Shalat Tarawih 8 Dan 20 Raka'at (bagian kedua)

Oleh: Fatahillah Ibnu Hasan


Hadis Aisyah hanya untuk shalat tarawih saja?

Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. menulis di halaman 58:

“3. Umumnya orang-orang yang shalat tarawih sebelas rakaat menggunakan Hadis Aisyah tadi sebagai dalil shalat mereka itu. Baik, kalau mereka mau konsekwen mengikuti Nabi Saw, silakan mereka shalat sebelas rakaat itu setiap malam, baik pada bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Sebab Hadis Aisyah tadi menyebutkan bahwa Nabi Saw shalat sebelas rakaat itu setiap malam, sepanjang tahun, baik bulan Ramadhan maupun bukan Ramadhan.”

Tanggapan kami:

Kalau memang seluruh ucapan harus disertai konsekwensi, maka kita bisa balik pernyataan yang sama kepada Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. dengan berkata, “Anda mengatakan bahwa 11 rakaat yang dilakukan Rasulullah Saw itu adalah “witir.” Baik, kalau Anda mau konsekwen mengikuti Nabi Saw, silakan Anda shalat “sebelas rakaat witir” itu setiap malam, baik pada bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Sebab Hadis Aisyah R.A. tadi menyebutkan bahwa Nabi Saw shalat “sebelas rakaat witir” itu setiap malam, sepanjang tahun, baik bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan.”

Apakah Anda konsekwen dengan pendapat Anda sendiri? Silahkan Anda jujur.

Dari pembalikan pernyataan ini, kita bisa melihat bahwa ungkapan Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. yang menuduh kebanyakan orang menggunakan Hadis Aisyah R.A. tadi sebagai dalil shalat tarawih saja lalu menuntut konsekwensi adalah merupakan tuduhan yang subyektif dan sedikit emosional.

Lebih mendasar lagi, barangkali akan terbetik pertanyaan tentang hukum Qiyamullail dan Qiyamu Ramadhan ini. Apakah hukumnya wajib berdasar amalan Rasulullah SAW yang melakukannya terus menerus setiap hari sepanjang tahun? Ataukah sunnah saja?

Jawabannya bisa didapatkan dengan mengkaji asbabul wurud atau sebab disyari'atkannya Qiyamullail ini, yaitu tatkala turun fiman Allah SWT di awal surah Al-Muzammil:

يَأَيُّهَا الْمُزَمِّلُ قُمِ اللَّيْلَ إِلاَّ قَلِيْلاً

"Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya)."

Maka Rasulullah SAW dan para sahabatnya melaksanakan Amar atau perintah untuk Qiyamullail ini setiap hari secara rutin selama 12 bulan hingga kaki mereka bengkak lalu Allah menurunkan ayat terakhir dari surah ini yang merubah status hukum Qiyamullail dari wajib menjadi sunnah atau nafilah saja.

Namun sudah merupakan kebiasaan Rasulullah SAW, jika sudah mulai menekuni suatu ibadah, maka beliau memilih konsisten atau dawam dalam melaksanakannya meskipun ibadah tersebut berhukum sunnah termasuk dalam masalah Qiyamullail ini. Bahkan dalam satu riwayat disebutkan bahwa jika beliau tertidur atau jatuh sakit sehingga tidak bisa Qiyamullail, maka beliau menggantinya dengan shalat 12 raka'at di siang hari seperti disebutkan oleh Aisyah R.A. dalam penggalan dari satu riwayat panjang berikut ini:

...وَكَانَ نَبِيُّ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذاَ صَلىَّ صَلاَةً أَحَبَّ أَنْ يُدَاوِمَ عَلَيْهَا وَكَانَ إِذَا غَلَبَهُ نَوْمٌ أَوْ وَجَعٌ عَنْ قِيَامِ اللَّيْلِ صَلىَّ مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً...

"...Dan Nabi Allah SAW apabila melaksanakan suatu shalat maka beliau suka untuk melakukannya terus menerus dan apabila beliau tertidur atau jatuh sakit sehingga tidak bisa melaksanakan Qiyamullail maka beliau shalat di siang hari 12 rakaat..." (H.S.R Muslim).

