Al-Alam (Nama)
Al-Alam Al-Jinsi (Nama suatu jenis)
Ahli ilmu Nahwu mendefinisikan Al-Alam Al-Jinsi sebagai suatu Isim atau suatu nama yang menentukan dan menunjuk apa yang diwakili oleh lafazhnya tanpa batasan atau ikatan, seperti halnya Isim-isim biasa yang disertai:
1. Perangkat yang menunjukkan dirinya sebagai nama jenis.
2. Perangkat yang berfungsi untuk menunjuk sesuatu yang sudah dikenal.
Contoh berikut akan memperjelas definisi di atas:
1. Dalam bahasa Arab, bila dikatakan:
أُسَامَةُ أَجْرَأُ مِنْ ثُعَالَةَ(Singa lebih berani dari rubah)
Maka kalimat di atas sama tingkatannya dengan:
اَلأَسَدُ أَجْرَأُ مِنَ الثَّعْلَبِ(Singa lebih berani dari rubah)
Persamaan dari dua kalimat di atas adalah; bahwa kata أُسَامَةُ dan اَلأَسَدُ sama-sama menunjuk pada suatu jenis, yaitu jenis binatang bernama singa. Namun dari kedua Isim Ma’rifah di atas tetap tidak diketahui singa mana yang dimaksud dan diinginkan oleh si pembicara.
Hal ini sesuai dengan definisi di atas, bahwa Al-Alam Al-Jinsi yang pada contoh di atas adalah kata أُسَامَةُ, adalah Isim atau suatu nama yang menentukan dan menunjuk apa yang diwakili oleh lafazhnya yang dalam hal ini seluruh binatang yang masuk dalam jenis singa, tanpa batasan dan tanpa ikatan, sehingga makna singa yang dimaksud oleh si pembicara adalah umum.
Sifat seperti ini sama persis dengan sifat kata اَلأَسَدُ yang diawali oleh اَل yang menunjukkan suatu jenis yang dalam hal ini adalah jenis binatang bernama singa, namun adanya اَل tidak membuat kita tahu singa manakah yang dimaksud oleh pembicara, sebab lafazh اَلأَسَدُ ini berlaku pada seluruh singa dari segala jenisnya.
Hal yang sama berlaku juga pada kata ثُعَالَةُ dan اَلثَّعْلَبُ, di mana keduanya juga menunjukkan suatu jenis binatang bernama rubah, dan tidak membatasi atau menunjuk pada satu individu tertentu dari anggota-anggota jenisnya.
Dengan demikian, kata أُسَامَةُ dan ثُعَالَةُ setara dengan kata اَلأَسَدُ dan اَلثَّعْلَبُ yang diawali oleh ال لِلْجِنْسِ(ال yang menunjukkan bahwa lafazh yang disertainya mewakili suatu jenis).
2. Bila dikatakan:
هَذَا أُسَامَةُ مُقْبِلاً(Ini dia singa sedang datang)
Maka kalimat di atas sama maknanya dengan:
هَذَا اَلأَسَدُ مُقْبِلاً(Ini dia singa sedang datang)
Persamaan dari dua kalimat di atas adalah; bahwa kata أُسَامَةُ dan اَلأَسَدُ sama-sama menunjuk pada sesuatu yang sudah dikenal baik oleh si pembicara ataupun lawan bicaranya, yaitu seekor singa tertentu yang sedang hadir di depan mata.
Berbeda pada contoh pertama di mana ال adalah ال لِلْجِنْسِ, maka ال pada contoh kedua ini adalah ال لِلْحُضُوْرِ (ال yang menunjukkan sesuatu tertentu yang hadir dan terlihat di depan mata).
Penjelasan
Dari dua contoh di atas, bisa kita perhatikan bahwa Al-Alam Al-Jinsi mirip dengan Alam Asy-Syakhsyi (nama seseorang) dari segi aturan-aturan lafazhnya, karena Al-Alam Al-Jinsi mengikuti aturan berikut ini:
1. Terlarang untuk diawali oleh ال, sehingga tidak mungkin kata أُسَامَةُ dibaca dengan اَلأُسَامَةُ karena itu sama saja membuat suatu kata menjadi Ma’rifah padahal kata tersebut sejak awal sudah Ma’rifah.
2. Terlarang untuk disandarkan kepada kata yang lain (Idhafah), sehingga tidak bisa kata-kata أُسَامَةُ disandarkan pada kata-kata yang lain seperti أُسَامَةُ الْمَدِيْنَةِ(Singanya kota ini), karena hal itu sama saja dengan menyandarkan suatu kata yang sudah Ma’rifah kepada Ma’rifah yang lain.
3. Terlarang untuk diberi tanda tanwin pada akhirnya bila:
a. Bentuknya menyerupai muannats (perempuan), seperti: أُسَامَةُ dan ثُعَالَةُ. Sehingga dua kata ini tidak bisa dibaca أُسَامَةٌ dan ثُعَالَةٌ dengan menyertakan tanwin di akhirnya.
b. Berwazan (bentuk kata) seperti wazannya fi’il, seperti:
بَنَاتُ أَوْبَرَ(Cendawan) dan اِبْنُ آوَى(Srigala) di mana kata أَوْبَرَ dan آوَى berwazan أَفْعَلَ yang dikenal sebagai salah satu wazan fi’il madhi sehingga kedua kata tersebut terlarang untuk dibaca dengan بَنَاتُ أَوْبَرٍ dan اِبْنُ آوًىdengan menyebutkan tanwin pada akhirnya.
4. Dapat digunakan sebagai Mubtada’ (Isim yang ada di awal kalimat) seperti pada contoh yang pertama di mana kata أُسَامَةُ menjadi Mubtada’.
5. Dapat digunakan sebagai sandaran Haal (Isim Manshub yang berfungsi menjelaskan keadaan sesuatu) seperti pada contoh yang kedua di mana kata أُسَامَةُ menjadi sandaran kata مُقْبِلاً yang menjadi Haal.
Dari segi makna, Al-Alam Al-Jinsi mempunyai kemiripan dengan An-Nakiroh, karena maknanya berlaku umum pada semua anggota-anggotanya dan tidak terbatas pada satu individu anggotanya saja. Dan hal ini bisa diamati dari keumuman lafazh أُسَامَةُ pada contoh pertama yang mencakup semua individu yang diwakili oleh lafazhnya.
Pembagian Al-Alam Al-Jinsi
Hal-hal yang ditunjuk dan diwakili oleh Al-Alam Al-Jinsi terbagi menjadi 3, yaitu:
- Sesuatu yang tidak jinak, seperti binatang buas dan serangga. Dan ini adalah yang paling banyak jumlahnya dalam bahasa Arab.
Contoh: أُسَامَةُ(Singa), ثُعَالَةُ(Rubah) dan أَبُوْ جَعْدَةَ(Srigala) untuk nama-nama binatang buas, sedangkan أُمُّ عِرْيَطٍ(Kalajengking) adalah nama serangga.
- Sesuatu yang jinak dan dekat dengan kita.
Contoh:
أَبُو الْمَضَاءِ yaitu nama atau julukan untuk suatu jenis kuda tertentu.
هَيَّانُ بْنُ بَيَّانَ yaitu nama atau julukan untuk seseorang yang tidak diketahui nasab juga pribadinya.
أَبُو الدَّغْفَاءَ yaitu nama atau julukan untuk seseorang yang lemah akal dan bodoh.
- Hal-hal yang bersifat maknawi dan abstrak.
Contoh:
سُبْحَانُ yang berarti Tasbih.
كَيْسَانُ yang berarti pengkhianatan atau penipuan.
يَسَارُyang berarti kemudahan.
فَجاَرُyang berarti sekali pancar atau sekali sembur.
بَرَّةُ yang berarti pemberian atau hal yang mendorong pada kebaikan.
Isim Isyarah (Kata Tunjuk)
Isim Isyarah adalah Isim yang digunakan untuk menunjuk sesuatu baik itu dekat ataupun jauh.
Contoh: هَذَا(Ini) dan ذَلِكَ(Itu).
Pembagian Isim Isyarah untuk jarak dekat
Dari segi jumlah yang ditunjuk, Isim Isyarah untuk jarak dekat ini terbagi menjadi 3, yaitu: Mufrod (Tunggal), Mutsanna (Dua), dan Jama’ (Jamak).
Contoh: هَذَا untuk Mufrod, هَذَانِ untuk Mutsanna, أُولاَءِ untuk Jama’ yang semuanya berarti (Ini).
Dari segi jenis, Isim Isyarah untuk jarak dekat ini terbagi menjadi 2, yaitu: Mudzakkar (berjenis laki-laki) dan Muannats (berjenis perempuan).
Contoh: هَذَا untuk Mudzakkar dan هَذِهِ untuk Muannats yang keduanya berarti (Ini).
Rincian Isim Isyarah untuk jarak dekat
1. Untuk Mufrod Mudzakkar, maka digunakan ذَا(Ini).
2. Untuk Mufrod Muannats, maka bisa digunakan: ذِيْ , تِيْ , ذِهِ , تِهِ , ذِهْ , تِهْ , ذِه , تِه , ذَات dan تَا yang semuanya berarti “Ini.”
3. Untuk Mutsanna Mudzakkar, maka digunakan ذَانِ(Ini) pada posisi Rafa’ dan ذَيْنِ(Ini) pada posisi Nashab dan Jarr.
4. Untuk Mutsanna Muannats, maka digunakan تَانِ(Ini) pada posisi Rafa’ dan تَيْنِ(Ini) pada posisi Nashab dan Jarr.
5. Untuk Jama’, baik Mudzakkar ataupun Muannats, maka digunakan أُوْلاَءِ (Ini) yang biasanya untuk menunjuk manusia (yang berakal). Meskipun dijumpai pula syair-syair arab yang menggunakan kata أُوْلاَءِ untuk menunjukkan sesuatu yang tidak berakal seperti contoh berikut ini:
ذُمَّ الْمَنَازِلُ بَعْدَ مَنْزِلَةِ اللِّوَى وَالْعَيْشَ بَعْدَ أُوْلَئِكَ الأَيَّامِ
(Celalah kedudukan-kedudukan setelah kejadian di lembah Al-Liwa dan -celalah- juga kehidupan setelah hari-hari itu).
Pada bait di atas digunakan kata أُولَئِكَ (Itu) padahal yang ditunjuk adalah sesuatu yang tidak berakal yaitu الأَيَّامُ (Hari-hari). Hal seperti ini dibolehkan, sebagaimana Al-Qur’an juga menggunakannya dalam satu firman Allah SWT:
إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُوْلاً
(Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.) Al-Israa 36.
Pada ayat di atas, digunakan kata أُولَئِكَ yang menunjuk pada pendengaran, penglihatan dan hati yang semuanya adalah sesuatu yang tidak berakal.
Sehingga bisa disimpulkan kata أُولَئِكَ tersebut boleh digunakan untuk sesuatu yang tidak berakal, meskipun penggunaannya tidak banyak.
Fungsi huruf Haa’ di awal Isim Isyarah untuk jarak dekat
Adapun huruf Haa’ pada هَذَا, هَذِهِ dan yang sejenisnya, maka ia adalah Harfut Tanbih yang berfungsi untuk menarik perhatian lawan bicara. Sehingga Isim Isyarah boleh saja diucapkan tanpa menyertakan huruf Haa’ diawalnya seperti: ذَا dan ذِهِ karena memang dua kata inilah yang disebut sebagai Isim Isyarah sementara huruf Haa’ hanyalah Harfut Tanbih, dan bukan Isim Isyarah itu sendiri.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment