An-Nakiroh dan Al-Ma’rifah (bagian 13)

Al-Maushul


 

Pembentukan Mashdar Muawwal Dari لَوْ Dan Jumlah Fi’liyyah

Untuk لَوْ sebagai Al-Maushul, ia hanya bisa dihubungkan dengan Jumlah Fi’liyyah (kalimat yang diawali oleh Fi’il) dengan satu syarat yaitu: bahwa Fi’il yang digunakan dalam Jumlah Fi’liyyah tersebut adalah Fi’il Mutasharrif (kata kerja yang bisa diderivasi) dan bukan Fi’il Amr (kata kerja perintah).

Contoh: Firman Allah:

وَدُّوْا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُوْنَ

(Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).) Al-Qalam 9.

Pada ayat di atas terdapat satu Jumlah Fi’liyyah setelah Harf لَوْ yaitu kalimat تُدْهِنُ, sebab kalimat ini, meskipun pendek, sebenarnya sudah mengandung 2 unsur utama Jumlah Fi’liyyah, yaitu Fi’il (kata kerja) dan Fa’il (pelaku kata kerja). Dalam hal ini, yang menjadi Fi’il-nya adalah kata تُدْهِنُ yang artinya berpuasa, sedangkan Fa’il-nya adalah dhamir atau kata ganti أَنْتَ yang menjelaskan siapa yang berpuasa, yaitu “kamu.”

Pada ayat di atas, kata لَوْ berfungsi sebagai Al-Maushul sedangkan kalimat تُدْهِنُ berfungsi sebagai shilah-nya.

Untuk membuktikan bahwa لَوْ benar-benar berfungsi sebagai Al-Maushul, maka kita bisa men-ta’wil atau mengungkapkan ayat ini dalam bentuk lain yaitu dengan mengganti لَوْ تُدْهِنُ dengan satu Mashdar (kata dasar) yang diambil dari Shilah-nya (تُدْهِنُ) yaitu إِدْهَانٌ (Bersikap lunak) sehingga kalimat dalam ayat tersebut bisa diungkapkan dengan:

وَدُّوْا إِدْهَانَكَ فَيُدْهِنُوْنَ

(Maka mereka menginginkan sikap lunakmu lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).)

Dari hasil ta’wil atau penggantian ini, ternyata tidak ada perubahan arti yang mencolok dari makna ayat yang sesungguhnya sebelum dilakukan ta’wil, sebab makna “Sikap lunakmu” tidak jauh berbeda dengan makna “Kamu bersikap lunak.”

Dengan demikian terbukti bahwa لَوْ dalam ayat di atas berfungsi sebagai Al-Maushul.

Penggunaan اَلَّذِيْ Sebagai Harfi Bukan Ismi

Kata اَلَّذِيْ memang lebih dikenal sebagai Isim Maushul daripada Harful Maushul. Adapun ahli nahwu pertama yang menyebutkan اَلَّذِيْ sebagai Harful Maushul adalah Yunus bin Habib yang kemudian dinukil oleh Abu Ali Al-Farisi seorang ahli nahwu kenamaan pendukung madzhab Kufiyyun. Ia membuktikan hal ini dengan firman Allah SWT:

وَخُضْتُمْ كَالَّذِيْ خَاضُوْا

(Dan kamu mempercakapkan (hal yang batil) sebagaimana mereka mempercakapkannya.) At-Taubah 69.

Dalam ayat di atas terdapat kalimat الَّذِيْ خَاضُوْا yang mempunyai susunan tidak biasa karena kata اَلَّذِيْ menunjukkan mufrod atau tunggal, sementara kata خَاضُوْا adalah jama’. Dikatakan tidak biasa karena dalam ilmu nahwu disebutkan bahwa aturan rangkaian Ismul Maushul dengan Jumlah Shilah-nya -yaitu kalimat yang menjelaskan maksud Ismul Maushul- harus mengandung rabith (pengikat) yang berbentuk dhamir (kata ganti) yang bilangannya harus sesuai dengan bilangan Ismul Maushul yang digunakan. Artinya, jika Ismul Maushul yang digunakan adalah mufrod, maka rabith-nya juga harus mufrod. Jika Ismul Maushul yang digunakan adalah jama’, maka rabith-nya juga harus jama’. Oleh karena itulah potongan ayat ini dikatakan tidak biasa karena seakan-akan melanggar kaidah bahasa, sebab bila mengikuti kaidah bahasa, semestinya potongan ayat di atas harus berbunyi:

كَالَّذِيْ خَاضَ atau كَالَّذِيْنَ خَاضُوْا

yang sama-sama mufrod atau sama-sama jama’.

Adapun Yunus bin Habib menganggap hal ini biasa karena kata اَلَّذِيْ dalam ayat ini menurut beliau adalah Harful Maushul dan bukan Ismul Maushul. Oleh karena ia adalah Harful Maushul, maka ia diperlakukan seperti Harful Maushul lainnya yang tidak mengharuskan adanya kesamaan bilangan dhamir antara Harful Maushul dengan rabith-nya.

Jika kita ikuti pendapat Yunus bin Habib ini, maka fungsi اَلَّذِيْ pada potongan ayat di atas serupa betul dengan fungsi ماَ, لَوْ dan أَنْ yang sudah dibahas pada pembahasan-pembahasan yang telah lalu. Dengan demikian kita bisa men-ta’wil atau mengungkapkan potongan ayat di atas dalam bentuk lain yaitu dengan mengganti kalimat اَلَّذِيْ خَاضُوْا dengan satu Mashdar (kata dasar) yang diambil dari Shilah-nya (خَاضُوْا) yaitu خَوْضٌ (Percakapan) sehingga kalimat dalam potongan ayat di atas bisa diungkapkan dengan:

وَخُضْتُمْ كَخَوْضِهِمْ

(Dan kamu mempercakapkan (hal yang batil) sebagaimana percakapan mereka.)

Dari hasil ta’wil atau penggantian ini, ternyata tidak ada perubahan arti yang mencolok dari makna ayat yang sesungguhnya sebelum dilakukan ta’wil, sebab makna “Percakapan mereka” tidak jauh berbeda dengan makna “Mereka mempercakapkannya.”

Dengan demikian terbukti bahwa اَلَّذِيْ dalam ayat di atas berfungsi sebagai Harful Maushul yang tidak mengharuskan kesamaan dalam bilangan dhamir antara ia dan rabith-nya.

Namun bukan berarti semua ahli nahwu setuju dengan pendapat Yunus bin Habib ini, karena para ahli nahwu yang lain mempunyai pemikiran berbeda dan jalan keluar yang berbeda dengan tetap mempertahankan kaidah-kaidah nahwu yang baku sehingga mereka tidak mengakui bahwa kata اَلَّذِيْ ini termasuk dalam kelompok Harful Maushul.

Untuk menjawab pendapat Yunus bin Habib ini mereka menyebutkan dua pemecahan, yaitu:

  1. Bahwa kata اَلَّذِيْ dalam ayat ini adalah Ismul Maushul yang menempati posisi na’at atau shifah (kata keterangan yang menjelaskan sifat dari kata sebelumnya) akan tetapi man’ut atau maushuf (kata yang diterangkan sifatnya oleh na’at)  dari kata اَلَّذِيْ ini berstatus mahdzuf (dibuang dan tidak diucapkan karena sudah bisa difahami). Sehingga taqdirul kalam (kalimat selengkapnya) dari ayat ini adalah:


وَخُضْتُمْ خَوْضًا كَالْخَوْضِ الَّذِيْ خَاضُوْا

(Dan kamu mempercakapkan suatu percakapan sebagaimana percakapan yang mereka percakapkan.)

Pada kalimat selengkapnya yang disebutkan di atas terlihat jelas bahwa kata اَلْخَوْض adalah man’ut/maushuf (kata yang dijelaskan sifatnya oleh na’at) yang kemudian dibuang atau mahdzuf dalam susunan ayat di atas karena sudah bisa difahami maksudnya. Adapun kata اَلَّذِيْ menempati posisi na’at/shifah (kata keterangan yang menjelaskan sifat dari kata sebelumnya) yang memiliki jumlah shilah (kalimat penjelas) yaitu kalimat خَاضُوْا yang berbentuk Jumlah Fi’liyyah (kalimat yang diawali oleh kata kerja) yang harus mengandung dhamir rabith (kata ganti pengikat) yang dalam hal ini adalah dhamir هُ (dia) yang kebetulan mahdzuf (dibuang karena sudah bisa difahami) yang taqdirul kalam atau kalimat selengkapnya adalah:

كَالْخَوْضِ الَّذِيْ خَاضُوْهُ

(sebagaimana percakapan yang mereka mempercakapkannya.)

Dan karena dhamir هُ (dia) di akhir kalimat ini adalah mufrod atau tunggal yang sesuai betul dengan bentuk اَلَّذِيْ yang juga mufrod maka dapat dipastikan bahwa ayat ini tidak melanggar kaidah nahwu yang baku tentang Ismul Maushul sehingga tidak perlu memaksakan sebuah tahlil lughawi (pemecahan secara bahasa) dengan cara menganggap اَلَّذِيْ pada ayat ini sebagai Harful Maushul seperti ide yang dicetuskan oleh Yunus bin Habib.

Dengan jawaban ini, maka pendapat yang mengatakan bahwa kata اَلَّذِيْ bisa diperlakukan sebagai Harful Maushul adalah pendapat yang lemah dan telah terbantah dengan adanya bukti bahwa kata اَلَّذِيْ dalam ayat ini termasuk dalam kelompok Ismul Maushul.

  1. Bahwa kata اَلَّذِيْ pada ayat ini adalah Ismul Maushul yang berlaku untuk semua atau untuk jama’ yang asalnya adalah kata اَلَّذِيْنَ yang dibuang huruf Nun pada akhirnya hingga menjadi اَلَّذِيْ.


Secara bahasa bisa dibuktikan bahwa tindakan membuang huruf Nun ini adalah suatu hal yang biasa karena bisa dijumpai dalam syair-syair Arab -yang menjadi landasan kaidah-kaidah nahwu yang baku- seperti bait-bait syair ciptaan Ar-Rajiz seorang pujangga Arab klasik:

يَا رَبَّ عِيْسَى لاَ تُبَارِكْ فِيْ أَحَدْ       فِي قَائِمٍ مِنْهُمْ وَلاَ فِيْمَنْ قَعَدْ


إِلاَّ الَّذِيْ قَامُوْا بِأَطْرَافِ الْمَسَدْ


(Wahai Tuhannya Isa, jangan Engkau berkahi seorangpun…

Baik yang berdiri di antara mereka ataupun yang duduk…

Kecuali orang-orang yang berdiri (dengan membawa) ujung-ujung tali sabut…)

Pada bait terakhir karya Ar-Rajiz ini terdapat kalimat اَلَّذِيْ قَامُوْا yang sebenarnya berbunyi اَلَّذِيْنَ قَامُوْا dengan dasar bahwa dalam bait-bait sebelumnya Ar-Rajiz berdoa agar Allah tidak memberikan berkah kepada semua orang -baik yang berdiri ataupun yang duduk- sehingga pada bait terakhir mau tidak mau harus difahami bahwa Ar-Rajiz hendak mengecualikan banyak orang dengan mengucapkan اَلَّذِيْ قَامُوْا karena asal kalimat tersebut adalah adalah اَلَّذِيْنَ قَامُوْا yang huruf Nun di akhir kata اَلَّذِيْنَ tersebut dibuang hingga menjadi اَلَّذِيْ dengan tujuan meringkas kalimat karena panjangnya rangkaian kata اَلَّذِيْنَ bila harus disertai Jumlah Shilah-nya secara lengkap.

Karena sudah terbukti secara bahasa bahwa tindakan membuang huruf Nun ini adalah hal yang biasa, maka dengan demikian potongan ayat كَالَّذِيْ خَاضُوْا pastilah menggunakan metode membuang huruf Nun yang merupakan hal yang biasa, sehingga kata اَلَّذِيْ pada ayat ini tetap dianggap sebagai Ismul Maushul dan dengan demikian bukti ini secara faktual telah membantah tahlil lughawi (pemecahan secara bahasa) yang dicetuskan oleh Yunus bin Habib yang menganggap bahwa kata اَلَّذِيْ pada ayat ini adalah Harful Maushul.

 

(bersambung)

 

No comments:

Post a Comment

Terbaru

recentposts

Sementara Itu

randomposts