Disebutkan pula dalam suatu riwayat:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كاَنَ يَقُوْمُ مِنَ اللَّيْلِ حَتىَّ تَتَفَطَّرَ قَدَمَاهُ فَقَالَتْ عَائِشَةُ لِمَ تَصْنَعُ هَذَا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَقَدْ غَفَرَ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ؟ قَالَ: (أَفَلاَ أُحِبُّ أَنْ أَكُوْنَ عَبْدًا شَكُوْرًا)

Dari Aisyah RA: Bahwasannya Nabi Allah SAW melaksanakan Qiyamullail hingga kedua kakinya pecah-pecah, maka Aisyah RA bertanya: "Mengapa engkau melakukan ini wahai Rasulallah padahal Allah sudah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?" Beliau menjawab: "Apakah aku tidak suka untuk menjadi hamba yang bersyukur?" (H.S.R Bukhari).

Dengan demikian, kalau memang shalat malam (baik dalam Ramadhan atau di luar Ramadhan) ini adalah sunnah untuk kaum muslimin sesuai dengan asbabul wurud (sebab munculnya) hukum Qiyamullail, mengapa kemudian Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. mempersilahkan kaum muslimin shalat 11 rakaat setiap hari sepanjang tahun dengan alasan konsekwensi? Padahal sudah jelas bahwa Qiyamullail (baik di bulan Ramadhan ataupun di luar bulan Ramadhan) adalah sunnah bagi kaum muslimin sehingga tidak mesti harus dilakukan tiap malam apalagi sampai sepanjang tahun.

Adapun sikap konsisten yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam melaksanakan Qiyamullail setiap hari, maka itu termasuk dalam area Khushushiyyah beliau sehingga mengesankan kepada kita bahwa Qiyamullail adalah wajib bagi Rasulullah SAW karena beliau pernah mengganti Qiyamullail yang terlewat pada malam harinya dengan 12 raka'at di siang hari yang hal ini tentu saja tidak bisa dilakukan oleh umatnya.

Hal ini didukung oleh teori Fiqh Islami yang memang mengenalkan adanya area Khushushiyyah untuk Rasulullah SAW. Salah satu contohnya, kenyataan bahwa Rasulullah SAW boleh menikah lebih dari 4 wanita sekaligus dalam satu waktu sementara umatnya tidak, juga kenyataan bahwa Rasulullah SAW haram menerima harta zakat sementara umatnya boleh atau fakta bahwa Rasulullah SAW boleh puasa Wishal sementara umatnya tidak dan juga masalah Qiyamullail ini.

Dengan demikian kami bisa bertanya, apakah tepat kalau Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. kemudian menuntut konsekwensi dari kaum muslimin untuk Qiyamullail terus menerus sepanjang tahun padahal ada perbedaan status hukum antara Rasulullah SAW dengan umatnya??

Di sisi lain, adalah suatu kemestian dalam setiap penelitian hukum syari’ah ataupun fiqih untuk tidak menyimpulkan suatu perkara hanya dengan melihat apa yang diucapkan dan dilakukan khalayak ramai yang kebetulan berseberangan, yang dalam kasus ini diwakili oleh banyaknya orang yang menggunakan Hadis Aisyah RA sebagai dasar shalat tarawih 11 rakaat. Karena sudah jama' dimaklumi dalam prosedur penentuan hukum fiqh atau suatu perkara syar’i, bahwa yang boleh dilihat dan diteliti hanyalah dalil-dalil atau nash-nash syar’i serta metode ijtihad dan istinbath dari fihak yang berseberangan. Adapun ucapan dan perbuatan mereka secara pribadi, maka mau tidak mau harus dikesampingkan karena memang tidak termasuk dalil-dalil syar'i.

Hadis Aisyah sebagai pembenar saja?

Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. menulis di halaman 58:

“Kenyataannya tidak demikian. Orang-orang yang shalat tarawih sebelas rakaat itu selalu menyebut-nyebut Hadis Aisyah tadi pada bulan-bulan Ramadhan saja. Di luar Ramadhan Hadis itu tidak pernah mereka sebut-sebut. Seolah-olah Hadis tadi hanya mereka jadikan pembenar untuk shalat tarawih mereka. Padahal ada keterangan yang shahih, bahwa Nabi Saw shalat malam sampai kakinya pecah-pecah.

عَنِ الْمُغِيْرَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُوْلُ: إِنْ كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيَقُوْمَ لَيُصَلِّيَ حَتىَّ تَرِمَ قَدَمَاهُ أَوْ سَاقَاهُ. فَيُقَالُ لَهُ، فَيَقُوْلُ: أَفَلاَ أَكُوْنُ عَبْداً شَكُوْراً؟"

Al Mughirah r.a menuturkan bahwa Nabi Saw shalat malam sampai bengkak kedua tumit atau betisnya. Ketika hal itu ditanyakan kepada beliau, beliau menjawab, “Bukankah aku ini seorang hamba yang banyak bersyukur? ”

Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi Saw shalat malam banyak rakaat, bukan hanya sebelas rakaat. Sekiranya Nabi Saw shalat malam hanya sebelas rakaat, tentu kaki beliau tidak akan pecah-pecah. Hal ini pada gilirannya menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan shalat sebelas rakaat oleh Aisyah itu adalah shalat witir, bukan shalat malam secara keseluruhan.”

Tanggapan kami:

Untuk masalah orang-orang yang selalu menyebut-nyebut Hadis Aisyah R.A pada bulan Ramadhan saja, maka hal ini sudah kami jelaskan sebelumnya bahwa proses ijtihad untuk mencari ketetapan hukum fiqih tidak melihat apa yang dikerjakan atau diucapkan orang-orang karena ucapan atau perbuatan mereka memang bukan dalil syar'i yang bisa digunakan sebagai landasan hukum syar’i.

Adapun tuduhan bahwa Hadis tadi “seolah-olah” hanya dijadikan pembenar untuk shalat tarawih sudah kami jawab dengan bukti-bukti bahwa banyak ulama yang menggunakan Hadis tadi untuk menjelaskan jumlah rakaat Qiyamullail Rasulullah Saw di luar Ramadhan. Jadi, Hadis Aisyah R.A. tersebut merupakan pembenar shalat tarawih 11 rakaat di bulan Ramadhan sekaligus pembenar Qiyamullail 11 rakaat di luar Ramadhan.

Lalu mengapa kebanyakan orang-orang menyebutkan Hadis tersebut hanya di bulan Ramadhan?

Tentu saja karena shalat tarawih di bulan Ramadhan selalu diadakan secara umum di tiap-tiap masjid dan dilakukan secara rutin setiap malam oleh hampir seluruh kaum muslimin, sehingga perlu dibahas Hadis Aisyah R.A. tersebut di mimbar-mimbar dan di kajian-kajian baik di media cetak ataupun elektronik untuk memberi bimbingan kepada kaum muslimin karena mereka sedang getol-getolnya melaksanakan shalat tarawih.

Namun berbeda hasilnya jika dilakukan di luar Ramadhan, sebab akan menjadi sesuatu yang menghabiskan energi kalau Hadis Aisyah R.A. tersebut dibahas setiap hari di atas mimbar atau melalui kajian di media cetak dan elektronik di sepanjang bulan Syawal, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan seterusnya hingga bertemu bulan Sya’ban, jika kenyataannya tidak pernah diadakan Qiyamullail secara rutin, umum dan berjama'ah di tiap-tiap masjid, apalagi kenyataannya hanya segelintir orang yang melaksanakannya.

Hal ini bisa dianalogikan dengan gambaran seorang da'i yang membahas panjang lebar tentang hukum perbudakan dalam Islam, tata cara shalat, pernikahan, hukum jual beli dan warisannya sementara pada kenyataannya tidak dijumpai adanya perbudakan manusia di zaman sekarang yang berarti menunjukkan bahwa da'i ini sedang buang-buang energi karena membahas sesuatu yang tidak ada dalam kenyataan.

