Awalnya saya tidak begitu bergairah hendak menyelesaikan tulisan yang satu ini. Namun setelah melihat status kawan-kawan yang mengesankan salah faham mereka terhadap MUI dan sistem penanggalan Islam dan bagaimana banyaknya orang yang menyalahkan isi sidang Itsbat DEPAG tanpa memahami titik perbedaannya ada di mana, maka saya sangat-sangat gatal sekali ingin menyelesaikan tulisan ini sebelum subuh (walau akhirnya selesai jam 6 pagi)
Penentuan awal bulan-bulan hijriyyah selalu menjadi perbincangan hangat terutama menyangkut awal Ramadhan dan Syawwal yang terkait erat dengan awal shiyam dan akhirnya. Terlebih lagi dengan luas Indonesia dari Sabang sampai Merauke yang mencapai 6400 kilometer yang membentuk 3 zona waktu WIT, WITA dan WIB.
https://www.satuharapan.com/ |
Bila diringkaskan, ada 4 pendapat utama mengenai penentuan awal bulan, yaitu:
1. Berdasar Hisab Hakiki dengan acuan Wujudul Hilal yang biasa diwakili oleh ormas Muhammadiyah.
Dengan dasar sebagaimana yang saya nukil berikut ini dari salah satu situs yang merelay penjelaskan Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A. yang disampaikan dalam pengajian Ramadhan 1431H PP Muhammadiyah di Kampus Terpadu UMY.
“Hisab yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab wujud al hilal, yaitu metode menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan Qamariah baru dimulai apabila telah terpenuhi tiga parameter: telah terjadi konjungsi atau ijtimak, ijtimak itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk.”
(Sumber: http://immugm.web.id/2010/08/16/mengapa-muhammadiyah-memakai-hisab/)
2. Berdasar Hisab Hakiki dengan acuan Imkaniyyatur Ru’yah yang biasa diwakili oleh DEPAG dan juga PERSIS Pusat.
Sebagaimana disebutkan oleh T. Djamaluddin dalam artikelnya:
“Departemen Agama RI selama ini bersikap cukup toleran dengan beragam metode yang digunakan ummat. Asas mengayomi semua golongan telah diterapkan dengan baik. Segala hasil hisab dan ru'yat dihimpun untuk menjadi bahan pembahasan dalam sidang itsbat menjelang Ramadan dan Syawal.
Walaupun demikian, untuk dapat mengambil suatu keputusan Departeman Agama harus mempunyai pedoman. Hisab yang menjadi dasar pertimbangan utama harus didasarkan pada hisab astronomi modern. Seluruh wilayah Indonesia dianggap sebagai satu mathla', sehingga masuknya awal bulan di suatu wilayah dianggap berlaku untuk seluruh Indonesia.
Kriteria penting yang menjadi pedoman adalah kriteria imkan ru'yat: ketinggian hilal minimal 2 derajat dan umur bulan sejak ijtima' minimal 8 jam. Bila ada kesaksian ru'yat yang menurut hisab tingginya kurang dari 2 derajat, kesaksian itu ditolak. Kriteria tersebut juga digunakan Brunai Darus Salam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
Tampaknya itulah hasil kompromi antara kriteria ilmiah astronomi dan data pengamatan di Indonesia. Komite Penyatuan Kalender Hijriyah dalam sidang pertamanya di Istambul 1978 memutuskan dua kriteria: jarak matahari-bulan 8 derajat dan tinggi bulan minimal 5 derajat. Kriteria ini mendekati kriteria astronomis. Sedangkan data-data pengamatan di Indonesia (atas dasar kepercayaan pada pengamat yang disumpah) menunjukan banyaknya kesaksian hilal dengan tinggi sekitar 2 derajat. Berkelit dari perbedaan angka itu, Departeman Agama berargumentasi bahwa hilal 2 derajat di Indonesia berarti sekitar 5 derajat ketika diamati di Timur Tengah.
Pada sisi lain, Persis (Persatuan Islam) dapat menerima kriteria Departeman Agama juga dengan dasar kompromi. Secara astronomi, kriteria itu tidak tepat. Tetapi lebih mendekati, daripada tidak menggunakan kriteria imkan ru'yat. Argumentasinya, umur bulan 8 jam bagi pengamat di Indonesia bisa berarti setinggi kira-kira 4 derajat, karena bulan bergeser menjauhi matahari dengan laju 12 derajat/hari. Angka 4 derajat ini lebih dekat pada kriteria astronomi.
Demi kesatuan ummat, langkah kompromistis dan toleran seperti itu patut dihargai. Tidak ada satu pun metode hisab ru'yat yang bersifat qath'i, mutlak benarnya. Semuanya bersifat dzhanni, dugaan atas dasar keyakinan kebenarannya. Ru'yat belum tentu benar, bisa jadi objek yang disangka hilal sebenarnya bukan. Hisab atas dasar wujudul hilal atau imkan ru'yat belum tentu benar, masih ada yang bisa diperdebatkan. Kriteria astronomi pun tidak mutlak benarnya, sebagaimana tidak mutlaknya suatu kebenaran ilmiah. Bisa jadi, dengan bukti-bukti pengamatan yang lebih banyak dan analisis teoritik yang lebih mendalam, kriteria itu pun harus diubah.”
(Sumber: http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/isnet/Djamal/rmd-id1420.html)
3. Berdasar Ru’yatul Hilal dengan opsi sistem Istikmal sebagaimana biasa dipegang oleh NU.
Berikut saya nukilkan:
“Rukyatul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan merukyat (mengamati) hilal secara langsung. Apabila hilal (bulan sabit) tidak terlihat (atau gagal terlihat), maka bulan (kalender) berjalan digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari.
Kriteria ini berpegangan pada Hadits Nabi Muhammad:
"Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka genapkanlah (istikmal)".
Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Nahdlatul Ulama (NU), dengan dalih mencontoh sunnah Rasulullah dan para sahabatnya dan mengikut ijtihad para ulama empat mazhab. Bagaimanapun, hisab tetap digunakan, meskipun hanya sebagai alat bantu dan bukan sebagai penentu masuknya awal bulan Hijriyah.”
(Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Hisab_dan_rukyat)
4. Berdasar Ru’yah Global/Internasional sebagaimana sering disampaikan oleh Hizbut Tahrir Indonesia.
Disebutkan di salah satu situs:
“Rukyat Global adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang menganut prinsip bahwa: jika satu penduduk negeri melihat hilal, maka penduduk seluruh negeri berpuasa (dalam arti luas telah memasuki bulan Hijriyah yang baru) meski yang lain mungkin belum melihatnya.”
(Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Hisab_dan_rukyat)
Dari paparan di atas bisa kita simpulkan bahwa:
1. Tiga pendapat pertama semuanya menggunakan Hisab, dengan rincian:
a. Muhammadiyah, DEPAG dan PERSIS menggunakan full hisab namun dengan standar kriteria yang berbeda sebagai berikut:
i. Muhammadiyah menggunakan Wujudul Hilal sebagai tanda pergantian bulan.
ii. DEPAG dan PERSIS menggunakan Imkaniyyaturru’yah sebagai tanda pergantian bulan dengan standar minimal 2 derajat di atas ufuk.
b. NU menggunakan hisab hanya sebagai alat bantu untuk menentukan lokasi hilal sebelum dilakukan ru’yah. Adapun tanda pergantian bulan menurut mereka adalah Ru’yatul hilal. Bila tidak dapat dilihat, maka digunakanlah metode istikmal 30 hari.
2. Pendapat terakhir murni menggunakan Ru’yah saja tanpa menyebutkan boleh atau tidaknya penggunaan Hisab sebagai alat bantu ru’yah.
Kasus Cakung dan Jepara
Dari perhitungan tim hisab Muhammadiyah dan PERSIS juga tim-tim hisab dari ormas lain atau ahli hisab perorangan menyebutkan bahwa pada tanggal 29 Agustus 2011 ketinggian hilal adalah di bawah 2 derajat, meskipun di daerah Sumatera sudah mencapai 2 derajat namun semuanya sepakat bahwa hilal tidak mungkin dilihat dan memang terbukti di 96 lokasi di berbagai wilayah tidak nampak hilal sebagaimana yang sudah dihitung melalui hisab.
Kemudian di media massa disebutkan bahwa hilal terlihat di Cakung dan Jepara (sumber: http://www.detiknews.com/read/2011/08/29/201142/1713346/10/hilal-terlihat-di-cakung-dan-jepara-mui-itu-harus-ditolak) yang menimbulkan tidak hanya kontroversi tapi juga kritikan tak adil dari media tertentu untuk menyalahkan MUI yang menggunakan hisab tanpa menampilkan fakta tentang 96 lokasi ditambah 30 lokasi yang tersebar di berbagai kawasan Indonesia yang menyatakan tidak melihat hilal.
Lebih parah lagi muncul sindiran bahwa sidang Itsbat DEPAG seperti sidang DPR yang isinya hanya kata setuju saja dan menganggap mereka menuruti hawa nafsu mereka dan meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai acuan (Lihat: http://arrahmah.com/read/2011/08/29/14993-alhamdulillah-hilal-terlihat-di-cakung-besok-iedul-fitri-1432-hijriyyah.html).
Ini yang saya sesalkan, karena men-just, menuduh dan berkata seenaknya tanpa pemahaman yang cukup tentang standar masing-masing pendapat dan titik perbedaan ijtihad-ijtihad ini. Ketika kelompok ulama’ yang sedang berijtihad dikatakan begini dan begitu dan terkesan dibodoh-bodohkan, maka tanpa sengaja sudah terjadi kezhaliman dari satu kelompok atas kelompok yang lain. Padahal semua juga tahu bahwa ijtihad ulama’ jika ia benar maka mendapat 2 pahala dan jika salah mendapat 1 pahala. Kalau semuanya mendapat pahala, lalu apakah pantas muncul tuduhan-tuduhan miring seperti ini dari sesama muslim? Kecuali jika DEPAG dan yang hadir dalam sidang Itsbat dianggap antek Thoghut yang dianggap kafir. Kalau memang demikian, mengapa tetap menukil dari orang yang dianggap kafir? Bukankah kafir tidak perlu didengarkan lagi ucapannya?
Itulah sebabnya di awal tulisan ini saya tampilkan sekilas dasar-dasar ijtihad dari tiap kelompok agar pengkritik memahami dulu duduk masalahnya sebelum melakukan kritikan.
Mengapa MUI menolak penyaksi Cakung?
Yang pertama, sebelum kita kaji, silahkan mengikuti argumen Muhammadiyah dalam berpegang kepada Hisab dan bukannya Ru’yah seperti yang disampaikan Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A. berikut:
“Sedangkan argumen mengapa Muhammadiyah memilih metode hisab, bukan rukyat, adalah sebagai berikut.
Pertama, semangat Al Qur’an adalah menggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat “Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS 55:5). Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam QS Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya untuk mengetahi bilangan tahun dan perhitungan waktu.
Kedua, jika spirit Qur’an adalah hisab, mengapa Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa Az-Zarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan). Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi saw adalah ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab. Ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim, “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari.”
Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika ada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab, maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahli hisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf Al Qaradawi menyebut bahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang salafi murni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.
Ketiga, dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender. Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1. Dr. Nidhal Guessoum menyebut suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.
Keempat, rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyat pada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi. Pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat merukyat. Kawasan bumi di atas lintang utara 60 derajad dan di bawah lintang selatan 60 derajad adalah kawasan tidak normal, di mana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasan lingkaran artik dan lingkaran antartika yang siang pada musim panas melebihi 24 jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.
Kelima, jangkauan rukyat terbatas, di mana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelah timur tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya. Memang, ulama zaman tengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku untuk seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.
Keenam, rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementara di kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah. Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk bulan Zulhijah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau.
Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif. Dan karena itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras diseluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian sistem waktu Islam di dunia internasional sekarang muncul seruan agar kita memegangi hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat. Temu pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Ijtima’ al Khubara’ as Sani li Dirasat Wad at Taqwimal Islami) tahun 2008 di Maroko dalam kesimpulan dan rekomendasi (at Taqrir al Khittami wa at Tausyiyah) menyebutkan: “Masalah penggunaan hisab: para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan Qamariah di kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan Qamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat.”
(Sumber: http://immugm.web.id/2010/08/16/mengapa-muhammadiyah-memakai-hisab/)
Jika memang Muhammadiyah menggunakan Hisab sebagai dasar tunggal dalam penentuan awal bulan hijriyyah berdasar dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka tidak pada tempatnya jika MUI dianggap meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah ketika berpegang kepada Hisab sebagaimana Muhammadiyah berpegang kepada hal yang sama.
Yang kedua, jika sudah diakui bahwa Hisab adalah salah satu ijtihad berdasar Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka MUI jelas-jelas tidak salah jika menolak yang telah bersaksi melihat hilal pada tanggal 29 Agustus, karena dari seluruh tim hisab yang melapor, baik dari Muhammadiyah, PERSIS, ormas-ormas atau individual, semuanya sepakat bahwa secara hisab mustahil hilal bisa dilihat pada maghrib 29 Agustus karena hilal di bawah dua derajat. Menolak persaksian berdasar kriteria ini juga diadopsi oleh Malaysia, Brunei Darussalam juga Singapura.
Oleh karena itu sangat zhalimlah jika kemudian terucap statemen bahwa MUI harus ditolak secara syar’i dengan alasan bahwa ru’yah adalah satu-satunya cara untuk menetapkan awal bulan. Sebab menetapkan ru’yah sebagai standar adalah ijtihad, begitupula menetapkan hisab sebagai standar adalah ijtihad. Maka ijtihad seseorang tidak dapat digugurkan oleh ijtihad orang lain sebagaimana dimaklumi dalam kaidah ilmu Ushul Fiqh.
Artinya, MUI menggunakan Hisab adalah berdasar sesuatu yang syar’i sebagaimana pengguna ru’yah, maka tidak bisa kemudian kita katakan bahwa MUI tidak syar’i dan harus ditolak.
Yang ketiga, jika memang penyaksi Cakung itu benar-benar murni hanya menggunakan ru’yah sebagaimana diklaim, bagaimana mereka bisa mengatakan dalam wawancara di TVOne bahwa derajat hilalnya sekian dan sekian yang menunjukkan mereka juga telah menggunakan hisab? Maka, penyaksi inipun sebenarnya adalah fihak paling awal yang terkena kritikan dari pengkritik MUI karena mereka terindikasi menggunakan hisab.
Kalau boleh ditanya, para penyaksi Cakung ini sebenarnya murni menggunakan ru’yah atau turut menghisab pula? Kalau memang turut menghisab, mengapa mereka tidak dicela atau ditolak secara syar'i pula sebagaimana MUI ditolak secara syar'i??
Apalagi ada fakta bahwa NU juga pernah menolak persaksian dari Cakung dan Bawean untuk Iedul Fithri tahun 1998. Nah, apakah NU yang selalu menggunakan ru'yat ini juga harus ditolak secara syar'i?
Maka, menurut hemat saya, fihak yang menyerang MUI dan DEPAG ternyata juga ngotot, tidak adil dan menggunakan hawa nafsunya dalam memaksakan dalil-dalil untuk membantah satu fihak demi mendukung pendapat sendiri. Inilah yang patut disesalkan.
Walhasil, mestinya masing-masing fihak saling menghormati pendapat yang lain terutama menghormati fihak yang dibebani beban berat untuk memutuskan sesuatu yang akan diyakini dan dilaksanakan kaum muslim seluruh Indonesia. Sebab selain fakta bahwa orang-orang yang duduk di sidang itu adalah sekelompok professor, asatidz dan ulama’ di bidang syari’ah dan ilmu falak, mereka juga sedang berijtihad yang memang terkadang hasilnya tidak bisa memuaskan semua fihak. Meski demikian, kita sepakat ada pahala ijtihadnya.
Bukanlah sesuatu yang mudah mengurus keperluan banyak orang seperti ini, dibutuhkan kemampuan siyasah syar'iyyah dan fiqhul waqi' yang mendalam. Maka sudah sepantasnya kritik dengan celaan atau sindiran vulgar penuh kekecewaan harus diredam. Wallahu a’lam bishshowab.
Akhirul kalam, Taqabbalallahu minna wa minkum. Selamat merayakan Iedul Fithri 1432 H.
Alhamdulillah, .. ..
ReplyDeleteSaya makin paham atas perbedaan-bedaan pendapat, dan dapat memilih dan memilah mana yng paling tetap, makasih mas ilmunya, semoga amal ibdahnya di terima Allah SWT, Amin, .. ..
Afwan wa amiin...
ReplyDeletemenarik..
ReplyDelete