An-Nakiroh dan Al-Ma’rifah (bagian 7)

Al-Alam (Nama)


Pembagian Al-Alam dari sisi maknanya.

Dari sisi maknanya, ada yang membagi Al-Alam menjadi tiga kelompok, yaitu: Isim, Kun-yah dan Laqab.

Kun-yah adalah setiap Murokkab Idhafy (Al-Alam yang disusun dengan cara menyandarkan satu Isim kepada Isim yang lain) yang diawali oleh kata أَبٌ (Ayah) atau أُمٌّ (Ibu).

Laqab adalah setiap Al-Alam yang memberi kesan pujian ataupun celaan terhadap obyek yang ditunjuknya.

Sedangkan Isim adalah nama asli seseorang atau nama asli suatu obyek dan bukan termasuk Kun-yah atau Laqab. Dalam hal ini kelompok Isim adalah yang paling banyak dijumpai.

Catatan:

Pembagian seperti ini, meskipun tampaknya sudah tepat, namun bila diperhatikan lebih lanjut, ternyata ada beberapa hal yang simpang siur. Sebab terbukti ada beberapa Isim yang mengandung unsur pujian, yang sekilas mestinya masuk dalam kategori Laqab sesuai dengan definisinya.

Contoh: مُحَمَّدٌ (Terpuji), أَحْمَدٌ (Terpuji), مَحمُودٌ (Terpuji), مَنصُورٌ (Tertolong) dan مُرتَضَى (Yang diridhoi) yang semuanya mengandung unsur pujian meskipun pada hakikatnya semua ini adalah Isim atau nama orang yang menunjuk si Muhammad, Ahmad, Mahmud, Manshur atau Murthada dan tidak bisa dianggap Laqab. Fakta ini membuat definisi Laqab menjadi tidak sempurna.

Ada pula lafazh yang mengandung pujian (yang mestinya dianggap Laqab), padahal sebenarnya ia adalah Kun-yah.

Contoh: أَبُو الخَيرِ (Ayah kebaikan) dan أُمُّ بَرَكَة (Ibu berkah) yang keduanya mengandung unsur pujian meskipun pada hakikatnya, kedua lafazh ini adalah Kun-yah karena didahului oleh kata أَبُ dan أُمُّ sesuai definisi Kun-yah. Hal ini juga menambah kelemahan definisi Laqab yang telah lalu.

Oleh karena itu perlu disebutkan definisi yang lebih tepat dan lebih sempurna untuk Isim, Kunyah dan Laqab ini, yaitu:

Sebab, terkadang orang tua memberi nama anaknya yang baru lahir dengan lafazh أَبُو اليَسَر (Abul Yasar), padahal diawali oleh kata أَبُ, atau ada pula yang memberi nama anaknya dengan lafazh زَينُ العَابِدِينَ (Zainul Abidin), padahal mempunyai unsur pujian karena artinya adalah “Hamba yang terbaik.” Dengan demikian 2 lafazh ini dianggap sebagai Isim.

Urutan Isim, Laqab dan Kunyah dalam penggunaannya

Contoh mendahulukan Isim daripada Laqab:

عَلِيٌّ زَيْنُ العَابِدِيْنَ (Ali “Hamba terbaik”), di mana عَلِيّ adalah Isim sementara زَيْنُ العَابِدِيْنَ adalah Laqab.

Contoh mengakhirkan Isim daripada Laqab:

Seuntai syair yang diucapkan shahabat Aus bin Ash-Shamit saudara Ubadah bin Ash-Shamit R.A.:

أَنَا ابْنُ مُزَيْقِيَا عَمْرٍو، وَجَدِّي - أَبُوْهُ مُنْذِرٌ مَاءُ السَّمَاءِ

(Aku anak “Sang Pengoyak” Amr, dan kakekku adalah ayahnya, yaitu Mundzir “Sang Air Langit”).

Kata مُزَيْقِي yang berarti “Sang Pengoyak” adalah Laqab atau gelaran untuk Amr bin Malik (yang merupakan seorang raja Yaman yang menjadi nenek moyang kelompok Al-Anshar di Madinah. Ia mendapat gelar tersebut karena semasa hidupnya, setiap hari ia selalu mengoyak perhiasan-perhiasan yang ia miliki untuk dihadiahkan kepada teman-temannya. Dalam bahasa Arab, orang yang terlalu sering mengoyak sesuatu disebut مُزَيْقِي).

Dalam syair ini lafazh عَمْرو yang merupakan Isim diletakkan setelah Laqab (مُزَيْقِي).

Contoh Kun-yah yang didahulukan daripada Isim:

Bait syair Al-Masythur:

أَقْسَمَ بِاللهِ أَبُو حَفْصٍ عُمَرْ

(Abu Hafsh -Ayahnya Hafshah- Umar -bin Al-Khattab- bersumpah dengan nama Allah)

Pada contoh di atas, lafazh أَبُوْ حَفْصٍ yang merupakan Kun-yah disebutkan terlebih dahulu daripada lafazh عُمَرُ yang merupakan Isim.

Contoh Kun-yah yang diakhirkan daripada Isim:

Bait syair Hassan bin Tsabit Al-Anshari R.A. yang merupakan penyair Rasulullah SAW:

وَمَا اهْتَزَّ عَرْشُ اللهِ مِنْ أَجْلِ هَالِكٍ - سَمِعْنَا بِهِ إِلاَّ لِسَعْدٍ أَبِيْ عَمرٍو

(Dan tidak bergetar arsy Allah disebabkan kematian seseorang yang pernah kami dengar -kisahnya- kecuali untuk Sa’ad Abu Amr -Ayahnya Amr-).

Lafazh أَبُو عَمْرٍو yang merupakan Kun-yah disebutkan setelah lafazh عَمْرو yang merupakan Isim.