Oleh karena itu usaha sebagian kaum muslimin yang membahas Hadis Aisyah R.A. hanya pada bulan Ramadhan ini tidak bisa dibandingkan begitu saja dengan usaha yang diharapkan agar dilakukan kaum muslimin dalam membahas Hadis yang sama di luar Ramadhan karena kondisinya memang sama sekali berbeda. Apalagi kemudian diarahkan menjadi tuduhan bahwa Hadis Aisyah R.A. tersebut hanya digunakan sebagai pembenar shalat tarawih pada bulan Ramadhan seperti ungkapan Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. di atas.

Kaki Rasulullah SAW bengkak karena banyak rakaat?

Lalu bagaimana dengan kaki Rasulullah SAW yang bengkak? Bukankah ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW shalat banyak raka’at?

Jawaban kami, bahwa bengkaknya kaki tidak bisa dijadikan sebagai petunjuk atau dalil bahwa Rasulullah SAW shalat “banyak rakaat.” Sebab, bengkaknya kaki tidak hanya terjadi karena shalat banyak rakaat, tapi juga bisa terjadi karena hal-hal yang lain, seperti kalau seandainya para pembaca diminta untuk naik bis dengan berdiri dari Jakarta ke Tasikmalaya lalu dari Tasikmalaya ke Jakarta setiap malam selama setahun terus menerus, bisa dipastikan kakinya akan bengkak, meskipun tidak shalat satu rakaatpun.

Jadi, untuk menentukan apakah Rasulullah SAW shalat banyak rakaat atau tidak, hanya bisa diketahui melalui Hadis yang betul-betul menjelaskan jumlah rakaat Rasulullah SAW seperti Hadis Aisyah R.A. di atas dan tidak bisa hanya dengan berasumsi dari lama dan tidaknya shalat atau dari bengkak dan tidaknya kaki ketika shalat. Toh, sangat banyak orang yang shalat tarawih 20 rakaat tapi tidak pernah ada cerita kaki mereka bengkak gara-gara shalat 20 rakaat.

Lalu mengapa kaki Rasulullah SAW bisa bengkak padahal cuma shalat 11 rakaat?

Sangat masuk akal bila Rasulullah SAW kakinya bengkak, karena beliau berdiri sangat lama untuk tiap rakaatnya. Jangan anda bayangkan Rasulullah SAW hanya membaca “Tabbat Yadaa” dan “Qulhu” seperti yang banyak dilakukan orang ketika shalat tarawih, sebab bacaan pendek seperti itu tentu mustahil bisa menyebabkan bengkak kaki. Tapi coba bayangkan kalau dalam 11 rakaat Qiyamullail, Rasulullah SAW membaca surah Al-Baqarah pada rakaat pertama, surah Ali Imran pada rakaat kedua, surah An-Nisa pada rakaat ketiga dan seterusnya yang barangkali menghabiskan 10 juz untuk 11 rakaat. Kalau seandainya bacaan tartil 1 juz berdurasi 25 menit, maka setidaknya Rasulullah SAW shalat 250 menit alias 4 jam lebih, maka sangat wajar bila kaki beliau bengkak karena lama berdiri dan bukan karena banyak rakaat. Kesimpulan seperti ini didukung oleh riwayat berikut:

عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَافْتَتَحَ الْبَقَرَةَ فَقُلْتُ يَرْكَعُ عِنْدَ الْمِائَةِ ثُمَّ مَضَى فَقُلْتُ يُصَليِّ بِهَا فِيْ رَكْعَةٍ فَمَضَى فَقُلْتُ يَرْكَعُ بِهَا ثُمَّ افْتَتَحَ النِّسَاءَ فَقَرَأَهَا ثُمَّ افْتَتَحَ آل عِمْرَانَ فَقَرَأَهَا يَقْرَأُ مُتَرَسِّلاً...ثُمَّ رَكَعَ...

