Foto: www.wisegeek.com |
Anyway, seperti biasa, mengajar pada jam ke 9 dan 10 alias jam pelajaran paling akhir selalu mengikuti rumus persamaan: Beban+Beban+Beban = Bx3 = B.3 = Sumpeg!!!
Bagaimana tidak sumpeg jika pelajaran yang mau diajarkan dianggap pelajaran tersulit, lalu diajarkan di saat matahari sedang semangat-semangatnya membakar bumi dan di saat konsentrasi para santri sudah tersedot habis oleh 8 jam pelajaran sebelumnya secara kontinyu sejak jam 7 pagi... Apalah yang tersisa untuk saya selain rasa sumpeg yang saya coba tutup-tutupi dengan semangat buatan untuk menggerakkan mereka mendengarkan pelajaran.
Akibatnya, bagi yang tidak siap atau tidak mau siap untuk menerima pelajaran, dengan sangat mudahnya dibekap oleh rasa bosan lalu kemudian dibius oleh tiupan rasa kantuk dan akhirnya di-K.O. oleh upper-cut tidur setengah lelap yang kebetulan siang ini menimpa salah seorang murid yang duduk di deretan bangku tepat sebelum bangku deretan belakang.
Sebagai tanggung jawab moril atas tugas saya sebagai pendidik, saya isyaratkan kepada teman-temannya yang duduk di sebelahnya untuk membangunkannya.
Di luar dugaan, begitu terbangun dari tidurnya -yang dengan gaya kepala mendongak ke atas tertahan oleh bagian kursi penyangga punggung- secara spontan santri saya yang satu ini merasa di telapak tangan kirinya sedang ada cairan air liur -meskipun saya yakin tidak ada- yang buru-buru hendak ia bersihkan lalu secara spontan pula ia mengusap wajahnya dengan gaya berwudhu yang di mata teman-teman sekelasnya seakan-akan ia sedang meratakan cairan air liur itu di seluruh wajahnya yang tentu saja mengundang tawa mereka bahkan berlanjut menjadi sikap mentertawakan orang lain secara sarkastik mirip sindrom katagelastisisme, seperti jamak dijumpai pada anak-anak umur belasan tahun seperti mereka.
Saya hanya bisa tertegun tanpa senyum dan tanpa ekspresi karena saya merasakan betul rasa malu yang sedang dialami murid saya ini ketika ditertawakan oleh teman-temannya satu kelas, maka, untuk menutupi rasa malunya saya perintah dia untuk keluar membasuh wajahnya dengan air agar terasa segar dan hilang rasa kantuknya lalu bisa mengikuti pelajaran kembali.
Sejenak kemudian ia berdiri lalu memaki santri lain yang duduk di bangku di depannya dengan mulut mengucapkan kata "anjing" tanpa mengeluarkan suara, namun terlihat jelas luapan emosi yang tergambar di wajahnya seakan siap untuk membogem lawannya lalu kemudian ia keluar dari kelas dan tak kembali lagi hingga bel selesai sekolah berbunyi.
Tindakan yang baru saja ia lakukan tentunya adalah tindakan bela diri atau setidaknya pengalihan perhatian dari rasa malu menjadi rasa marah. Sebab secara alami, manusia lebih suka menampilkan luapan marah daripada "menikmati" saat-saat ditertawakan orang di depan umum yang saya yakin anda pun pernah mengalaminya.
Subhanallah, saya hanya mengelus dada melihat tingkah polah mereka...
Betapa sulitnya mendidik anak-anak untuk bersikap merasakan penderitaan orang lain atau bersabar dalam kondisi memalukan seperti itu. Betapa sulitnya menyatukan hati sesama muslim bila tidak pernah ada kesadaran untuk berakhlak mulia, meski dalam kondisi terburuk sekalipun.
Memahami orang lain
Anas bin Malik R.A. pernah menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pernah bersabda:
«لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ، حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ»
"Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga ia menyukai untuk saudaranya apa yang ia sukai untuk dirinya sendiri." (H.S.R. Al-Bukhary)
Hadits ini secara ringkas menunjukkan bahwa seorang mu'min yang menyatakan beriman kepada risalah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mestinya memperlakukan saudaranya seiman sama persis dengan ia memperlakukan dirinya sendiri.
Dalam konteks lebih luas, manusia mempunyai banyak hal yang ia sukai. Paling tidak secara naluri, manusia mencintai harta benda, istri dan keturunan, sawah ladang dan kendaraan yang merupakan ukuran standar manapun baik muslim ataupun kafir.
Anda bisa tengok firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala berikut:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)." (Q.S. Ali Imran 14)
Dari segi spiritualitas atau barangkali lebih tepat disebut "Kepuasan Diri," manusia juga mempunyai banyak hal yang ia sukai yang biasanya terbangun dengan sendirinya sejak masih dalam buaian bunda hingga tertanam di dalam hati dalam bentuk sikap dan perangai.
