An-Nakiroh dan Al-Ma’rifah (bagian 6)

Al-Alam (Nama)


Definisi dari Al-Alam adalah tiap Isim yang memberi sifat ketertentuan pada benda yang ia beri nama dengan ketertentuan secara mutlak.

Contoh: جَعْفَرُ (Ja’far) dan مَكَّةُ (Mekkah).

Dari definisi di atas bisa difahami bahwa An-Nakiroh tidak masuk dalam kategori ini, sebab An-Nakiroh tidak memberi sifat ketertentuan pada sesuatu yang ia wakili.

Begitupula bisa difahami bahwa 6 jenis Al-Ma’rifah yang lainnya (yang dibahas secara ringkas pada bagian pertama tulisan ini) tidak bisa disebut sebagai Al-Alam, karena semua benda yang ditunjuk oleh 6 jenis ini meskipun dianggap tertentu, namun ketertentuannya terikat dan tidak mutlak. Seperti Isim yang didahului oleh ال, akan dianggap tertentu selama ia didahului oleh ال, dan jika dihilangkan ال tersebut, maka ia berubah menjadi An-Nakiroh yang tentu saja tidak tertentu. Begitupula هَذَا (Ini) yang termasuk jenis Isim Isyaroh, ia dianggap tertentu selama yang ditunjuk ada dan hadir pada saat kata ini diucapkan. Jika yang ditunjuk tidak ada dan tidak hadir, maka kata ini menjadi tidak tertentu. Sehingga Isim Isyaroh mempunyai sifat ketertentuan, namun tidak mutlak. Demikian pula 4 jenis Al-Ma’rifah yang lainnya.



Pembagian Al-Alam dari sisi jenisnya.

Dari sisi jenisnya, hal-hal yang diberi nama dengan menggunakan Al-Alam terbagi menjadi dua:

Contoh: عُمَرُ (Umar) dan زَيْنَبُ (Zainab).

Contoh: قَرَنٌ (Qaran) yaitu nama suatu suku, عَدَنٌ (Adan) yaitu nama suatu daerah, لاَحِقٌ (Lahiq) yaitu nama suatu jenis kuda balap dan وَاشِقٌ (Wasyiq) yaitu nama suatu jenis anjing.



Pembagian Al-Alam dari sisi pembentukannya.

Dari sisi pembentukannya, juga terbagi menjadi dua:

Contoh: أُدَدٌ (Udad) yaitu nama seorang laki-laki dan سُعَادُ (Su’ad) yaitu nama seorang perempuan.

Manqul ini biasanya diambil dari hal-hal berikut:

Contoh: زَيْدٌ (Tambahan) dan فَضْلٌ (Pemberian) yang keduanya menunjukkan sesuatu yang baru, yaitu sesuatu yang ditambahkan atau yang diberikan. Kemudian keduanya digunakan sebagai nama orang yaitu Zaid dan Fadhl.

Contoh: أَسَدٌ (Singa) dan ثَوْرٌ (Sapi jantan) yang keduanya adalah sesuatu yang sudah dikenal dan bukan barang atau sesuatu yang baru. Kemudian digunakan sebagai nama orang yaitu Asad dan Tsaur.

Contoh: حَارِثٌ (Penanam/Petani) yang merupakan turunan dari kata حَرَثَ (Menanam) dan حَسَنٌ (Orang yang baik) yang merupakan turunan dari kata حَسُنَ (menjadi baik) yang keduanya adalah Isim Fa’il yang menunjukkan pelaku perbuatan atau perkerjaan tertentu, lalu kemudian digunakan sebagai nama orang yaitu Harits dan Hasan.

Contoh: مَنْصُوْرٌ (Yang ditolong) yang merupakan turunan dari kata نَصَرَ (menolong) dan مُحَمَّدٌ (Yang terpuji) yang merupakan turunan dari kata حَمَّدَ (memuji) yang keduanya adalah Isim Maf’ul yang menunjukkan orang atau sesuatu yang terkena akibat suatu perkerjaan atau menjadi sasaran suatu perbuatan. Lalu kedua kata ini digunakan sebagai nama orang yaitu Manshur dan Muhammad.