Dari Hudzaifah R.A.:"Aku shalat bersama Nabi SAW pada suatu malam, maka beliau memulai (dengan membaca) Al-Baqarah, lalu aku berkata: beliau akan ruku' pada ayat 100 kemudian (ternyata) beliau terus, lalu aku berkata: beliau akan shalat dengan Al-Baqarah dalam 1 shalat, maka kemudian (ternyata) beliau terus, lalu aku berkata: beliau akan ruku' (setelah selesai) dengan Al-Baqarah, kemudian (ternyata) beliau mulai (membaca) An-Nisa', maka beliau membacanya (hingga selesai), kemudian beliau mulai (membaca) Ali Imran, maka beliau membacanya (hingga selesai), beliau membaca perlahan-lahan... kemudian beliau ruku'..." (H.S.R. Muslim).

Dengan demikian, kenyataan bahwa Rasulullah SAW kakinya bengkak tersebut tidak bisa dijadikan petunjuk bahwa beliau shalat banyak rakaat dan pada akhirnya hal itu juga tidak bisa dijadikan petunjuk untuk menyimpulkan secara paksa bahwa Aisyah R.A. dalam Hadisnya hanya bermaksud menjelaskan bahwa “witir Rasulullah SAW itu sebelas rakaat,” apalagi sampai menyatakan bahwa shalat tarawih itu tidak ada batasnya, boleh 8 rakaat, 20, 40, 60 ataupun 1000 rakaat, sebab ada kemungkinan lain yang menyebabkan kaki Rasulullah SAW bengkak, yaitu karena berdiri sangat lama dalam shalatnya berdasar riwayat Hudzaifah R.A. di atas yang juga didukung oleh ucapan Aisyah R.A. dalam Hadisnya:

فَلاَ تَسأَل عَن حُسنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ

“maka jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya” (H.S.R. Bukhari).

Pada potongan hadits di atas, Aisyah R.A. tidak mengatakan:

فَلاَ تَسأَلْ عَنْ كَثْرَتِهِنَّ

“maka jangan kamu bertanya tentang banyaknya (rakaat-rakaat)”

Tapi beliau justru menjelaskan tentang panjang dan baiknya shalat Rasulullah SAW yang ini berarti bertentangan dengan kesimpulan Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. yang menyatakan bahwa jumlah raka'at yang banyak adalah penyebab bengkaknya kaki Rasulullah SAW.

Yang terakhir, dikarenakan Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. benar-benar yakin bahwa Rasulullah SAW shalat malam “banyak rakaat” selain “shalat witir 11 rakaat,” maka bisa kami tanyakan sekali lagi: “Apakah Anda juga konsekwen untuk melakukan shalat malam “banyak rakaat” seperti yang Anda percayai hingga kaki Anda bengkak-bengkak seperti Rasulullah SAW? Baik dalam Ramadhan ataupun di luar Ramadhan? Ataukah ungkapan “banyak rakaat” yang Anda perkenalkan serta Hadis bengkaknya kaki Rasulullah SAW itu justru hanya sekedar menjadi pembenar bagi pendapat Anda sendiri dalam rangka “membuang batasan 11 rakaat shalat malam” tanpa dasar apapun kecuali atas dasar asumsi pribadi Anda saja?

Adapun 3 hadits yang disebutkan di halaman 59 dan 60 yang dilengkapi komentar Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A., maka ketiga hadits ini hanya “diseret” dan difahami sesuai pemahaman Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. yang menyatakan bahwa witir itu 11 rakaat, yang sudah kami tanggapi dalam pembahasan-pembahasan yang lalu.

Begitupula sub judul “f. Memenggal Hadits,” juga bersumber pada pemahaman bahwa Hadits Aisyah R.A. di awal tulisan ini adalah berkenaan tentang masalah witir saja, bukan tentang shalat malam, yang juga sudah kami tanggapi dalam pembahasan-pembahasan sebelumnya.

Ubay bin Ka’ab R.A. shalat 20 rakaat di zaman Umar bin Khatthab R.A.?

Pada halaman 62 Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. menulis:

"Kemudian tentang kualitas Hadis Ubay bin Ka'ab yang mengimami shalat tarawih 20 rakaat pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab, maka kualitasnya shahih. Hadis ini disebut Hadis mauquf, karena tidak disandarkan kepada Nabi Saw. Apabila Hadis disandarkan kepada Nabi Saw, disebut Hadis marfu'. Hadis Ubay bin Ka'ab ini diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitabnya al-Sunan al-Kubra, Juz II hal. 496. Dan sekali lagi kualitasnya shahih. Demikian menurut Imam al-Nawawi, Imam al-Zaila'i, Imam al-Subki, Imam Ibn al-'Iraqi, Imam al-'Aini, Imam al-Suyuti, Imam Ali al-Qari, Imam al-Nimawi, dan lain-lain.

Memang ada yang menilai Hadis Ubay bin Ka'ab itu dhaif (lemah), seperti Imam al-Mubarakfuri dan Syeikh al-Albani. Namun penilaian itu dibantah oleh Syeikh Ismail al-Anshari, seorang ulama peneliti dari Darul Ifta di Riyadh Saudi Arabia."

Tanggapan kami:

Ada beberapa catatan mengenai Hadis Ubay bin Ka'ab R.A. ini. Yang pertama, seperti disebutkan oleh Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. bahwa Hadis ini adalah mauquf yang tidak disandarkan kepada Rasulullah SAW dan tidak ada qarinah atau petunjuk yang menjelaskan bahwa Ubay bin Ka'ab R.A shalat 20 rakaat tersebut karena mencontoh atau mengikuti Nabi SAW sehingga Hadis tersebut tidak bisa dihukumi marfu' hukman atau marfu' secara hukum. Sementara dalil-dalil syar'i yang disepakati adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah bukan perbuatan shahabat, karena mereka bukanlah fihak yang diperkenankan membuat syari'at apalagi masalah ibadah mahdhah, sehingga Hadis Ubay bin Ka'ab di atas, meskipun ada yang menganggap shahih, tetapi tetap tidak bisa dipakai sebagai landasan hukum karena bukan perbuatan Nabi SAW.

Yang kedua, jika tetap kita katakan Hadis Ubay bin Ka'ab ini shahih secara mutlak dan bisa dipakai, lalu bagaimana dengan riwayat shahih berikut ini:

عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّهُ قَالَ أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيمًا الدَّارِيَّ أَنْ يَقُومَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً قَالَ وَقَدْ كَانَ الْقَارِئُ يَقْرَأُ بِالْمِئِينَ حَتَّى كُنَّا نَعْتَمِدُ عَلَى الْعُصِيِّ مِنْ طُولِ الْقِيَامِ وَمَا كُنَّا نَنْصَرِفُ إِلاَّ فِي فُرُوعِ الْفَجْرِ (الموطأ 1/115 الحديث رقم 251)

Dari As-Saib bin Yazid bahwasannya ia berkata: "Umar bin Al-Khattab telah memerintahkan Ubay bin Ka'ab dan Tamim Ad-Dary untuk mengimami orang-orang dengan 11 rakaat" Ia berkata: "Sang imam pada saat itu membaca Al-Miun (surah-surah yang berisi 100 ayat ke atas) hingga kami bersandar di atas tongkat-tongkat karena lamanya berdiri dan tidaklah kami pulang kecuali pada saat awal-awal fajar." (Al-Muwaththa' Juz I hal. 115 Hadis nomor 251).

Riwayat di atas menunjukkan bahwa Ubay bin Ka'ab R.A. diperintahkan oleh Umar bin Al-Khattab untuk shalat 11 rakaat dan bukan 20 rakaat. Sehingga timbul pertanyaan, manakah yang lebih shahih, riwayat Imam al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra ataukah riwayat Imam Malik dalam Al-Muwaththa'?

Dalam ilmu Hadis, jika ditemui dua riwayat shahih yang bertentangan padahal riwayat tersebut berkenaan tentang masalah yang sama, maka cara pemecahan pertama yang bisa dilakukan adalah dengan meneliti mana yang nasikh (yang menghapus hukum lama) dan mana yang mansukh (yang dihapus hukumnya). Namun sayangnya, cara tersebut tidak bisa dilakukan di sini, karena dua riwayat tentang shalat tarawih yang dipimpin oleh Ubay bin Ka'ab R.A. tersebut sama-sama terjadi di masa Umar bin Al-Khattab R.A. sehingga tidak bisa ditentukan mana yang nasikh dan mana yang mansukh.

Cara pemecahan yang kedua, jika tidak bisa diketahui mana yang nasikh dan mana yang mansukh maka harus dicari dalil-dalil pendukung di luar dua riwayat tadi agar kita bisa mengetahui mana yang lebih shahih dan mana yang lebih sesuai dengan Hadis shahih yang lainnya. Ternyata, cara yang kedua ini lebih mudah dilakukan, terlebih lagi karena kita sejak awal sedang membahas Hadis Aisyah R.A. yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW tidak pernah shalat lebih dari 11 rakaat, baik di dalam Ramadhan maupun di luar Ramadhan, sehingga kita bisa tahu dan bisa menyimpulkan bahwa riwayat dalam Al-Muwaththa' lebih shahih dan terjaga karena tidak bertentangan dengan Hadis yang lebih shahih, sementara riwayat dalam As-Sunan Al-Kubra tidak bisa diterima karena bertentangan dengan Hadis Aisyah R.A. yang lebih shahih.

Seperti yang sudah jama' dikenal dalam Ilmu Hadis, bahwa salah satu syarat Hadis shahih adalah tidak boleh bertentangan dengan Hadis yang lebih shahih darinya. Oleh karena itu, riwayat Ubay bin Ka'ab R.A. dalam As-Sunan Al-Kubra itu teranggap Hadis Syadz yang termasuk Dhai'f karena bertentangan dengan Hadis yang lebih kuat, sementara riwayat Ubay bin Ka'ab R.A. dalam Al-Muwaththa' termasuk Hadis Mahfuzh atau Hadis yang terjaga karena sesuai dengan Hadis yang lebih kuat yaitu Hadis Aisyah R.A.

Setelah mengetahui paparan di atas, secara tidak langsung kita bisa mengetahui mengapa Imam An-Nawawi dan ulama yang lainnya menshahihkan riwayat dalam As-Sunan Al-Kubra, yaitu; barangkali mereka hanya melihat dari sisi sanadnya saja secara mandiri tanpa melihat sisi matan atau isi yang bertentangan dengan riwayat-riwayat lainnya. Sementara Imam al-Mubarakfuri dan Syeikh Al-Albani barangkali melihat sisi matan dan isi lalu membandingkannya dengan riwayat-riwayat yang lain sehingga memutuskan untuk melemahkan riwayat As-Sunan Al-Kubra tersebut.

Bagaimanapun juga, kedua riwayat di atas tetap tidak bisa dijadikan dasar hukum untuk pelaksanaan shalat tarawih 20 rakaat karena seluruh riwayat tadi hanyalah mauquf yang berhenti sampai pada sahabat saja. Sementara ibadah mahdhah tidak bisa bersandar hanya kepada perbuatan para sahabat saja, karena seluruh ibadah mahdhah harus mengikuti Rasulullah SAW. Kalau tidak, maka hal tersebut merupakan sesuatu yang diada-adakan dalam agama. Kalaupun kemudian ada riwayat beberapa sahabat melakukan ibadah mahdhah ini dan itu yang tidak ada contohnya dari Rasulullah SAW, maka yang kita tolak adalah riwayat tersebut dan bukan menolak sahabatnya. Karena mustahil tindakan seperti itu muncul dari para sahabat, mengingat mereka sangat menjaga As-Sunnah dan tidak mungkin mengada-ada di dalam urusan agama, apalagi urusan ibadah mahdhah.



(bersambung)

No comments:

Post a Comment

Terbaru

recentposts

Sementara Itu

randomposts