Adalah fakta bahwa manusia suka dipuji, suka mendahului yang lain, suka menang, suka dihormati, suka disayangi dan seterusnya. Sebagaimana manusia juga tidak suka dicela, didahului, dikalahkan, diejek, dibenci dan seterusnya.
Maka menurut hemat saya, umat manusia boleh dikatakan sangat beruntung sekaligus sangat buntung setelah memiliki sifat-sifat alami di atas.
Disebut beruntung karena dengan sifat ingin dipuji, ingin menang, dihormati dan lain sebagainya, akan mendorong manusia untuk terus maju sesuai dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan yang diserapnya. Bahkan, potret sederhana seorang buruh tani yang bekerja keras di ladang-ladang, tidak lain agar ia dapat dihormati oleh anak dan istrinya.
Maka bisa dipastikan bahwa anda tidak akan pernah menemukan spesies makhluk hidup apapun di dunia ini yang mampu bersaing dan berkembang pesat seperti umat manusia.
Kalau seandainya sekoloni semut diberi sifat-sifat seperti ini, maka mereka tidak akan lagi tinggal di liang-liang dalam tanah dan barangkali sudah membangun hotel-hotel mereka sejak dahulu karena jelas spesies mereka sudah ada jutaan tahun lebih dahulu daripada manusia.
Sungguh beruntung umat manusia memiliki sifat-sifat ini.
Namun Allah benar-benar maha adil, karena juga memberi kesempatan dan peluang kepada manusia menjadi umat yang buntung dan hancur ketika menyalahgunakan sifat-sifat alami tersebut untuk menyombongkan diri dan merendahkan manusia-manusia selain dirinya.
Tak perlulah saya menukil ayat-ayat tentang kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, Sodom, Madyan, Fir'aun dan Ashabul Aykah yang diadzab Allah Subhanahu Wa Ta'ala dengan berbagai varian adzab yang sampai sekarangpun kita tidak bisa menggambarkannya dengan tepat karena keterbatasan kita.
Tapi cukuplah bagi kita sebuah kesimpulan bahwa penyelewengan sifat-sifat tersebut akan menghancurkan umat manusia sehancur-hancurnya.
Bila kita mengkaji Al-Qur'an, maka cukup banyak kita jumpai ayat-ayat yang menjabarkan sifat-sifat alami dari diri manusia ini. Seperti yang disebutkan dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala:
إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا (19) إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا (20) وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا (21)
"Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir." (Q.S. Al-Ma'arij 19-21)
Juga di dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim." (Q.S. Al-Hujurat 11)
Ejek mengejek, tertawa mentertawakan, rendah merendahkan, semuanya adalah sifat dasar manusia. Bahkan kaum mu'minin ketika di akhirat kelak akan tertawa-tawa sebagai balasan atas kaum kafir yang mentertawakan mereka selama di dunia.
فَالْيَوْمَ الَّذِينَ آمَنُواْ مِنَ الْكُفَّارِ يَضْحَكُونَ
"Maka pada hari ini, orang-orang yang beriman menertawakan orang-orang kafir." (Q.S. Al-Muthaffifin 34)
Maka, berkaca dari sifat-sifat alami manusia yang seperti ini, diperlukan seperangkat manajemen sikap dan mental yang baik yang didefinisikan dalam khazanah keilmuan Islam sebagai Akhlak.
Oleh karena itu, ketika ada sekelompok yang mengaku mu'min lalu terbiasa mentertawakan sesama mereka dan tidak memahami apa yang dirasakan saudaranya, maka perlu diperiksa kembali keimanannya atau bahkan perlu disanggah klaimnya sebagai mu'min.
Kalau Anda suka dipuji dan dihargai, maka puji dan hargailah orang lain. Jika Anda tidak suka diejek dan ditertawakan orang lain, maka jangan sekali-kali mengejek dan mentertawakan orang lain, karena itulah makna yang disampaikan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bahwa menjaga dan memahami apa yang dicintai saudara-saudara kita dan mengusahakan agar mereka mampu mendapatkannya dengan mudah adalah buah keimanan.
Jika kemudian sikap itu tidak pernah nampak dalam pergaulan kita dengan sesama muslim, maka segera kunjungi pohon keimanan kita, adakah ia telah ditumbuhi jamur fusuk ataukah benalu kufur?
Maka benarlah apa yang disampaikan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam:
«سِبَابُ المُسْلِمِ فُسُوقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ»
"Mencela seorang muslim adalah kefasikan, memeranginya adalah kekufuran." (H.S.R. Al-Bukhary)
Bersabar dan tersenyum
Dari sisi yang berbeda, ketika seseorang terjebak dalam suasana memalukan, maka ledakan emosilah yang akan mengambil alih akal sehatnya.
Barangkali anda pernah mendengar falsafah hidup orang Madura yang berbunyi: "Tembang poteh mata angu'an poteh tolang" yang secara harfiah berarti: "Daripada putih mata lebih baik putih tulang" atau yang secara maknawiyah berarti "Daripada malu lebih baik mati."
Atau barangkali juga anda pernah mendengar falsafah hidup orang jawa yang berbunyi: "Sadumuk Bathuk Sanyari Bumi Ditohi Pati" yang artinya "Satu sentuhan pada dahi, satu jari luasnya tanah, pasti dibalas kematian" yang jika diserap makna simbolisnya, bahwa "Bathuk" atau dahi adalah simbol kehormatan menurut orang Jawa karena dahi adalah tempat akal fikiran, yang jika disentuh dengan ujung jari (Jawa: dijendhul) maka sama saja menganggap pemilik dahi tidak punya akal dan itu berarti penghinaan berat atas harga diri mereka. Adapun "Bumi" atau tanah adalah lambang kepemilikan menurut orang Jawa. Maka walaupun seujung jari luas tanah yang diserobot orang, mereka akan rela membelanya walau nyawa taruhannya.
Dari perspektif ini, anda bisa melihat bahwa Islam sangat menjaga kehormatan manusia manapun sebagaimana dirumuskan ulama' dalam teori Maqashidusy Syari'ah atau tujuan yang hendak dicapai oleh syari'at yang salah satunya adalah menjaga kehormatan.
Maka tak heran banyak nash yang melarang menghina orang lain, ghibah, memberi julukan yang merendahkan bahkan melarang memaki patung-patung sesembahan kaum kafir dan musyrik.
Sebagai solusi final, Islam mengenalkan perilaku sabar dan selalu tersenyum karena memang dua hal ini mampu meredam ledakan-ledakan emosi yang dapat menutup akal fikiran.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berwasiat kepada salah seorang sahabat untuk tidak marah dan mengulangnya beberapa kali juga menganjurkan para sahabat agar tersenyum sebagai suatu sedekah, yang sayangnya dua hal ini malah banyak dipraktekkan para salesman dengan selalu sabar bila ditolak orang dan selalu tersenyum bila bertemu orang.
Nah, jika memang perangkat akhlak yang diajarkan Islam sudah lengkap seperti ini, maka timbulnya sikap marah, emosi dan wajah yang cemberut dari seseorang yang kebetulan menjadi korban tertawaan orang adalah sinyal-sinyal adanya ketidak beresan pada pribadi tersebut dalam berakhlak mulia.
Bukan karena pribadi tersebut tidak tahu nash atau karena tidak pernah belajar tentang hal itu. Munculnya sikap-sikap seperti ini tidak lain karena tidak pernah melihat figur yang memberi contoh atau lingkungan yang mampu membiasakan mereka bersikap sabar dan selalu tersenyum.
Tentu anda bisa bayangkan bagaimana santri yang saya ceritakan di awal tulisan ini terjebak dalam lingkungan sekelompok santri yang terbiasa mentertawakan orang, mengejek orang, memaki orang dan meluapkan emosi kepada orang lain.
Padahal ketika saya membangunkan dia dari tidurnya, tidak terbersit dalam hati untuk mempermalukannya dan saya sama sekali tidak berharap santri-santri yang lain tertawa karena itu bukan sesuatu yang lucu dan anda tentu mengerti benar bahwa Amar Ma'ruf Nahi Munkar meskipun sekedar menegur santri yang sedang menyi-nyiakan waktunya dengan tidur di kelas adalah sesuatu yang serius dan tidak lucu sama sekali.
Repotnya, saya tidak bisa mencegah tawa santri-santri yang merendahkan temannya ini karena semua di luar dugaan dan tentu saja cegahan seperti itu tidak akan menyelesaikan masalah dari akarnya yaitu merubah lingkungan yang buruk yang diwariskan dari generasi-generasi kakak-kakak kelas mereka.
Mudah-mudahan ada solusi yang bisa ditempuh untuk memutus lingkaran setan ini, karena bagaimanapun mereka akan tumbuh dan kembali ke masyarakat sebagai penyeru ke jalan Allah, bukan penyeru ke jalan kefasikan, kekufuran atau kesombongan.
Wallahul musta'an...
Ulasannya cukup menggugah, spesifik, antara kait mengaitkan sangan bagus, sampai tersentuh loh tadz.. :D
ReplyDeleteMatur nuwun, semoga tembus trip ke luar negeri. Amiin.
Deletesangat mendalam pembahasannya mantab sekali
ReplyDeleteMakasih mas... Kedatangan pakar IT begini membuat saya semangat.
Delete