Tauhid Menghilang?

Dalam salah salah satu percakapan via Whatsapp, seorang mahasiswi yang hanya saya kenal namanya via grup WA redaksi Moslemzone.com mengajukan banyak pertanyaan teknis tentang cara membuat website, mengkonsep tema, merumuskan lingkup materi, merencanakan anggaran, memilih platform dan juga mengelola sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk menginisiasi sebuah website dakwah.

Ilustrasi: Alkawthartv.com

Tidak banyak yang saya sampaikan selain pengalaman saya menjadi webmaster sekitar awal 2000-an di sebuah media Islam online bersama beberapa kawan kuliah di bawah arahan al-ustadz Farid Ahmad Okbah hafizhahullah dan bagaimana kami menggawangi media tersebut agar selalu bermanfaat dan ramai dikunjungi kaum muslimin.

Singkat cerita, perbincangan kami di WA kemudian memasuki perbincangan tentang memilih platform media, di mana mahasiswi ini berharap bisa membuat website yang menampilkan materi untuk anak-anak seperti kisah para nabi, doa-doa harian dan juga artikel-artikel untuk para orang tua.

Walhasil, kami sepakat bahwa generasi Z dan juga generasi Alfa yang menjadi sasaran website ini adalah generasi yang sangat terikat dengan internet alias iGeneration, yang dalam pengamatan sempit saya juga sangat terikat dengan media audio visual jauh melebihi media literal yang biasa dikonsumsi generasi X.

Karena itulah saya menyarankan agar website yang dibuat untuk anak-anak adalah website yang 70%-nya visual baik itu berbentuk foto, gambar atau ilustrasi tak bergerak atau animasi penuh yang dekat dengan kegemaran mereka ber-youtube-an.

Meski membuat kanal YouTube jauh lebih realistis dibanding dengan membuat website visual, namun karena tugas yang diemban adalah membuat website dakwah, maka tidak ada jalan lain selain mengkolaborasikan visualisasi materi dan pemupukan budaya literasi di kalangan mereka.

Website apakah itu?

Kita buat webcomic!

Webcomic bisa menjadi solusi untuk menjembatani kecanduan generasi Z atas media-media visual dan lemahnya minat baca mereka. Sebab komik, meskipun banyak menampilkan visual, setidaknya masih menampilkan speech balloon yang berisi teks dialog. Yup, minimal ada yang dibaca.

Lalu perbincangan kami berpindah kepada pertanyaan: mana platform yang lebih baik untuk mewujudkan hal ini. Apakah CMS seperti Gwarlix cukup memadai? Ataukah ComicPress yang dipasang di WordPress lebih bagus?

Lalu perbincangan berpindah cepat kepada opsi-opsi lainnya seperti apakah bagus bila kita membuat sebuah website dengan materi inti tentang Tauhid? Apakah membosankan ataukah justru mempunyai daya tarik tersendiri?

Huft... Saya menghela nafas sebentar.

Mau jawaban realitas atau jawaban idealitas?

Saya mau realitas, sebab dosen kami lebih suka yang nyata.

Baiklah.

Silahkan anda bertanya kepada diri sendiri. Berapa kali anda mengunjungi website bertema tauhid dalam setahun terakhir ini? Sekali? Lima kali? Sepuluh kali?

Lalu bandingkan dengan kunjungan anda ke Facebook, Instagram, Twitter, Youtube, Shopee, Tokopedia, Bukalapak...

Jangan lupa membandingkan berapa lama waktu yang anda habiskan untuk tiap kunjungan anda.

Nah itu jawaban realitasnya.

Website-website bertema tauhid di masa sekarang benar-benar website minoritas. Seminoritas manusia yang melakukan seruan dakwah tauhid.

Di samping dianggap boring, monoton, tidak membumi, juga berpotensi menjadi target persekusi dan labelisasi.

Berbicara tauhid di masa sekarang seakan menjadi kontroversi. Sekontroversi tentang menuliskan lafazhnya di atas bendera merah putih dan sekontroversi mengibarkan bendera-benderanya.

Orang-orang hanya berani menyatakan dengan bersemangat bahwa "Islam itu indah" dan "Islam itu rahmatan lil alamin" lalu berhenti di situ tanpa berani mengupas lebih dalam di mana hakikat keindahan Islam itu selain dari potret fenomena kaum muslimin di Indonesia yang toleran dan damai, atau di mana letak rahmatan lil alamin itu selain dari ucapan "Minal 'Aidin Wal Faaizin, Mohon Maaf Lahir Dan Batin"?

Mohon maaf, saya juga memotret yang secuil.

Tauhid adalah seruan yang diserukan oleh 124 ribu nabi dan 315 rasul agar umat manusia terlepas dari penghambaan kepada sesama makhluk dan berpindah kepada penghambaan kepada pemilik semua makhluk. Bukankah semestinya tauhid menjadi materi yang maha penting?!

Tapi mengapa kajian-kajian tauhid hanya muncul di pesantren-pesantren dan ma'ahid 'aliyah? Tidak di tempat-tempat lain secara masif? Kalaupun ada, dia tidak laku dan sedikit pengunjung.

Benarlah apa yang disabdakan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam:

بَدَأَ الإِسلاَمُ غَرِيباً وَسَيَعُودُ غَرِيباً كَمَا بَدَأَ، فَطُوبَى لِلغُرَبَاءِ

"Islam mulai dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing sebagaimana ia mulai, maka akan baiklah orang-orang yang asing."

Dan bukan berarti kita lantas boleh menyerah dan berhenti menyerukan tauhid hingga ia hilang.

Tidak, sama sekali tidak!

Sebagaimana juga perlunya kesadaran kita bahwa metode menyerukan tauhid kepada Allah harus berkembang mengikuti perkembangan manusia di setiap zaman.

Maka penyeru-penyeru tauhid dituntut untuk selalu kreatif.

Jika Ibrahim Alaihissalam sekali waktu menggunakan kampaknya, lalu menyindir dengan ucapan "Aku tidak suka sesuatu yang tenggelam," dan menantang Namrudz dengan retorika "Terbitkan matahari dari barat!" Maka tidakkah kita juga mestinya harus lebih kreatif di masa Industry 4.0 ini?

No comments:

Post a Comment

Terbaru

recentposts

Sementara Itu

randomposts