah saudara Lubab Hud, putra dari Allahuyarham ustadz Hud Abdullah Musa, yang dulu saat saya masih remaja pernah menimba sedikit ilmu beliau dalam bidang Ushul Fiqh juga Tsaqafah Islamiyyah.
Lubab, seorang bintang kelas yang meraih banyak prestasi seperti juara dalam lomba pidato bahasa Inggris, lulusan terbaik untuk tahun 2019 di ujian pesantrennya, biasa menjadi tutor umum dalam ilmu Nahwu di pondoknya, di samping posisinya sebagai ketua P3P yang berperan seperti OSIS di lingkungan asrama. Dalam pandangan saya, menguasai Nahwu adalah salah satu modal penting dalam memahami Ushul Fiqh.
Setelah kelulusannya tahun ini, saya setuju untuk membantunya mempelajari kitab kecil berjuluk As-Sullam yang ditulis oleh Syekh Abdul Hamid Hakim, salah seorang ulama Padang Panjang yang dikenal juga menulis dua kitab kecil lainnya yaitu Mabadi Awwaliyyah dan Al-Bayan yang bersama As-Sullam tadi menjadi trio kitab kecil yang ditulis khusus untuk ilmu Ushul Fiqh dan Qawaaid Fiqhiyyah yang kemudian biasa digunakan sebagai muqarrar atau buku pegangan di banyak pesantren Indonesia.
Kemarin malam adalah sesi pertama yang sempat tertunda dua kali karena suatu udzur yang tak mungkin ditolak. Di akhir sesi itu saya berikan waktu yang cukup untuk diskusi dan tanya jawab dan tak saya izinkan Lubab beranjak pulang sebelum habis pertanyaan, rasa penasaran, ketidak fahaman atau uneg-uneg apapun. Tanyakan sekarang atau anda akan mati penasaran... hehe.
Akhirnya ia mengambil dari dalam tasnya sebuah buku kecil berjudul Filsafat Ketuhanan karya Dr. H. Hamzah Ya'kub. Sampul biru tuanya yang monoton khas cetakan lama tidak menarik hasrat saya untuk menilai desainnya... But, don't judge a book by its cover!
Jadi untuk menyingkat waktu, saya minta Lubab untuk menyampaikan yang menjadi uneg-unegnya dari buku kecil itu dan ternyata cukup menarik.
Dr. Hamzah menyimpulkan bahwa seseorang yang memahami hakikat tuhan melalui pendekatan filsafat ketuhanan akan menjadi orang bertakwa dengan tingkat yang sangat baik, sebab hanya ulamalah yang punya rasa takut yang tinggi terhadap Allah, sedang ulama tentulah faham bagaimana mengenal tuhan. Lalu dibawakanlah ayat yang mendukung fakta tersebut.
Pertanyaan intinya adalah: adakah para sahabat, generasi awal kaum muslimin yang dikenal dengan tingkat takwa yang luar biasa itu, mencapai capaian mereka melalui filsafat ketuhanan? Lalu kalau tidak dengan cara itu apakah itu berarti tingkat takwa para sahabat bisa dipertanyakan kehebatannya?
Nah, lalu saya mulai menjawab, menjelaskan, menunjukkan beberapa sisi ini dan itu terkait dengan konklusi yang ditarik Dr. Hamzah.
Apa dia?
Hmmm, saya rasa saya akan menuliskannya dalam artikel terpisah saja... Hohoho...
Plis, jangan mati penasaran dulu.
Anyway, saya sempat nyeletuk, bahwa tiap orang yang ahli dalam ilmu tertentu akan menjelaskan suatu hakikat dengan sudut pandang keahliannya. Contohnya ya Dr. Hamzah tadi.
Beliau menyebutkan bahwa beliau banyak membuat presentasi tentang filsafat, lalu menyempurnakannya agar materi tersebut berguna tidak hanya di kelas. Hingga akhirnya beliau mengembangkan presentasi-presentasi itu menjadi sebuah buku kecil yang ada di tangan kita ini dengan harapan agar bermanfaat di tengah masyarakat. Maka tidak mengherankan jika beliau akan cenderung menjelaskan masalah apapun dengan sudut pandang keahliannya yaitu ilmu filsafat, termasuk dalam masalah ketakwaan tadi.
Lalu saya sampaikan, saya juga untuk hal-hal tertentu telah mendapatkan inti falsafah suatu ilmu. Tentu jika memang apa yang saya dapatkan tersebut bisa disebut falsafah.
Apa dia?
Saya lanjutkan: falsafah pemrograman dan juga falsafah nahwu.
What the?!!!
Ya ya... kalau belum pernah mencapai titik itu tentu akan sulit menghubungkannya dengan yang lain.
