Menolak Madzahib atau Menolak Ushul Fiqh

Beberapa waktu yang lalu, salah seorang alumni tahun kemarin berkunjung ke Asrama Putra yang biasanya tidak hanya sekedar mengobati rasa kangen kepada gedung-gedung yang menjadi semacam monumen di dalam kotak memorinya, tapi juga kepada para asatidz dan terutama mantan adik kelas yang mengisi hampir seluruh waktu hidupnya selama di pesantren, dan tentu saja untuk cerita pengalaman di luar atau barangkali sharing ilmu yang sedang ia tuntut sekarang di bangku-bangku kuliah di luar sana atau bertanya kepada para asatidz tentang hal-hal pelik yang ia jumpai di kala belajarnya. Nah, alasan yang terakhir inilah yang menjadi bahan tulisan saya kali ini.

Logika Sederhana

Sesaat sebelum ia pamit pulang ke rumahnya, ia sempatkan bertemu dengan saya lalu menceritakan tentang perdebatan antara seorang dosen dan mahasiswa yang terjadi di kelasnya. Sang dosen menyatakan tidak mau menerima Madzahib karena merupakan hasil fikir manusia yang rentan mengandung kesalahan. Wallahu a'lam, saya tidak tahu apakah mata kuliah yang sedang dikaji adalah Ushul Fiqh atau Sejarah Kebudayaan Islam.

Di lain fihak, sang mahasiswa menyatakan tidak mau menggunakan Ushul Fiqh dengan alasan yang sama karena Ushul Fiqh merupakan hasil fikir manusia yang juga rentan mengandung kesalahan. Sebagai bukti ia membawakan contoh kaidah Ushul Fiqh: "Al-Ashlu Fil Amri Lil Wujuub" yang mestinya berarti "Pada asalnya perintah itu menunjukkan Wajib," namun dalam prakteknya dapat menunjukkan sunnah yang berarti menunjukkan pula dualisme hasil yang tidak mungkin kedua-duanya bisa dipakai karena merujuk kepada dua hal yang berbeda.

Lalu harus bagaimana?

Sebelum menjawab, mau tidak mau saya harus menggali lebih dalam latar belakang dosen pengampu yang ia ceritakan sekaligus latar belakang mahasiswa yang mendebatnya, agar jelas sebanyak apa wawasan tentang Madzahib yang sudah ditelaah dosen ini, juga sebanyak apa ilmu Ushul Fiqh yang sudah dipelajari mahasiswa ini.

Jawabannya tidak cukup memuaskan, karena sang dosen ternyata tidak berlatar belakang pendidikan ilmu Syari'ah secara khusus, sedangkan mahasiswanya berlatar belakang pendidikan Madrasah Aliyah dan bukan pesantren yang fokus di bidang syariah.

Walhasil, untuk sekedar menjawab, "Lalu bagaimana?" saya terpaksa memberikan ulasan panjang kepada si penanya karena latar belakangnya yang juga terbatas.

Menceritakan kembali Madzahib

Kalau kita hendak berbicara tentang Madzahib, maka mau tidak mau kita harus berbicara tentang awal kemunculannya, perkembangannya, kejayaannya, persaingannya, intriknya dan masa depannya. Sebab tidak adil kalau kita mengatakan mau menolak Madzahib sementara kita tidak tahu apa dan bagaimana Madzahib itu.

Istilah Madzahib dikenal dalam kajian tentang fiqh yang biasanya merujuk kepada beberapa imam besar yang paling banyak dicatat fatwa-fatwanya oleh umat Islam. Imam Al-Hanafi, Imam Malik, Imam Asy-Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hambal adalah 4 ikon dari 4 madzhab paling utama dalam fiqh Islam meskipun ada kalangan yang juga menambahkan beberapa figur lain seperti Imam Ja'far dan Ibnu Hazm Adz-Dzahiry dalam kelompok arus utama Madzahib ini.

Kalau kita berbicara tentang awal mula tumbuhnya fiqh Islam, maka tidak bisa kita terlepas dari pembicaraan akan tumbuhnya Madzahib ini karena perannya yang sangat penting dalam mengembangkan fiqh Islam itu sendiri. Kalaulah 4 Imam yang saya sebutkan di atas tidak dicatat fatwa-fatwanya oleh kaum muslimin, maka akan muncul imam-imam lain yang akan memberikan fatwa tentang berbagai masalah agama yang pada akhirnya juga akan dicatat oleh kaum muslimin dalam khazanah tulis mereka untuk disampaikan kepada generasi berikutnya yang mengakibatkan kemunculan Madzahib itu tanpa bisa dihindari.

Kalau boleh dianalogikan, Ustadz A. Hassan telah mencetuskan banyak pemikiran dan fatwa yang beliau tuliskan dalam buku-buku juga berserakan dalam rentetan perdebatan beliau dengan banyak kalangan dalam berbagai masalah, baik agama, politik, pendidikan dan lain sebagainya, baik tercatat ataupun tidak tercatat.

Pemikiran-pemikiran yang tercatat dalam buku ataupun tulisan ini dikaji di kemudian hari oleh banyak orang, baik asatidz, cendikiawan, mahasiswa, santri maupun masyarakat umum. Yang merasa cocok maka akan ketagihan dengan tulisan-tulisan serupa karya beliau lalu disampaikan ke generasi berikutnya secara getok tular secara lisan atau di bangku-bangku pesantren atau di majlis-majlis ilmu di mana saja hingga memunculkan sebuah komunitas kaum muslimin yang bercorak pemikiran yang mirip dengan pemikiran A. Hassan. Nah, kalau ini boleh disebut Madzhab, maka inilah Madzhab A. Hassan.

Tak jauh dari itu, empat imam yang saya sebutkan di atas juga mengalami hal yang sama, bahkan lebih jauh dari apa yang dialami A. Hassan. Mereka tidak hanya ditulis fatwa dan pemikirannya, tapi juga dikodifikasikan alur berfikir dan coraknya, dianalisa lalu diklasifikasikan metode dan manhajnya sehingga menjadi sebuah aliran pemikiran yang integral dan utuh yang bisa disampaikan ke generasi berikutnya dengan sangat lengkap bahkan terlampau lengkap.

Sebagai contoh, apapun yang pernah difatwakan oleh Imam Asy-Syafi'i tercatat dalam kitab-kitab Syafi'iyyah seperti Al-Umm, Al-Muhadzdzab, Al-Majmu' dan lain sebagainya lalu diberi syarah oleh banyak murid-murid beliau, entah itu Imam An-Nawawi atau Ar-Rafi'i, lalu diringkas atau dijabarkan oleh generasi berikutnya, kemudian dikodifikasikan cara berfikirnya dalam kitab Al-Mustashfa karya Imam Al-Ghazali yang mewakili kitab Ushul Fiqh aliran Madzhab Asy-Syafi'i dan dianalisa terus menerus oleh puluhan generasi ulama selama berabad-abad hingga masa kini.

Begitu juga dijumpai dalam Madzhab Hambali, bagaimana semua fatwa yang disampaikan oleh Imam Ahmad dicatat dan dihafal oleh putra beliau juga oleh sekian banyak santrinya lalu dikembangkan hingga terkumpul dalam kitab-kitab fiqh mereka seperti Al-Mughni karya Ibnu Qudamah dan dikodifikasikan dalam kitab-kitab Ushul Fiqh mereka seperti Raudhatun Nadhir dan yang semisalnya, lalu disampaikan kepada generasi-generasi berikutnya sebagai metode dan manhaj tertentu yang diikuti dan dipraktekkan oleh ratusan juta kaum muslimin di zaman sekarang.

Oleh karena itu, siapapun orangnya, jika mempunyai kemampuan memberi fatwa secara independen tanpa terpengaruh oleh Madzhab apapun lalu dicatat oleh para pendengarnya baik itu murid ataupun masyarakat umum lalu dikembangkan secara komprehensif sebagai sebuah arus dengan corak pemikiran tertentu, maka silahkan tunggu seabad dua abad, akan muncullah Madzhab baru dengan corak tersebut.

Termasuk sang dosen yang jadi pembicaraan kita ini. Kalau beliau mempunyai banyak fatwa, pendapat, pemikiran dan qaul -apapun itu- lalu dicatat oleh mahasiswa-mahasiswanya dan mereka kembangkan di era berikutnya, maka akan muncul pula Madzhab dosen tersebut di kemudian hari.

Kalau boleh Marxisme, Leninisme dan Darwinisme kita sebut sebagai Madzhab, maka proses terbentuknya juga sama dengan yang terjadi dalam Madzahib Fiqhiyyah ini. Mereka semua -baik Marx, Lenin ataupun Darwin- mengemukakan suatu pendapat atau pemikiran tertentu yang tercatat dalam buku-buku mereka lalu dikembangkan oleh pemikir-pemikir berikutnya menjadi sebuah aliran pemikiran materialis dengan corak tertentu, dianalisa dan dikodifikasikan sebagai teori baku yang darinya dikembangkan teori-teori baru yang memenuhi banyak buku di era-era berikutnya dan mempengaruhi banyak orang. Maka, semua inipun masuk dalam wilayah Madzhab.

Nah, terkait dengan ini, tentu sangatlah gegabah dan terburu-buru bila kemudian muncul sikap anti Madzahib secara mutlak, karena sikap ini pun pada era berikutnya atau 2-3 abad berikutnya, jika memperoleh kesempatan tumbuh dan berkembang hingga pada titik kodifikasi metode dan manhajnya, maka tak pelak lagi akan menjadi madzhab baru yang boleh anda juluki madzhab Laa Madzahib atau madzhab Dhiddul Madzahib, yang jelas fenomena seperti ini menjadi sebuah gambaran akan kurangnya informasi pada diri seseorang tentang tumbuh dan berkembangnya Madzahib yang tentu tidak layak disampaikan oleh seorang dosen sebagai pengembang ilmu pengetahuan.

Jika memang kemunculan Madzahib seperti ini tidak mungkin dihindari, maka para ulama' pun membuat batasan dan tidak serta merta mewajibkan semua orang mengikuti madzhab fiqh tertentu karena mereka juga tahu betul bahwa dalam Madzahib ada kesalahan-kesalahan dalam berfatwa sebagaimana diungkapkan dalam pepatah "Likulli 'Aalimin Hafwah" yang artinya, "Setiap Ulama' pun mempunyai hal-hal yang nyeleneh," yang sama persis seperti alasan yang diungkapkan oleh sang dosen ketika menolak Madzahib: "Karena merupakan hasil fikir manusia yang rentan mengandung kesalahan."

Batasan-batasan itu disebutkan dan diisyaratkan dalam kitab-kitab Ushul Fiqh ketika membahas tentang masalah Taqlid, Ittiba' dan Ijtihad. Tiga masalah ini sejatinya sedang menggambarkan pembagian kaum muslimin menjadi tiga kelompok:

  1. Muqallid yang hanya bisa taqlid atau mengikuti dan melaksanakan apa saja yang disampaikan orang lain tanpa dasar, karena memang tidak mempunyai kemampuan ilmiah untuk memahami nash-nash seperti pada kalangan orang-orang yang baru masuk Islam ataupun anak-anak yang baru belajar cara mengaji dan shalat dengan baik. Jangan harap mereka bisa mencerna Al-Qur'an dan Al-Hadits kalau membaca huruf hijaiyyah saja tertatih-tatih dan terjungkal-jungkal.

  2. Muttabi' yang sudah mampu ittiba' alias mampu mengikuti dan melaksanakan ajaran Islam berdasar dalil namun belum mampu mengambil sendiri kesimpulan hukum langsung dari nash-nash yang ada karena belum menguasai alat-alat ijtihad. Hal ini banyak kita jumpai pada para santri yang baru saja lulus dari pesantren dan sudah belajar banyak dalil yang menjadi panduannya dalam beramal, namun sangat bingung ketika bertemu dengan orang lain yang mempunyai pendapat berbeda.

  3. Mujtahid yang mampu mengambil kesimpulan secara langsung dari nash-nash tanpa perantara orang lain karena sudah menguasai alat-alat ijtihad seperti pengetahuan yang dalam tentang bahasa arab dan seluruh disiplin ilmu yang berkaitan dengannya, pengetahuan tentang Al-Qur'an dan Al-Hadits serta seluruh disiplin ilmu yang berkaitan dengannya, juga tentang ilmu Manthiq dan Ushul Fiqh dan seluruh disiplin ilmu yang berkaitan dengannya.


Nah, kelompok Muqallid, diharuskan untuk mengikuti madzhab tertentu agar memudahkan mereka dalam melakukan amal keseharian seperti urusan ibadah dan muamalah.

Adapun kelompok Muttabi', dipersilahkan mengikuti pendapat yang menurutnya paling kuat berdasar dalil dan bukan paling enak atau paling keras untuk dilakukan.

Sedangkan kelompok Mujtahid, maka ia diperkenankan meninggalkan Madzahib bahkan sampai pada tingkatan diwajibkan menolak Madzahib karena ia sudah sampai pada tingkatan mampu memunculkan Madzhabnya sendiri secara independen. Jika ada seorang Mujtahid yang kemudian masih mengikuti Madzhab tertentu tanpa mengkritisi, maka sama saja ia telah menyia-nyiakan ilmunya.

Maka tak heran bila Imam Asy-Syaukani menyatakan diri menolak Madzahib karena beliau sejak usia 25 atau 28 tahun sudah mencapai tingkatan Mujtahid Muthlaq yang mampu mengistimbath apa saja dalam masalah apa saja dari nash-nash yang mana saja.

Maka kita bisa menjawab alasan sang dosen yang menolak madzahib dengan pertanyaan singkat: "Anda termasuk dalam kelompok yang mana dari tiga kelompok ini sehingga memutuskan untuk menolak Madzahib?"

Mengurai Ushul Fiqh

Tuduhan yang mirip juga diarahkan kepada Ushul Fiqh, karena fakta juga membuktikan bahwa ilmu Ushul Fiqh memang benar-benar ditulis oleh ulama yang tentunya mereka adalah manusia yang tentunya juga punya potensi salah dalam konteks kemanusiaannya.

Namun berbicara tentang Ushul Fiqh, tidak terlepas pula dari pembicaraan tentang Madzahib karena Ushul Fiqh tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan Madzahib itu sendiri.

Sebagai contoh, Imam Asy-Syafi'i telah menulis kitabnya Ar-Risalah yang merupakan kitab pertama yang merumuskan Ushul Fiqh, sementara Imam Ahmad disebutkan telah menulis kitab An-Nasikh wal Mansukh yang merupakan subset dari kajian Ushul Fiqh.

Berawal dari kajian-kajian mereka, ulama generasi berikutnya menyempurnakan kajian-kajian Ushul Fiqh hingga terbentuklah dua aliran utama Ushul Fiqh yaitu aliran Mutakallimun -yang biasanya dinisbatkan kepada Madzhab Al-Maliki, Asy-Syafi'i dan Hambali- dan aliran Fuqaha' -yang biasa dinisbatkan kepada Madzhab Hanafi-.

Ushul Fiqh aliran Mutakallimun mempunyai ciri khas yaitu memprioritaskan tataran teoritis sebelum tataran praktis sehingga banyak kaidah-kaidah Ushul Fiqh yang mereka rumuskan tidak bersumber dari permasalahan fiqh yang benar-benar terjadi di masyarakat, namun berasal dari olah fikir atau hasil renungan mendalam yang bersifat khayali dan diuji secara khayali juga hingga tahap perumusan kaidah-kaidahnya, lalu ditulislah hasil finalnya dalam kitab-kitab Ushul Fiqh yang ada. Barangkali istilah "Metode Induktif" mampu mewakili gaya perumusan kaidah-kaidah Ushul Fiqh mereka.

Sementara corak Ushul Fiqh aliran Fuqaha' adalah sebaliknya yang dimulai terlebih dahulu dari klasifikasi permasalahan-permasalahan fiqh yang biasa dijumpai di masyarakat, lalu dari hasil klasifikasi itu dibuatlah rumusan-rumusan tentang benang merah antar satu masalah dengan masalah yang lain yang mempunyai kemiripan, lalu ditingkatkan lebih jauh menjadi suatu rumusan kaidah yang kemudian dicatatlah hasil finalnya dalam kitab-kitab Ushul Fiqh mereka. Barangkali, istilah "Metode Deduktif" cukup mewakili ciri khas perumusan kaidah-kaidah aliran ini.

Kembali kepada permasalahan awal, bagaimana mungkin kita bisa menerima Ushul Fiqh yang dirumuskan manusia yang rentan terhadap kesalahan berfikir?

Jawabannya sebenarnya ada pada diri kita masing-masing, sebab ilmu Ushul Fiqh hakikatnya adalah sebuah pemetaan dari cara berfikir manusia ketika berinteraksi dengan sesamanya yang berarti prinsip-prinsip dasarnya telah ada pada diri tiap manusia dan dipraktekkan secara spontan sejak usia yang cukup dini.

Sebagai contoh, ketika seorang anak berumur 3 tahun mendengar ayahnya berkata, "Duduk!" maka secara spontan anak tersebut akan duduk sebagai bentuk taat kepada orang tua.

Jika adegan di atas dianalisa menggunakan ilmu Ushul Fiqh, maka kita bisa melihat bahwa sang ayah adalah orang yang sedang memerintah, lalu anaknya taat melaksanakan perintah, maka ini sudah sesuai dengan kaidah Ushul Fiqh "Al-Ashlu fil Amri lilwujuub," bahwa segala perintah pada asalnya adalah wajib dilaksanakan yang hal ini tidak perlu diajarkan di bangku sekolah karena anak kecil usia dinipun faham bahwa perintah dari ayah harus dilakukan, kalo tidak bisa kena jewer. Nah, ini adalah prinsip dasar memahami suatu perintah.

Oleh karena itu, jika ada orang yang tergesa-gesa menyatakan menolak menggunakan Ushul Fiqh karena merupakan hasil karya manusia yang mengandung potensi kesalahan, maka pernyataan ini sama saja dengan pernyataan menolak akalnya sendiri, karena Ushul Fiqh tidak lain hanyalah pemetaan akal manusia.

Lalu bagaimana dengan fakta bahwa Amr atau perintah bisa bermakna wajib, sunnah atau mubah? Bukankah ini tidak jelas dan membingungkan?

Maka jawabannya adalah, bahwa fakta ini sudah sangat jelas karena kaidah ini memang berujung kepada tiga kemungkinan makna tergantung kepada informasi atau ucapan yang menjadi bahan analisa.

Jika yang memerintah anak kecil tadi adalah kakaknya, maka perintah itu akan bermakna sunnah atau anjuran, karena kakak adalah manusia yang setara dengannya yang sebenarnya tidak berhak memerintah adiknya.

Atau jika yang memerintah anak kecil tadi adalah orang asing yang kebetulan lewat, maka perintah tersebut bermakna mubah, karena memang ia tidak berhak memerintahnya.

Nah, kesalahfahaman yang terjadi dalam memvonis kaidah Amr sebagai sesuatu yang tidak jelas dan membingungkan adalah keliru, karena hanya memvonis kaidah pada tataran teori dan bukan prakteknya yang hal ini merupakan satu tindakan terburu-buru. Padahal kaidah yang dianggap salah tersebut sebenarnya justru menunjukkan sesuatu yang sangat rinci, sesuatu yang memetakan semua kemungkinan hasil fikir yang mungkin timbul setelah melihat dan mengamati informasi-informasi yang masuk ke akal kita sebelum mengambil tindakan.

Adapun jika kemudian terjadi kesalahfahaman dalam memahami informasi yang datang, maka hal itu adalah sesuatu yang wajar, sebab manusia manapun pernah terkecoh atau salah memahami kalimat yang dilontarkan oleh orang lain dan itu bukan berarti Ushul Fiqh menjadi salah dan harus ditolak. hal ini sama dengan kondisi seseorang yang salah memahami ilusi dalam sebuah pertunjukan sulap lalu menganggapnya sebagai sesuatu yang nyata.

Lebih jauh lagi, jika kita menyepakati untuk menolak Ushul Fiqh, lalu bagaimana nasib anak kecil yang diperintah ayahnya duduk tadi? Haruskah ia duduk ataukah memilih cuek dan tidak peduli?

Kalau dia memilih duduk, berarti ia telah mengikuti kaidah Ushul Fiqh bahwa asal semua perintah adalah wajib. Sebaliknya, kalau dia bersikap cuek dengan beralasan telah membuang Ushul Fiqh yang buatan manusia ini, maka apa pantas dikatakan sebagai anak yang berakal dan waras di hadapan ayahnya?

Lebih dan lebih jauh lagi, jika dalam Al-Quran ada nash yang memerintahkan kaum mu'minin untuk shalat, harus bagaimana? Apakah harus melaksanakan shalat? Ataukah harus cuek bebek tak peduli?

Kalau mereka kemudian memutuskan untuk shalat, berarti telah mengikuti kaidah Ushul Fiqh, bahwa asal perintah adalah wajib. Kalau kemudian seluruh kaum mu'minin bersikap cuek dan tidak peduli dengan nash karena telah menyatakan menolak dan membuang Ushul Fiqh, maka apa pantas kaum seperti ini dikatakan sebagai manusia berakal dan waras di hadapan Tuhannya?

Apakah manusia dianggap berakal dan waras jika dia mendengar perintah ia selalu cuek? Jika mendengar larangan ia selalu tak peduli? Jika mendengar anjuran ia selalu acuh tak acuh?

Manusia mana yang dianggap berakal kalau ia menolak memahami ucapan orang lain?

Oleh karena itu, mustahil kita bisa menolak Ushul Fiqh karena setiap manusia sebenarnya telah mempraktikkan kaidah-kaidahnya sejak usia dini, secara spontan dan secara otomatis tanpa perlu belajar terlebih dahulu. Sehingga bisa kita simpulkan bahwa Ushul Fiqh atau pokok-pokok pemahaman itu sebenarnya telah ada dalam diri tiap manusia, lalu para ulamalah yang memetakannya dalam bentuk khazanah ilmiah yang disebut ilmu Ushul Fiqh.

Wallahu a'lam bish shawab.

No comments:

Post a Comment

Terbaru

recentposts

Sementara Itu

randomposts