Niqab, Muslimah dan Kultur

Beberapa hari ini saya disibukkan oleh seorang teman baru, seorang ayah bagi tiga anak yang kegiatan sehari-harinya berhubungan dengan jasa perbaikan laptop dan wireless internet sharing jarak jauh. Kesibukannya tidak lain adalah membuat blog di blogspot.com yang disulap menjadi online shop untuk produk-produk jilbab, cadar dan yang berkaitan.

Foto: Pinterest

Karena blognya tentang niqab dan saya butuh beberapa postingan untuk menguji kinerja custom template yang saya pasang, maka mau tidak mau saya gunakan google untuk mencari beberapa foto niqabis dan tentu saja secara tidak sengaja saya stumbling upon alias nyangkut di beberapa website tentang niqab style yang membahas yang namanya half niqab, yamani niqab, saudi niqab, two layer niqab, bandana niqab, eagle eye niqab dan lain sebagainya.

Yang menarik dari blue shoe can't (blusukan kalee...) kali ini adalah menangkap ghirah sebagian muslimah yang pengen "hijrah" istilahnya, dalam mencoba niqab ini. Ada yang penuh waktu, ada yang hanya di momen-momen tertentu (paruh waktu? hehehe), yang juga memunculkan pasar baru di dunia fashion indonesia yaitu pasar niqab.

Saat membaca adanya komunitas Niqab Squad Indonesia yang diinisiasi mbak Indadari istrinya Caesar (tahu kan?) dan Diana Nurliana, salah satu desainer niqab yang kedua-duanya juga sudah menjadi niqabis yaitu muslimah pengguna cadar, dalam hati saya spontan mengucapkan "Wow."

Dulu, 20 tahun yang lalu, tak terbayangkan muslimah-muslimah Indonesia bakal beranjak dari  penggunaan kerudung mini, ke jilbab standar, lalu ke jilbab lebar yang menutup seluruh tangan hingga akhirnya niqab.

Barangkali ucapan terima kasih bisa disampaikan kepada kang Abik yang mengenalkan niqab dalam novel fiksinya yang diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama "Ayat-ayat Cinta." Saya yakin pembaca ingat dengan Aisyah, tokoh muslimah bercadar istri pertama Fahri dalam kisah itu.

Film ini ibarat turning point (di satu sisi) untuk perjalanan panjang muslimah fashion di Indonesia. Sayang tidak menjadi turning point juga untuk sisi poligaminya. Maunya!! Hehehe...

Foto: Dok. Instagram @diananurliana

'Ala kulli haal, niqab yang dulu sangat terpinggirkan, dengan adanya stigmatisasi dan popularisasi label "ninja" lah, "ekstrimis" lah, "teroris" lah kepada para pemakainya, kini mulai beranjak ke green zone yang lebih diterima masyarakat.

Meskipun saya masih melihat komentar di Wollipop, salah satu lifestyle website, yang mengkomparasi konde dengan niqab ini sebagai bentuk resistensi anggota masyarakat terkait dengan masuknya kultur yang dianggap asing ini ke Indonesia. Atau komentar yang menyebutkan tentang tabarruj, kalau sudah pakai niqab kok masih mejeng (istilah saya sudah jadul banget ini) di Instagram? "What's the point?" Protesnya.

Komentar sih, boleh-boleh saja, kan itu hak setiap orang, dan harus adil dong. Nah, itu yang saya inginkan. Betapa banyak kita tidak adil dalam menyampaikan pendapat.

Saat ada yang mengatakan konde lebih indah dari cadar, it's okay, itu hak anda. Tapi apakah anda menggunakan konde setiap hari? Tidak kan? Sementara niqabis istiqamah menggunakan niqabnya setiap hari, jadi nggak adil dong mengomentari yang hanya dipakai saat resepsi pernikahan, acara formal kenegaraan atau di hari kartini dengan yang dipakai sehari-hari di pasar, di kampus dan juga di jalanan umum. Kan anda nggak pernah jumpa gadis-gadis muda berangkat kuliah tiap hari menggunakan konde. Ada?

Begitu juga anggapan bahwa memasukkan niqab ke Indonesia, sama saja memasukkan kultur asing ke Indonesia dan melupakan kultur kita sendiri. Well, kalau sudut pandangnya mau begitu ya kita ikuti diskursusnya.

Jadi begini, kalau saya sih ini juga pandangan yang tidak adil pula. Sebab sudah berapa lama bumi Indonesia kita ini kemasukan kultur asing lalu bahkan meningkat hingga kita sendiri yang mengimpor kultur itu dengan masif?

Lihatlah masa penjajahan Belanda, kita memang betul-betul kemasukan kultur mereka.

Di Jawa, yang masyarakatnya dulu hanya mengenal kebaya, kemben, jawi jangkep, kanigaran, batik, pangsi, basahan, surjan dan beskap, oleh para kolonialis dikenalkanlah jas, celana panjang dan rok panjang ala tuan dan nyonya meneer. Sehingga kita masih bisa melihat foto dokumentasi para proklamator negeri ini menggunakan fashion mereka dan meninggalkan beskap.

Tidakkah ada yang resisten dengan budaya ini? Ada!

Saya ingat di wilayah Raci Pasuruan, ada yang masih mengharamkan penggunaan celana panjang karena dianggap tasyabbuh dengan kuffar. Tapi umumnya penduduk Jawa tidak mempersoalkan itu karena melihat itu sebagai sesuatu yang modern dan bukan penjajahan kultural. Hmmm...

Semakin kemari, pasca kemerdekaan, semakin banyak pula kultur-kultur luar yang masuk di Indonesia.

Dari dunia barat masuklah rok mini dan bikini. Saya tak perlu beli yang vulgar-vulgar macam majalah Popular yang pindah kantor ke Bali untuk membuktikannya.

Dari tanah hindustan masuklah mehendi henna yang pengantin-pengantin perempuan zaman sekarang merasa kurang ngejreng kalau tangannya tidak dilukis hiasan-hiasan henna. Belum lagi kultur dari China, Jepang, Korea, Turki...

Yang saya heran, mengapakah tidak ada yang protes dengan derasnya arus budaya-budaya luar seperti ini? Apakah tidak ada orang yang demo memprotes dan menghujat sinetron-sinetron asing, telenovela, dan serial-serial K-Pop yang menampilkan kultur asing mereka di layar kaca-layar kaca masyarakat Indonesia?

Mengapakah urusan niqab mudah sekali kita temukan komentar nyinyir bahkan sajak komparasinyapun ramai diliput media massa? Sedang Cowboy CultureHindustāṉi kalāccāram, J-Pop Culture, K-Pop Culture, macam diterima dengan tangan terbuka?

Lebih jauh lagi... Ini semua cuma kultur, yang dalam kajian humaniora, yang disebut sebagai kultur alias budaya adalah hasil olah fikir dan olah rasa satu komunitas manusia yang berkembang, evolve dan berganti-ganti.

Kalau periode 70-an Rhoma Irama memakai celana komprang ala Elvis Presley, sekarang anak-anak muda gandrung dengan celana pensil ala Avenged Sevenfold, is it a problem?

Jadi perkembangan beberapa anak muda yang kemudian memilih menggunakan jubah, gamis, jilbab lebar, cadar, niqab atau burka mestinya juga bukan masalah kan?

Yang terakhir, tentang fenomena beberapa niqabis yang memamerkan fashion choice-nya di Instagram, Twitter atau lini masa yang lain, memang menjadi aksi yang agak kontra produktif dari sudut bila ini dianggap mengenalkan syariah Islam terkait dengan tata tertib wanita di ruang publik. Larangan tabarruj dan menyebarkan potensi fitnah dengan menampakkan mahasin atau kecantikan (baik outer ataupun inner beauty) adalah sesuatu yang sangat definitif dalam Al-Qur'an.

Meskipun dari sisi brain storming diperlukan pula untuk mengenalkan sisi eksistensi niqab seperti langkah yang ditempuh kang Abik dengan novelnya sehingga tidak ada stigma bahwa niqabis adalah kelas elit, kelas tertutup, kelas tak bermasyarakat, kelas tak bisa bergerak bebas.

Meski faktanya banyak dari para niqabis yang punya peran besar di masyarakat, seperti seorang niqabis yang saya kenal di mana ia menjadi leader satu rantai direct selling sekaligus pengasuh sebuah pesantren yatim yang dibiayai keseluruhannya dari bonus usahanya yang nilainya puluhan juta per bulan.

Jadi, endorsement niqab pun perlu teknik yang tepat sehingga tidak terjadi kontradiksi antara tujuan asli dari penggunaan niqab yaitu agar tidak menebar fitnah pandangan yang menimpa laki-laki, sebab seperti disampaikan dalam salah satu hadits, meskipun anda menggunakan niqab, tetap saja akan ada satu syetan yang mengikuti anda untuk menghiasi pandangan orang asing kepada anda, karena bila kita bicara khayalan, otak khayalan kotor lelaki pun masih mampu membayangkan yang paling kotor sekalipun meski ia melihat anda dalam keadaan berjilbab dan berniqab, dan itulah hasil kerja syetan yang mengikuti anda. Itulah sebabnya Al-Qur'an menuntut pria (dan juga wanita) untuk menundukkan pandangan.

Akhirnya, semua kembali kepada anda. Setidaknya banyak juga suami yang tidak menginginkan wajah ayu istrinya dinikmati lelaki lain di luar rumah dengan cara memintanya menggunakan niqab sebagai sarana menjaga sifat cemburunya agar tidak terjerumus ke dalam sifat dayyuts yang terancam tidak masuk surga. Dan itulah alasan mengapa saya juga meminta istri saya untuk menggunakan half niqab selama 14 tahun terakhir ini.

No comments:

Post a Comment

Terbaru

recentposts

Sementara Itu

randomposts