Jadi saya jelaskan kepada Lubab, bahwa ilmu pemrograman komputer itu sedikit membantu saya memahami ilmu Ushul Fiqh.
Hehe... Puyeng kan?
"Jaka sembung naik ojek..." Begitu biasanya komentar orang.
Saya belajar pemrograman sejak pertama kali saya belajar menggunakan komputer saat mulai ikut kursus komputer akhir tahun 1992. Tanpa saya sadari, software pertama yang saya gunakan adalah sebuah interpreter Basica yang merupakan nenek moyangnya Visual Basic modern yang saat itu saya gunakan untuk menuliskan baris-baris kode dalam bahasa Basic yang akan memainkan lagu Silent Night, sebuah lagu wajib yang biasa diputar umat kristiani saat malam natal yang dikenal di Indonesia dengan judul Malam Kudus.
Bodohnya, saya menggunakan software tersebut bahkan sebelum saya mengikuti sesi Introduction To Computer.
Bertahun-tahun kemudian, saya akhirnya punya pengalaman berinteraksi dengan berbagai macam bahasa pemrograman seperti Basic, Pascal, Assembly, yang saya gunakan untuk memahami pembuatan game dua dimensi bertipe air fighter shooter atau cara menyimpan beberapa baris kode yang bisa menyalin dirinya sendiri ke dalam RAM yang dikenal dengan istilah virus komputer.
Lalu saat diberi kesempatan belajar membuat website, bertambahlah pengalaman saya berinteraksi dengan berbagai bahasa pemrograman lain yang berorientasi client server seperti JavaScript, VBScript, CGI, ColdFusion, ActiveScript dan PHP yang terkadang iseng-iseng saya gunakan untuk membuat Email Spammer atau SMS Bomber. Haha...
Dan pada akhirnya dalam pemrograman komputer ini saya menemukan hal yang sama dan terulang-ulang terus dalam ribuan baris kode yang pernah saya tulis yaitu logic.
Logic atau logika pemrograman ini banyak diimplementasikan dalam algoritma dan flowchart saat merencanakan sebuah program atau merancang sebuah software.
Logika ini sangatlah kaku. Dikenal dalam dunia pemrograman komputer dengan istilah "If.. Then.. Else" atau "Do.. While" atau "While.. Loop" atau "Select.. Case" atau istilah-istilah lainnya yang serupa.
Tujuannya tidak lain untuk memetakan input pengguna lalu menentukan tindakan pengolahan sesuai input tersebut sehingga menghasilkan output yang seharusnya, yang sebenarnya sama dengan yang dilakukan ulama dalam ilmu Ushul Fiqh.
Para ulama memetakan fakta-fakta bahasa lalu diklasifikasi menjadi berbagai macam pokok seperti Al-Amr, An-Nahy, Al-'Aam, Al-Khaash, Al-Muthlaq, Al-Muqayyad dan lain sebagainya, lalu menetapkan tindakan saat ditemukan pokok-pokok tersebut dalam nash dengan membuat kaidah-kaidah terkait yang akan menghasilkan kesimpulan hukum.
Proses ini tak jauh beda dengan input, process lalu output dalam dunia pemrograman. Dalam hal ini Al-Amr misalnya sebagai input, lalu kaidah sebagai process, lalu kesimpulan hukum sebagai output.
Nah, sama kan?
Karena logika pemrograman komputer sering terbetik di benak saya yang terkadang sampai pada tingkatan termanifestasi dalam mimpi (Hahaha... Agak lebay), maka tak heran saat bertemu dengan kaidah-kaidah Ushul Fiqh, menjadi mudah saja mengenali input-process-output dari ilmu ulama ini.
Saya mohon izin kepada anda para pembaca untuk boleh menjuluki pencapaian kesadaran dalam dunia pemrograman ini dengan istilah Falsafah Pemrograman yang saya melihatnya sama dengan Falsafah Ushul Fiqh.
Itulah alasan mengapa saya memberi judul tulisan ini dengan julukan jenaka tersebut.
Tapi serius lho, ada yang menganggapnya menjadi falsafah beneran seperti tulisan paman Chen ini.
Setelah bicara tentang Falsafah Pemrograman, saya sebut juga istilah Falsafah Nahwu... Wuih, Nahwu pun ada falsafahnya?
Sebenarnya istilah itu saya sebut sekedar supaya kelihatan jreng dan menarik perhatian. Tahu mengapa?
Sebab para santri kalau sudah disebut kata Nahwu, yang dibayangkan adalah kaidah yang harus dihafal, contoh kalimat lalu i'rab... Huek, langsung muntah pelangi...
Tapi kalau ditambahkan falsafah, maka kesulitan Nahwu ini kok terasa menjadi sirna dan pindah kepada sesuatu yang tingkatnya lebih mulia, lebih intelek, lebih murni, lebih melangit. Persis seperti kata seni yang mampu merubah kata negatif apapun menjadi positif. Tak percaya?
Mencuri adalah kata negatif, yang membuat garis bibir kita datar atau bahkan mungkin melengkung ke bawah saat mendengar kata tersebut diucapkan dan menjadi isyarat tak nyamannya hati kita.
Tapi coba tambahkan kata seni pada kata mencuri menjadi: Seni Mencuri... Hmmm, bukankah terasa indah, mempesona dan melangit? Hehehe... Coba juga Seni Korupsi, Seni Perang, Seni Membunuh... Ok Stop, kita kembali ke Falsafah Nahwu.
Tapi coba tambahkan kata seni pada kata mencuri menjadi: Seni Mencuri... Hmmm, bukankah terasa indah, mempesona dan melangit? Hehehe... Coba juga Seni Korupsi, Seni Perang, Seni Membunuh... Ok Stop, kita kembali ke Falsafah Nahwu.
Jadi begini ceritanya... Bangsa Arab yang merupakan native speaker untuk bahasa Arab, mempunyai manthiq atau logika yang khas sesuai dengan rasa bahasa Arab yang tidak sama dengan bahasa lain, apapun bahasa itu.
Sekedar contoh, lafazh Nahnu dalam bahasa Arab yang sering diartikan Kami tidak bisa persis sama penggunaannya dalam bahasa lain.
Dalam usaha menterjemah bahasa Arab ke dalam bahasa lain, Nahnu yang berbentuk jamak ini dianggap selalu jamak pula secara harfiah, sehingga saat bertemu ayat: Innaa Nahnu Nazzalnadz Dzikra disalah fahami dengan anggapan bahwa Allah itu ada banyak atau Allah itu dibantu malaikat sehingga disebut dengan lafazh Nahnu. Naudzubillahi min dzalik.
Padahal dalam konteks tertentu, orang Arab menggunakan Nahnu itu dengan makna ta'zhim atau mengagungkan diri sendiri.
Sebagai buktinya, pernah salah seorang kawan kuliah kami dikritik pedas oleh dosen pembimbing yang asli Arab gara-gara menulis dalam pengantar skripsinya: "Kami sebagai penulis" yang dalam bahasa Indonesia memang terasa sangat tawadhu' dan super sopan. Tapi lain cerita saat diterjemahkan secara harfiah dalam bahasa Arab menjadi: "Nahnu kal baahits", yang membuat dosen berkomentar pedas: "Man Anta?" Siapa ente sampai berani pakai lafazh Nahnu? Emang ente doktor? profesor? seorang alim yang harus dihormati siapapun?
Di situ baru saya faham bahwa Nahnu dalam Al-Quran tidak selalu bisa diartikan dengan arti kami secara sungguh-sungguh, tawadhu', super sopan dan resmi seperti bahasa Indonesia. Malah lebih tepat kalau diartikan AKU... dengan huruf kapital semua! Karena lafazh itu menunjukkan keagungan Allah. Sehingga ayat tadi lebih pas diartikan: "AKU yang menurunkan Adz-Dzikr."
Baik, itu baru kulitnya. Sekarang kita bicara tentang falsafahnya.
Penutur asli bahasa Arab juga memahami urutan kata-kata dalam kalimat dengan pemahaman yang berbeda. Mereka mendahulukan informasi yang penting dalam berbicara sebelum informasi-informasi yang kurang penting.
Sebagai contoh: Mubtada' hampir selalu didahulukan sebelum Khabar. Fi'il juga selalu didahulukan, lalu diikuti Fa'il, baru Maf'ul bih. Kalau kemudian ada Khabar yang didahulukan sebelum Mubtada' maka ada kemungkinan karena Mubtada' tersebut melemah sehingga tak berhak ada di awal atau bisa jadi karena si pembicara hendak menyampaikan makna berbeda.
Mubtada' melemah?
Makna yang berbeda? Padahal kata-katanya sama tapi beda urutan?
Inilah Falsafah Nahwu.
Hanya saja kali ini saya tak berpanjang lebar dalam obrolan masalah Falsafah Nahwu, sebab perlu menyebutkan banyak contoh sebelum kita bisa merasakan hal yang sama lalu tersenyum bersama saat menikmati capaian pemahaman itu.
Kalau anda sudah bisa tersenyum saat mempelajari Nahwu, saya rasa anda sudah mencapai Falsafah Nahwu dan sudah terlepas dari kungkungan adzab I'rab itu. Hehehe...
#SalamRindu
ReplyDeleteMuhammad Ihsan... Itu?
Delete