Aturan dalam kondisi Nashab.
- Jika yang membuatnya Manshub adalah Fi’il (kata kerja), Isim Fi’il (Isim yang berfungsi seperti Fi’il) dan لَيْتَ (andaikan), maka Yaa’ Mutakallim wajib didahului oleh huruf Nun Wiqoyah yaitu Nun yang berfungsi menjaga Yaa’ Mutakallim supaya tidak disalahfahami sebagai Yaa’ Fi’il atau Yaa’ yang lainnya sehingga tidak terjadi salah faham atau salah arti ketika diucapkan.
Contoh:
a. Jika yang membuatnya Manshub adalah Fi’il (kata kerja):
دَعَانِيْ (Ia memanggilku).
يُكْرِمُنِيْ (Ia memuliakanku).
أَعْطِنِيْ (Berikan kepadaku).
Contoh-contoh di atas menunjukkan penggunaan Yaa’ Mutakallim yang wajib didahului oleh Nun Wiqoyah karena berada setelah Fi’il Madhi (Kata kerja lampau), Fi’il Mudhari’ (Kata kerja sekarang) dan Fi’il Amr (Kata kerja perintah).
Contoh yang lain misalnya:
قَامَ القَومُ مَا خَلاَنِيْ (Kaum itu berdiri kecuali aku).
قَامَ القَومُ مَا عَدَانِيْ (Kaum itu berdiri kecuali aku).
Pada 2 contoh di atas digunakan Yaa’ Mutakallim dengan didahului oleh Nun Wiqoyah setelah خَلاَ dan عَداَ yang dianggap sebagai 2 Fi’il Madhi. Sebab ada pendapat yang menganggap bahwa خَلاَ dan عَداَ adalah Harf yang aturannya akan dijelaskan pada pembahasan Yaa’ Mutakallim dalam kondisi Jarr.
Contoh yang lain:
مَا أَفْقَرَنِيْ إِلىَ عَفْوِ اللهِ
(Betapa butuhnya aku kepada ampunan Allah)
مَا أَحْسَنَنِيْ إِن اتَّقَيْتُ اللهِ
(Betapa baiknya aku jika aku bertakwa kepada Allah)
Pada 2 contoh di atas digunakan Yaa’ Mutakallim dengan didahului oleh Nun Wiqoyah setelah Fi’il-fi’il yang dibentuk dalam bentuk Ta’ajjub yang menunjukkan ketakjuban seseorang kepada sesuatu.
Contoh yang lain:
عَلَيْهِ رَجُلاً لَيْسَنِيْ
(Hendaknya ia berpegang kepada seseorang selain aku)
Pada contoh di atas digunakan Yaa’ Mutakallim dengan didahului oleh Nun Wiqoyah setelah Fi’il لَيْسَ yang merupakan Fi’il Naqish (kata kerja yang tidak sempurna karena tidak mempunyai derivasi dalam bentuk Mudhari, Amr juga wazan-wazan yang lainnya).
Adapun jika madzhab Kufah membolehkan hal seperti: أَحْسَنِيْ , maka hal tersebut dikarenakan mereka menganggap أَحْسَنَ sebagai Isim dan bukan Fi’il seperti anggapan madzhab Bashrah.
Kemudian jika dijumpai dalam Al-Qur’an:
قُلْ أَفَغَيْرَ اللهِ تَأْمُرُونِّيْ أَعْبُدُ أَيُّهَا الجَاهِلُوْنَ
(Katakanlah: "Maka Apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, Hai orang-orang yang tidak berpengetahuan?")
Pada ayat di atas disebutkan تَأْمُرُونِّيْ padahal secara teori mestinya harus dibaca تَأْمُرُوْنَنِيْ . Di sini ahli bahasa menjelaskan bahwa pada rangkaian di atas, salah satu Nun ada yang dibuang. Dan yang dibuang adalah Nun Rafa’ alias Nun yang merupakan bagian dari Fi’il تَأْمُرُوْنَ yang menunjukkan Fi’il tersebut berada dalam kondisi Marfu’, sementara Nun Wiqoyah tidak dibuang sama sekali, sehingga dalam hal ini, Al-Qur’an tidak melanggar sama sekali aturan tentang Nun Wiqoyah.
b. Jika yang membuatnya Manshub adalah Isim Fi’il:
دَرَاكَنِيْ (Ikuti aku/susul aku)
تَرَاكَنِيْ (Tinggalkan aku)
عَلَيْكَنِيْ (Tetap ikuti aku)
Tiga contoh di atas menunjukkan penggunaan Yaa’ Mutakallim dengan didahului oleh Nun Wiqoyah setelah Isim Fi’il Amr yaitu Isim Fi’il yang berfungsi seperti Fi’il Amr (Kata kerja perintah). Aturan ini tidak terbatas pada Isim Fi’il Amr saja, tapi juga berlaku pada Isim Fi’il Madhi dan Isim Fi’il Mudhari’.
c. Jika yang membuatnya Manshub adalah لَيْتَ:
Contohnya firman Allah dalam surah Al-Fajr:
ياَ لَيْتَنِيْ قَدَّمْتُ لِحَيَاتِيْ (Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini)
Adapun jika ada yang membaca dengan لَيْتِيْ maka menurut Sibawaih (pelopor ahli bahasa madzhab Bashrah), hal ini hanya boleh dilakukan pada saat darurat atau terdesak, seperti di dalam sya’ir yang punya aturan ketat, yang membuat penyair terpaksa harus membaca dengan bacaan demikian, dan hal ini tidak boleh dilakukan bila dalam keadaan biasa seperti percakapan sehari-hari atau dalam tulisan berbentuk prosa.
Sementara itu Al-Farra’ (seorang ahli bahasa) membolehkan pengucapan لَيْتَنِيْ ataupun لَيْتِيْ baik dalam percakapan sehari-hari, prosa ataupun sya’ir, yang tentu saja pendapat ini lebih moderat dibandingkan pendapat Sibawaih.
- Jika yang membuatnya Manshub adalah لَعَلَّ (barangkali), maka Yaa’ Mutakallim lebih banyak dibaca dengan tanpa didahului oleh huruf Nun Wiqoyah, meskipun diperbolehkan juga dibaca dengan didahului oleh huruf Nun Wiqoyah.
Contoh:
firman Allah dalam surah Ghafir atau Al-Mu’min:
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَاهَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الأَسْبَابَ
(Dan berkatalah Fir'aun: "Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang Tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu”)
Pada ayat di atas terdapat kata-kata لَعَلِّيْ yang menggunakan Yaa’ Mutakallim tanpa didahului oleh Nun Wiqoyah.
Adapun contoh penggunaan Yaa Mutakallim dengan didahului Nun Wiqoyah adalah seperti bait sya’ir karya Hatim bin Abdullah berikut ini:
أَرِيْنِيْ جَوَادًا مَاتَ هُزْلاً لَعَلَّنِيْ - أَرَى مَا تَرَيْنَ أَوْ بَخِيْلاً مُخَلَّدًا
(Tunjukkan padaku orang baik -yang selalu menginfakkan hartanya- yang mati dalam keadaan lemah atau orang bakhil yang kekal -di dunia ini-, hingga barangkali aku bisa berpendapat sesuai pendapatmu -yang membuatmu mencelaku karena banyak menghamburkan harta untuk dinfakkan-)
Pada contoh di atas digunakan kata لَعَلَّنِيْ yang menggunakan Yaa’ Mutakallim dengan didahului oleh Nun Wiqoyah.
- Jika yang membuatnya Manshub adalah إِنَّ dan أَنَّ (Sesungguhnya) juga لَكِنَّ (Akan tetapi) dan كَأَنَّ (Seakan-akan) -yang termasuk dalam keluarga لَعَلَّ dan لَيْتَ -, maka Yaa’ Mutakallim boleh dibaca dengan didahului oleh huruf Nun Wiqoyah ataupun tanpa didahului oleh huruf Nun Wiqoyah, sebab 2 cara ini sama banyak penggunaannya di dalam bahasa Arab.
Contoh:
Sebuah bait sya’ir karya seorang yang tergila-gila kepada seorang perempuan bernama Laila, yaitu Qais bin Maluh:
وَإِنِّيْ عَلَى لَيْلَى لَزَارٍ، وَإِنَّنِيْ - عَلَى ذَاكَ فِيْمَا بَيْنَنَا مُسْتَدِيْمُهَا
(Dan sesungguhnya aku benar-benar mencela Laila -jika ia menjauhiku-, dan sesungguhnya aku tetap memintanya untuk meneruskan cinta yang ada di antara kami, meski aku mencelanya)
Pada contoh di atas ada kata إِنِّيْ yang menggunakan Yaa’ Mutakallim tanpa didahului oleh Nun Wiqoyah, lalu di tengah bait digunakan kata إِنَّنِيْ yang menggunakan Yaa’ Mutakallim dengan didahului oleh Nun Wiqoyah.
Aturan dalam konsisi Jarr.
- Jika yang membuatnya Majrur adalah Harf (kata yang tidak bisa difahami jika berdiri sendiri), dalam hal ini yang dimaksud adalah: مِنْ dan عَنْ (dari), maka Yaa’ Mutakallim wajib dibaca dengan didahului oleh huruf Nun Wiqoyah kecuali jika dalam keadaan darurat seperti pada sya’ir-sya’ir Arab.
Contoh: مِنِّيْ dan عَنِّيْ (dariku) seperti banyak dijumpai dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Adapun jika dibaca مِنِيْ dan عَنِيْ dengan tanpa menggunakan tasydid, maka hanya diperbolehkan pada saat darurat seperti dalam bait-bait sya’ir.