Contoh: شَمَّرَ (Menyingsingkan lengan baju) yang merupakan Fi’il Madhi yang kemudian digunakan sebagai nama orang yaitu Syammar.

Contoh: يَشْكُرُ (Bersyukur) yang merupakan Fi’il Mudhari’ yang kemudian digunakan sebagai nama orang yaitu Yasykur.

Contoh: شَابَ قَرْنَاهَا (Memutih rambutnya) yang pada awalnya adalah suatu kalimat yang dikenal dengan istilah Jumlah Fi’liyyah karena diawali oleh suatu Fi’il lalu kemudian digunakan sebagai nama orang yaitu Syabaqarnaha.

Contoh: زَيْدٌ مُنْطَلِقٌ (Zaid pergi) yang pada awalnya adalah suatu kalimat yang dikenal dengan istilah Jumlah Ismiyyah karena diawali oleh suatu Isim lalu kemudian digunakan sebagai nama orang yaitu Zaid Munthaliq.

Tambahan: Namun perlu diingat bahwa dua jenis yang terakhir ini tidak pernah digunakan oleh bangsa Arab sama sekali, yang artinya mereka tidak pernah memberi nama anak-anak mereka dengan Jumlah Fi’liyyah ataupun Jumlah Ismiyyah. Yang ada hanyalah analogi atau Qiyas dari kalangan ahli bahasa yang mengambil kesimpulan bahwa: jika Isim ataupun Fi’il tunggal bisa digunakan sebagai nama orang, maka Jumlah atau kalimat sempurna, pastilah bisa digunakan sebagai nama orang.

Diriwayatkan pula dari Sibawaih (Seorang ahli bahasa pelopor Madzhab Bashrah) bahwa seluruh Al-Alam adalah Manqul, yaitu diambil dari kata ataupun kata-kata yang pada awalnya bukanlah Al-Alam. Sementara Az-Zajjaj (Seorang ahli bahasa pendukung Madzhab Kufah) menyebutkan bahwa semua Al-Alam adalah Murtajal alias tidak diambil dari kata atau kalimat apapun yang punya makna tertentu. Dengan demikian Az-Zajjaj dalam hal ini mempunyai pendapat yang berseberangan dengan Sibawaih.



Pembagian Al-Alam dari sisi bentuk susunannya.

Dari sisi bentuk susunannya, Al-Alam juga terbagi menjadi dua:

Contoh: زَيْدٌ (Zaid) dan هِنْدٌ (Hindun).

Contoh: بَرَقَ نَحْرُهُ (Berkilat lehernya) dan شَابَ قَرْنَاهَا (Memutih rambutnya) yang keduanya mempunyai makna yang sempurna karena merupakan kalimat sempurna. Lalu kemudian keduanya digunakan untuk menamai orang yaitu: Baraqanahru dan Syabaqarnaha. Karena keduanya mempunyai makna yang sempurna, maka keduanya harus dianggap Mabni dan diucapkan seperti aslinya tanpa ada perubahan pada akhirnya dalam semua posisi I’rob.

Dalam hal ini kata yang pertama mempunyai aturan sendiri, yaitu:

Contoh: بَعْلَبَكُّ (Ba’labak) yang diambil dari dua kata yaitu بَعْلَ dan بَكُّ yang keduanya bukan bahasa Arab sehingga tidak mempunyai arti, meskipun punya arti pada bahasa aslinya. Lalu kedua kata ini dirangkai dan digunakan untuk menyebut nama sebuah kota yaitu Ba’labak. Maka di sini kata yang pertama yaitu بَعْلَ harus diberi harakat Fat-hah pada akhirnya karena huruf akhirnya adalah Laam dan bukan Yaa’, sehingga tidak boleh dibaca بَعْلُ atau بَعْلِ misalnya.

Contoh yang lain: سُوْرَبَايَا (Surabaya) yang diambil dari dua kata yaitu سُوْرَ dan بَايَا yang keduanya bukan bahasa Arab sehingga tidak mempunyai arti, meskipun punya arti pada bahasa aslinya. Lalu kedua kata ini dirangkai dan digunakan untuk menyebut nama sebuah kota yaitu Surabaya. Maka di sini kata yang pertama yaitu سُوْرَ harus diberi harakat Fat-hah pada akhirnya karena huruf akhirnya adalah Raa’ dan bukan Yaa’, sehingga tidak boleh dibaca سُوْرُ atau سُوْرِ misalnya.

Contoh: مَعْدِيْكَرِبُ (Ma’dikarib) yaitu nama orang yang diambil dari dua kata yaitu مَعْدِيْ dan كَرِبُ yang keduanya bukan bahasa Arab sehingga tidak mempunyai arti, meskipun punya arti pada bahasa aslinya. Lalu kedua kata ini dirangkai dan digunakan oleh orang untuk memberi nama anak mereka yaitu Ma’dikarib. Maka di sini kata yang pertama yaitu مَعْدِيْ harus diberi harakat Sukun pada akhirnya karena huruf akhirnya adalah Yaa’, sehingga tidak boleh dibaca مَعْدِيَ atau مَعْدِيُ misalnya.

Contoh lainnya: قَالِيْ قَلاَ (Qoliqola) yaitu nama suatu daerah yang diambil dari dua kata yaitu قَالِيْ dan قَلاَ yang keduanya bukan bahasa Arab sehingga tidak mempunyai arti, meskipun memiliki arti pada bahasa aslinya. Lalu kedua kata ini dirangkai dan digunakan untuk memberi nama suatu daerah yaitu Qoliqola. Maka di sini kata yang pertama yaitu قَالِيْ harus diberi harakat Sukun pada akhirnya karena huruf akhirnya adalah Yaa’, sehingga tidak boleh dibaca قَالِيَ atau قَالِيُ misalnya.

Adapun aturan untuk kata yang kedua adalah:

Contoh: بَعْلَبَكُّ (Ba’labak) yaitu nama kota dan مَعْدِيْكَرِبُ (Ma’dikarib) yaitu nama orang.

Contoh-contoh di atas diakhiri oleh huruf yang bukan Yaa’, Alif ataupun diakhiri kata وَيْه, sehingga bila berada pada posisi Rafa’, maka harus dibaca dengan harakat Dhommah pada akhirnya, dan bila berada pada posisi Nashab dan Jarr, maka harus dibaca dengan harakat Fat-hah pada akhirnya.

Contoh: قَالِيْ قَلاَ (Qoliqola) dan سُوْرَبَايَا (Surabaya) yang keduanya adalah nama kota.

Contoh-contoh di atas diakhiri oleh huruf Alif sehingga harus dianggap sebagai Mabni dengan harakat Sukun pada akhirnya. Sebab akan sangat sulit bahkan mustahil kita bisa mengucapkan harakat Fat-hah atau Dhommah di atas huruf Alif.

Contoh: سِيْبَوَيْهِ (Sibawaih) dan عَمْرَوَيْهِ (Amrawaih) yang keduanya adalah nama orang.

Karena contoh-contoh di atas diakhiri oleh وَيْهِ, maka harus dianggap sebagai Mabni dengan harakat Kasroh pada akhirnya, sehingga tidak bisa dibaca سِيْبَوَيْهُ atau عَمْرَوَيْهُ.

Disebut Idhafy karena kata yang pertama disandarkan kepada kata yang kedua sehingga bentuk susunannya serupa dengan Mudhof yang disandarkan kepada Mudhof Ilaih. Oleh karena itu, aturannya juga sama, yaitu: Untuk kata yang pertama harus di-i’rob sesuai posisinya dalam kalimat, apakah itu Rafa’, Nashab ataupun Jarr, sementara kata yang kedua harus diposisikan sebagai Mudhof Ilaih yang harus Majrur.

Contoh: عَبْدُ اللهِ (Abdullah) dan أَبُوْ قُحَافَةَ (Abu Quhafah), yang dibaca demikian ketika pada posisi Rafa’, dan dibaca عَبْدَ اللهِ dan أَبَا قُحَافَةَ pada posisi Nashab, serta dibaca عَبْدِ اللهِ dan أَبِيْ قُحَافَةَ pada posisi Jarr. Dari contoh-contoh di atas kita bisa perhatikan bahwa kata kedua selalu Majrur, baik dengan Kasroh atau dengan Fat-hah.



(bersambung)

No comments:

Post a Comment

Terbaru

recentposts

Sementara Itu

randomposts