Contoh Laqab yang diakhirkan daripada Kun-yah:

أَبُو عَبْدِ اللهِ أَنْفُ النَّاقَةِ

(Abu Abdillah -Ayahnya Abdullah- Si “Hidung Onta”)

Dalam contoh di atas, lafazh أَنْفُ النَّاقَةِ yang merupakan Laqab disebutkan setelah lafazh أَبُو عَبْدِ اللهِ yang merupakan Kun-yah. Urutan seperti ini adalah sesuatu yang wajib menurut Ibnu Malik. Namun jumhur ahli Nahwu sepakat bahwa urutan seperti ini tidak harus dan tidak wajib dalam penggunaan bahasa. Oleh karena itu, sah-sah saja kalau Laqab didahulukan sebelum Kun-yah sehingga menjadi: أَنْفُ النَّاقَةِ أَبُو عَبْدِ اللهِ.

Cara membaca rangkaian Isim, Laqab dan Kun-yah

سَعِيْدٌ كُرْزٌ (Sa’id “Si Karung Kecil”)

Maka lafazh kedua (Laqab) boleh dibaca dengan cara:

Sehingga rangkaian di atas dibaca: سَعِيْدٌ كُرْزٌ pada posisi Marfu’ dan dibaca سَعِيْدًا كُرْزًا pada posisi Manshub dan dibaca سَعِيْدٍ كُرْزٍ pada posisi Majrur karena lafazh كُرْزٌ dianggap Badal yang harakat-nya harus mengikuti lafazh sebelumnya.

Sehingga rangkaian di atas dibaca: سَعِيْدٌ كُرْزٌ pada posisi Marfu’ dan dibaca سَعِيْدًا كُرْزًا pada posisi Manshub dan dibaca سَعِيْدٍ كُرْزٍ pada posisi Majrur karena lafazh كُرْزٌ dianggap Ma’thuf (Athaf Bayan) yang harakat-nya harus mengikuti lafazh sebelumnya.

Sehingga rangkaian di atas dibaca: سَعِيْدٌ كُرْزٌ pada posisi Marfu’ dan dibaca سَعِيْدًا كُرْزٌ pada posisi Manshub dan dibaca سَعِيْدٍ كُرْزٌ pada posisi Majrur karena lafazh كُرْزٌ dianggap Khabar Marfu’ dari Mubtada’ yang dibuang di mana rangkaian aslinya sebelum dibuang adalah: هُوَ كُرْزٌ (Dia adalah “Si Karung Kecil”).

Sehingga rangkaian di atas dibaca: سَعِيْدٌ كُرْزاً pada posisi Marfu’ dan dibaca سَعِيْدًا كُرْزاً pada posisi Manshub dan dibaca سَعِيْدٍ كُرْزاً pada posisi Majrur karena lafazh كُرْزاً dianggap Maf’ul Bihi Manshub dari fi’il yang dibuang di mana rangkaian aslinya sebelum dibuang adalah: أَقْصِدُ كُرْزاً (Saya bermaksud “Si Karung Kecil”).

Sehingga rangkaian di atas dibaca: سَعِيْدُ كُرْزٍ pada posisi Marfu’ dan dibaca سَعِيْدَ كُرْزٍ pada posisi Manshub dan dibaca سَعِيْدِ كُرْزٍ pada posisi Majrur karena lafazh كُرْزٍ dianggap Mudhaf Ilaihi Majrur (kata yang dijadikan sandaran) dari lafazh sebelumnya.

Penggunaan cara ini dibolehkan apabila tidak ada hal-hal yang mencegah pemakaiannya, seperti bila:

Contoh: الحَارِثُ قَفَّةٌ (Al-Harits “Si Cebol”).

Pada contoh di atas, tidak mungkin digunakan cara Idhafah karena lafazh الحَارِثُ diawali oleh ال.

Contoh: مُحَمَّدٌ اَلأَمِيْنُ (Muhammad “Yang Terpercaya”).

Pada contoh di atas, tidak mungkin digunakan cara Idhafah karena Laqab الأَمِيْنُ diawali oleh ال yang menyebabkan 2 Isim Ma’rifah saling disandarkan, padahal tidak mungkin Isim Ma’rifah disandarkan kepada yang lain, karena sesuatu yang Ma’rifah tidak perlu pada penyandaran.

Cara Idhafah ini diwajibkan oleh jumhur ahli Nahwu madzhab Bashrah. Namun ini pendapat ini kurang tepat karena 2 sebab, yaitu:

عَبْدُ اللهِ زَيْنُ العَابِدِيْنَ (Abdullah “Sang Hamba Terbaik”)

Atau lafazh yang pertama mufrod sementara lafazh yang kedua mudhof, seperti:

زَيْدٌ زَيْنُ العَابِدِيْنَ (Zaid “Sang Hamba Terbaik”)

Atau lafazh yang pertama mudhaf dan lafazh kedua mufrod, seperti:

عَبْدُ اللهِ كُرْزٌ (Abdullah “Si Karung Kecil”)

Maka boleh dibaca dengan menggunakan cara Itba’ (mengikutkan harakat lafazh yang kedua sesuai dengan harakat lafazh yang pertama) atau menggunakan cara Qatha’ (memutuskan hubungan harakat antar keduanya) seperti yang sudah dijelaskan pada contoh mufrod dengan mufrod. Namun kita tidak bisa menggunakan cara Idhafah, karena mustahil kita menyandarkan sesuatu yang asalnya sudah Ma’rifah dan Murakkab (tersusun dari 2 kata yang dihubungkan dengan erat).

(bersambung)




No comments:

Post a Comment

Terbaru

recentposts

Sementara Itu

randomposts