Al-Maushul
Pembentukan Mashdar Muawwal Dari أَنَّ Dan Jumlah Ismiyyah
Dalam proses pembentukan Mashdar Muawwal yang di-ta’wil-kan dari أَنَّ dan Jumlah Ismiyyah sebagai Shilah-nya, perlu dilihat apa yang menjadi Khabar (kata atau kalimat yang menjadi bagian inti dari Jumlah Ismiyyah yang berfungsi untuk menyempurnakan makna) dari Jumlah Ismiyyah tersebut.
Dengan mengetahui jenis-jenis Khabar ini, barulah kita bisa tentukan bentuk Mashdar yang dibutuhkan.
Jenis-jenis Khabar yang mungkin ada dalam Jumlah Ismiyyah ini ada 3 macam, yaitu:
- Khabar Musytaq
Yang dimaksud Khabar Musytaq adalah; bila Khabar yang dimaksud merupakan turunan atau derivasi dari suatu Fi’il atau kata kerja dasar.
Contoh:
عَلِمْتُ أَنَّ زَيْدًا قَائِمٌ
(Saya telah tahu bahwasannya Zaid sedang berdiri)
Pada contoh di atas terdapat satu Jumlah Ismiyyah setelah Harf أَنَّ yaitu kalimat زَيْدٌ قَائِمٌ, di mana kata زَيْدٌ sebagai Mubtada’ dan kata قَائِمٌ sebagai Khabar-nya.
Bila diperhatikan lebih lanjut, ternyata kita jumpai bahwa kata قَائِمٌ ini merupakan Musytaq, yaitu turunan atau derivasi dari sebuah Fi’il atau kata kerja dasar yaitu قَامَ (Berdiri), sehingga bisa kita simpulkan bahwa قَائِمٌ adalah Khabar Musytaq.
Dalam proses ta’wil, bila ditemui Khabar Musytaq seperti contoh di atas, maka Mashdar yang dibentuk harus didasarkan kepada lafazh dari Khabar Musytaq tersebut. Dengan demikian, أَنَّ dan Jumlah Ismiyyah pada contoh di atas harus dirubah menjadi sebuah Mashdar yaitu:
قِيَامُ زَيْدٍ (-hal- berdirinya Zaid) atau
قِيَامُهُ (-hal- berdirinya Ia -Zaid-).
Hal ini dikarenakan Mashdar قِيَام padi hasil ta’wil di atas merupakan Mashdar yang diturunkan atau yang diderivasi dari Fi’il قَامَ atau lafazhnya.
Dan bila hasil ta’wil di atas diletakkan sebagai pengganti أَنَّ dan Jumlah Ismiyyah pada contoh di atas, maka hasilnya adalah sebagai berikut:
عَلِمْتُ قِيَامَ زَيْدٍ
(Saya telah tahu -hal- berdirinya Zaid) atau
عَلِمْتُ قِيَامَهُ
(Saya telah tahu -hal- berdirinya Ia -Zaid-).
Sekarang coba kita bandingkan dengan makna yang dikandung pada contoh yang sedang kita kaji di awal penjelasan ini. Bukankah tidak ada perbedaan makna yang mencolok antara “Bahwa Zaid sedang berdiri” dengan “-hal- berdirinya Zaid”?
- Khabar Jamid
Yang dimaksud Khabar Jamid adalah; bila Khabar yang dimaksud bukan merupakan turunan atau derivasi dari suatu Fi’il atau kata kerja dasar apapun. Dalam artian, bangsa Arab tidak membentuk Khabar tersebut dari kata apapun.
Contoh:
عَلِمْتُ أَنَّ زَيْدًا أَخُوْكَ
(Saya telah tahu bahwasannya Zaid adalah saudaramu)
Pada contoh di atas terdapat satu Jumlah Ismiyyah setelah Harf أَنَّ yaitu kalimat زَيْدٌ قَائِمٌ, di mana kata زَيْدٌ sebagai Mubtada’ dan kata أَخُوْكَ sebagai Khabar-nya.
Bila diperhatikan lebih lanjut, ternyata kita jumpai bahwa kata أَخُوْكَ atau أَخٌ ini merupakan Isim Jamid, yaitu Isim yang bukan turunan atau derivasi dari suatu Fi’il atau kata kerja dasar apapun, sehingga bisa kita simpulkan bahwa أَخُوْكَ adalah Khabar Jamid.
Dalam proses ta’wil, bila ditemui Khabar Jamid seperti contoh di atas, maka Mashdar yang dibentuk harus didasarkan kepada lafazh اَلْكَوْنُ (keberadaan) yang disandarkan pada Isim Inna (dalam hal ini kata زَيْدٌ atau Dhamir-nya), sehingga seakan-akan lafazh اَلْكَوْنُ menempati posisi أَنَّ.
Dengan demikian, أَنَّ dan Jumlah Ismiyyah pada contoh di atas akan berubah menjadi:
كَوْنُ زَيْدٍ أَخَاكَ (keberadaan Zaid sebagai saudaramu) atau
كَوْنُهُ أَخَاكَ (keberadaan Zaid sebagai saudaramu).
Keharusan menggunakan lafazh اَلْكَوْنُ dalam proses men-ta’wil Mashdar seperti ini adalah suatu yang lazim dan pasti. Dan bila hasil ta’wil ini diletakkan sebagai pengganti أَنَّ dan Jumlah Ismiyyah pada contoh di atas, maka hasilnya adalah sebagai berikut:
عَلِمْتُ كَوْنَ زَيْدٍ أَخَاكَ
(Saya telah tahu keberadaan Zaid sebagai saudaramu) atau
عَلِمْتُ كَوْنَهُ أَخَاكَ
(Saya telah tahu keberadaannya sebagai saudaramu).
Sekarang coba kita bandingkan dengan makna yang dikandung pada contoh yang sedang kita kaji di awal penjelasan ini. Ternyata kita tidak menjumpai perbedaan makna yang mencolok antara “Bahwasannya Zaid adalah saudaramu” dengan “Keberadaan Zaid sebagai saudaramu.”
- Khabar Dharaf atau Khabar Jar Wa Majrur
Yang dimaksud Khabar Dharaf adalah; bila Khabar tersebut mengandung Dharaf Zaman (Keterangan Waktu) atau Dharaf Makaan (Keterangan Tempat).
Yang dimaksud Khabar Jar Wa Majrur adalah; bila Khabar tersebut mengandung Jar (Harf Jar) dan Majrur-nya.
Contoh untuk Khabar Dharaf:
عَلِمْتُ أَنَّ زَيْدًا عِنْدَكَ
(Saya telah tahu bahwasannya Zaid ada di sisimu)
Pada contoh di atas terdapat satu Jumlah Ismiyyah setelah Harf أَنَّ yaitu kalimat زَيْدٌ عِنْدَكَ, di mana kata زَيْدٌ sebagai Mubtada’ dan kata عِنْدَكَ sebagai Khabar-nya.
Bila diperhatikan lebih lanjut, ternyata kita jumpai bahwa kata عِنْدَكَ ini merupakan Dharaf Makaan, yaitu Isim yang menerangkan tempat atau posisi yang membuat makna kalimat ini menjadi sempurna, sehingga bisa kita simpulkan bahwa عِنْدَكَ adalah Khabar Dharaf.
Dalam proses ta’wil, bila ditemui Khabar Dharaf seperti contoh di atas, maka Mashdar yang dibentuk harus didasarkan kepada lafazh اَلاِسْتِقْرَارُ (keberadaan) atau yang semakna, yang disandarkan pada Isim Inna (dalam hal ini kata زَيْدٌ atau Dhamir-nya), sehingga seakan-akan lafazh اَلاِستِقْرَارُ tersebut menempati posisi أَنَّ.
Dengan demikian, أَنَّ dan Jumlah Ismiyyah pada contoh di atas akan berubah menjadi:
اِسْتِقْرَارُ زَيْدٍ عِنْدَكَ (keberadaan Zaid di sisimu) atau
اِسْتِقْرَارُهُ عِنْدَكَ (keberadaannya di sisimu).
Keharusan menggunakan lafazh اَلاِسْتِقْرَارُ dalam proses men-ta’wil Mashdar seperti ini adalah suatu yang lazim dan pasti.
Dan bila hasil ta’wil ini diletakkan sebagai pengganti أَنَّ dan Jumlah Ismiyyah pada contoh di atas, maka hasilnya adalah sebagai berikut:
عَلِمْتُ اِسْتِقْرَارَ زَيْدٍ عِنْدَكَ
(Saya telah tahu keberadaan Zaid di sisimu) atau
عَلِمْتُ اِسْتِقْرَارَهُ عِنْدَكَ
(Saya telah tahu keberadaannya di sisimu).
Sekarang coba kita bandingkan dengan makna yang dikandung pada contoh yang sedang kita kaji di awal penjelasan ini. Ternyata kita tidak menjumpai perbedaan makna yang mencolok antara “Bahwasannya Zaid di sisimu” dengan “Keberadaan Zaid di sisimu.”
Contoh untuk Khabar Jar Wa Majrur:
عَلِمْتُ أَنَّ زَيْدًا فِيْ الدَّارِ
(Saya telah tahu bahwasannya Zaid ada di rumah itu)
Pada contoh di atas terdapat satu Jumlah Ismiyyah setelah Harf أَنَّ yaitu kalimat زَيْدٌ فِيْ الدَّارِ, di mana kata زَيْدٌ sebagai Mubtada’ dan kata فِيْ الدَّارِ sebagai Khabar-nya.
Bila diperhatikan lebih lanjut, ternyata kita jumpai bahwa kata فِيْ الدَّارِ ini merupakan Jar Wa Majrur, yaitu Harf Jar disertai dengan Isim Majrur yang menerangkan dan menyempurnakan makna kalimat, sehingga bisa kita simpulkan bahwa فِيْ الدَّارِ adalah Khabar Jar Wa Majrur.
Dalam proses ta’wil, bila ditemui Khabar Jar Wa Majrur seperti contoh di atas, maka Mashdar yang dibentuk harus didasarkan kepada lafazh اَلاِسْتِقْرَارُ (keberadaan) atau yang semakna, yang disandarkan pada Isim Inna (dalam hal ini kata زَيْدٌ atau Dhamir-nya), sehingga seakan-akan lafazh اَلاِستِقْرَارُ tersebut menempati posisi أَنَّ.
Dengan demikian, أَنَّ dan Jumlah Ismiyyah pada contoh di atas akan berubah menjadi:
اِسْتِقْرَارُ زَيْدٍ فِيْ الدَّارِ (keberadaan Zaid di rumah itu) atau
اِسْتِقْرَارُهُ فِيْ الدَّارِ (keberadaannya di rumah itu).
Keharusan menggunakan lafazh اَلاِسْتِقْرَارُ dalam proses men-ta’wil Mashdar seperti ini adalah suatu yang lazim dan pasti.
Dan bila hasil ta’wil ini diletakkan sebagai pengganti أَنَّ dan Jumlah Ismiyyah pada contoh di atas, maka hasilnya adalah sebagai berikut:
عَلِمْتُ اِسْتِقْرَارَ زَيْدٍ فِيْ الدَّارِ
(Saya telah tahu keberadaan Zaid di rumah itu) atau
عَلِمْتُ اِسْتِقْرَارَهُ فِيْ الدَّارِ
(Saya telah tahu keberadaannya di rumah itu).
Sekarang coba kita bandingkan dengan makna yang dikandung pada contoh yang sedang kita kaji di awal penjelasan ini. Ternyata kita tidak menjumpai perbedaan makna yang mencolok antara “Bahwasannya Zaid di rumah itu” dengan “Keberadaan Zaid di rumah itu.”
(bersambung)
No comments:
Post a Comment