- Jika yang membuatnya Majrur adalah Harf selain مِنْ dan عَنْ seperti: لِ (untuk), بِ (dengan), فيِ (di dalam), خَلاَ (selain), عَدَا (selain/kecuali), حَاشَا (kecuali), maka Yaa’ Mutakallim terlarang dibaca dengan didahului oleh huruf Nun Wiqoyah.
Contoh: لِيْ (untukku), بِيْ (denganku), فِيَّ (di dalam diriku), خَلاَيَ (kecuali aku), عَدَايَ (kecuali aku) dan حاَشاَيَ (selainku).
Perhatikan bait sya’ir Al-Mughirah bin Abdillah berikut:
فِيْ فِتْيَةٍ جَعَلُوا الصَّلِيْبَ إِلَهَهُمْ - حَاشَايَ إِنِّيْ مُسْلِمٌ مَعْذُوْرُ
(Di tentang para pemuda yang menjadikan salib sebagai tuhannya, kecuali aku, (karena) sesungguhnya aku seorang muslim yang dikhitan -sebab nasrani tidak berkhitan-)
Dalam bait di atas digunakan kata حَاشَايَ yang menggunakan Yaa’ Mutakallim tanpa didahului Nun Wiqoyah karena حَاشَا di sini dianggap sebagai Harf dan bukan sebagai Fi’il seperti pada pembahasan terdahulu tentang Yaa’ Mutakallim yang berada pada posisi Nashab.
- Jika yang membuatnya Majrur adalah Mudhof (Isim yang disandarkan kepada Isim berikutnya), maka jika yang menjadi Mudhof adalah لَدُنْ (dari sisi), قَطْ (cukup untuk) dan قَدْ (cukup untuk), maka yang paling banyak penggunaannya dalam bahasa Arab adalah: bahwa Yaa’ Mutakallim dibaca dengan didahului oleh huruf Nun Wiqoyah, meskipun boleh juga dibaca tanpa huruf Nun Wiqoyah. Namun perlu diingat bahwa penggunaan Yaa’ Mutakallim tanpa didahului oleh Nun Wiqoyah ini sangat jarang dan sedikit. Dengan demikian dalam kasus ini tidak ada hukum darurat, sebab kedua cara ini bisa digunakan.
Contoh:
Firman Allah dalam surah Al-Kahfi:
قَدْ بَلَغْتَ مِنْ لَدُنِّيْ عُذْرًا (Sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku)
Pada ayat di atas disebutkan kata لَدُنِّيْ yang dalam kitab-kitab tafsir diriwayatkan dengan dua bacaan yaitu: لَدُنِّيْ dengan tasydid pada huruf Nun yang berarti menyertakan Nun Wiqoyah dan لَدُنِيْ dengan tanpa menggunakan tasydid yang berarti tidak menyertakan Nun Wiqoyah.
Dengan demikian ayat ini merupakan dalil bolehnya 2 bacaan tersebut.
Contoh yang lain, yaitu dalam hadits tentang neraka disebutkan: قَطْنِيْ قَطْنِيْ atau قَطِيْ قَطِيْ (cukup buatku, cukup buatku) yang keduanya sama-sama menggunakan Yaa’ Mutakallim yang salah satunya didahului oleh Nun Wiqoyah sedang yang lainnya tidak.
Contoh lainnya adalah bait sya’ir karya Humaid bin Malik Al-Arqath berikut:
قَدْنِيَ مِنْ نَصْرِ الْخُبَيْبَيْنِ قَدِيْ - لَيْسَ الإِمَامُ بِالشَّحِيْحِ المُلْحِدِ
(Cukuplah bagiku pertolongan dari 2 Khubaib -yaitu Abdullah bin Zubair dan anaknya Khubaib-, cukuplah bagiku, tidaklah seorang pemimpin itu orang yang bakhil dan melanggar kehormatan Allah).
Pada bait di atas disebutkan kata قَدْنِيْ dan قَدِيْ , di mana yang pertama menggunakan Yaa’ Mutakallim yang didahului oleh Nun Wiqoyah sementara yang kedua tanpa didahului Nun Wiqoyah.
- Jika yang membuatnya Majrur adalah Mudhof selain dari لَدُنْ (dari sisi), قَطْ (cukup untuk) dan قَدْ (cukup untuk), maka Yaa’ Mutakallim terlarang dibaca dengan didahului oleh huruf Nun Wiqoyah. Sebab penggunaan huruf Nun Wiqoyah justru akan menimbulkan kesalahfahaman dalam memahami kalimat yang diucapkan.
Contoh: أَبِيْ (Ayahku) dan أَخِيْ (Saudaraku).
Jika Yaa’ Mutakallim pada contoh di atas didahului oleh Nun Wiqoyah menjadi أَبُنِيْ dan أَخُنِيْ , maka akan membuat orang lain salah faham karena mengira maksudnya sebagai “Abunku” dan “Akhunku” yang menunjuk nama orang atau nama benda yang tidak dikenal. Oleh karena itu terlarang dibaca dengan didahului Nun Wiqoyah.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment