Sepenggal Kisah Para Pedagang Pedesaan

Dalam salah satu pengajian Shahih Al-Bukhari yang saya ampu, sampailah kami pada salah satu hadits muamalah terkait dengan riba fadhl yang menyebutkan beberapa benda ribawiyyat yang banyak didefinisikan oleh para ulama' fiqh dalam kitab-kitab fiqh klasik yang di antaranya adalah emas, perak, kurma, gandum kasar, gandum halus, garam.

Enam benda ini disebut ribawiyyat karena berpotensi menjadi magnet riba bila ditransaksikan dengan cara yang salah. Maka sebagai panduan, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menunjukkan adanya dua jenis akad mubaadalah (tukar menukar) antara benda-benda ini yaitu tukar-menukar sesama jenis (emas dengan emas, perak dengan perak, dlsb) dan tukar-menukar berbeda jenis (semisal emas dengan perak, kurma dengan gandum, dlsb).


Untuk akad tukar menukar sesama jenis seperti tukar gandum dengan gandum, beras dengan beras, emas dengan emas, perak dengan perak, dan lain sebagainya, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mensyaratkan dua hal yaitu kesamaan takaran atau timbangan, dan dilakukan secara kontan (tidak tunda/hutang).

Untuk syarat yang pertama disebutkan dalam hadits berikut:


«الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ مِثْلًا بِمِثْلٍ، وَالوَرِقُ بِالوَرِقِ مِثْلًا بِمِثْلٍ»

"Emas ditukar dengan emas (harus) semisal dengan yang semisal, perak ditukar dengan perak (harus) semisal dengan yang semisal." (Shahih Al-Bukhari No. 2176).

Hadits di atas menjelaskan keharusan adanya kesamaan antara dua benda ribawiyyat yang dipertukarkan, yang dijelaskan maksudnya lebih lanjut dalam hadits berikut:


قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لاَ صَاعَيْنِ بِصَاعٍ، وَلاَ دِرْهَمَيْنِ بِدِرْهَمٍ»

Telah bersabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam: "Tidak boleh (ditukar) dua sha' dengan satu sha' dan tidak pula dua dirham dengan satu dirham." (Shahih Al-Bukhari No. 2080).

Hadits di atas menjelaskan tidak bolehnya dua bilangan takaran sha' yang berbeda dipertukarkan atau dua bilangan berat dirham yang berbeda dipertukarkan yang darinya kita bisa ambil kesimpulan bahwa benda ribawiyyat yang dipertukarkan haruslah sama takaran atau sama berat. Jika tidak demikian, maka akan muncul tambahan yang disebut riba.

Adapun syarat harus kontan disebutkan dalam hadits berikut:


قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ، وَالبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ، وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ»

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: "Emas ditukar dengan emas adalah riba kecuali kontan, gandum ditukar dengan gandum adalah riba kecuali kontan, jelai ditukar dengan jelai adalah riba kecuali kontan, kurma ditukar dengan kurma adalah riba kecuali kontan." (Shahih Al-Bukhari No. 2174).

Hadits di atas menunjukkan keharusan pelaksanaan akad pertukaran pada benda-benda ribawiyyat secara kontan. Bila tidak demikian maka akan muncul tambahan yang disebut riba yang sebagian ulama' menyebutnya dengan istilah Riba Yad atau riba tangan karena salah satu benda diserahkan secara tertunda.


ilustrasi: nusantara.news


Saat sesi tanya jawab, salah seorang jamaah bertanya tentang hukum tukar tambah raskin (beras miskin) dengan beras berkualitas yang biasa terjadi di pasar tradisional. Gambarannya kurang lebih sebagai berikut: Kita umpamakan seseorang mendapat jatah raskin 10 kg per bulan, lalu ia bawa 10 kg raskin tadi ke pasar untuk ditukar dengan beras Bramu dengan berat yang sama dengan menambah 3000 rupiah per kilonya. Apakah boleh?

Saya menjawab, tentu saja tidak boleh, karena itu riba.

Perhatikan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa'id Al-Khudry Radhiyallahu Anhu berikut ini:

جَاءَ بِلاَلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِتَمْرٍ بَرْنِيٍّ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مِنْ أَيْنَ هَذَا؟» ، قَالَ بِلاَلٌ: كَانَ عِنْدَنَا تَمْرٌ رَدِيٌّ، فَبِعْتُ مِنْهُ صَاعَيْنِ بِصَاعٍ، لِنُطْعِمَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ: «أَوَّهْ أَوَّهْ، عَيْنُ الرِّبَا عَيْنُ الرِّبَا، لاَ تَفْعَلْ، وَلَكِنْ إِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَشْتَرِيَ فَبِعِ التَّمْرَ بِبَيْعٍ آخَرَ، ثُمَّ اشْتَرِهِ»

Bilal (Radhiyallahu Anhu) datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dengan membawa kurma Barni (kurma jenis terbaik berwarna kuning dan berbentuk bulat), maka Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: "Dari mana ini?", Bilal (Radhiyallahu Anhu) berkata: "Sebelumnya kami punya kurma jelek, maka aku menjual dari jenis itu (kurma jelek) dua sha'nya dengan satu sha' (kurma Barni) agar kami bisa memberi makan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam," maka bersabdalah Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam saat itu: "Aduh aduh, inti riba inti riba, jangan engkau lakukan, akan tetapi jika engkau ingin membeli maka juallah kurma itu (kurma jelek) dengan jualan yang lain, kemudian belilah dia (kurma Barni)." (Shahih Al-Bukhari No. 2312).

Hadits ini menjelaskan bahwa menukar kurma yang jelek sebanyak dua sha' dengan kurma yang baik sebanyak satu sha' adalah riba. Persis dengan menukar raskin 10 kg + Rp3.000 per kg dengan beras Bramu 10 kg.

Lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam memberi arahan bagaimana cara menghindari akad riba ini, yaitu dengan menjual atau menukar kurma jelek itu dengan benda yang lain semisal dirham atau gandum, lalu ditukarlah dirham atau gandum yang diperoleh itu dengan kurma yang baik.

Maka berdasarkan itu saya memberi arahan agar raskin tadi dijual dulu dengan uang, misal laku dijual per kilonya 8 ribu rupiah. Lalu dengan uang yang dihasilkan belilah beras Bramu yang diinginkan.

Karena merasa asing, si penanya bertanya kembali, apakah tidak boleh kita bilang: saya jual raskin 10 kg seharga 8 ribu rupiah per kilo, yang berarti saya dapat uang 80 ribu yang masih di tangan pembeli dan belum diserahkan ke saya, lalu saya tambah 30 ribu untuk membeli beras Bramu 10 kg? Supaya pedagang tidak repot keluar uang, menyerahkan ke saya lalu saya kembalikan lagi untuk membeli?

Saya jawab: tidak boleh.

Apa bedanya?

Bedanya, jika uang 80 ribu hasil penjualan raskin itu belum diserahkan kepada anda maka belum ada Qabdh (serah terima), yang artinya akad belum selesai. Maka, jika anda menambah 30 ribu rupiah lagi, itu berarti masih dalam satu akad, yaitu beras raskin 10 kg + Rp30.000 ditukar dengan beras Bramu 10 kg yang berarti ada riba karena ada tambahan 30 ribu, sementara berat berasnya sama.

Jadi, anda harus ambil dulu 80 ribu hasil penjualan raskin itu agar akad pertama tuntas dengan adanya Qabdh (serah terima), setelah itu baru anda adakan akad kedua yaitu membeli beras Bramu 10 kg seharga 110 ribu. Baik dengan orang yang sama atau anda pindah ke toko yang lain untuk membeli beras Bramu tadi.

Lha kok repot banget?

Saya menjawab, inilah yang namanya syariat. Pasti ada repotnya. Jangankan masalah jual beli atau barter seperti ini, kita shalat fardhu tiap hari saja pun pasti repot. Kita harus bersihkan najis, harus ambil air wudhu, harus ke masjid, harus tepat waktu... Ih repot.

Kalau ingin gampang dan tidak repot, mudah saja caranya: tinggalkan syariat!

Para jamaah tertawa.

Jadi, pelaksanaan syariat memang memberatkan dan merepotkan, tapi disitulah muncul buah keimanan dan ketaatan, persis seperti yang para ulama telah definisikan bahwa iman adalah: Ikrar dengan hati, ucapan dengan lisan dan perbuatan dengan anggota badan. Artinya, orang yang mengaku beriman dia pasti laksanakan syariat itu serepot apapun.

Saat kita kanak-kanak dan mulai belajar shalat, kita merasa repot, merasa berat dan selalu malas. Namun, saat kita dewasa, kita terbiasa dengan shalat berjamaah, tidak lagi merasa repot dan bahkan menikmatinya.

Maka, untuk urusan menghindari riba, tidakkah kita seharusnya membiasakan diri juga?

(bersambung dengan bahasan syarat tukar-menukar berbeda jenis ribawiyyat)

No comments:

Post a Comment

Terbaru

recentposts

Sementara Itu

randomposts