Al-Mu'rob dan Al-Mabni (bagian 6)

6. Af’aalul Khomsah

Definisi dari Af’aalul Khomsah adalah tiap Fi’il Mudhori’ (yang menunjukkan masa sekarang atau yang akan datang) yang bersambung dengan Alif Itsnanin (huruf Alif yang menunjukkan bilangan dua), Wawu Jama’ah (huruf Wawu yang menunjukkan bilangan jamak) atau Yaa’ Mukhotobah (huruf Yaa’ yang menunjukkan orang ke dua tunggal).

Maksudnya adalah tiap kata kerja (Fi’il Mudhori’) yang bersambung dengan salah satu dari 3 huruf di atas.

Ilustrasi: www.mugtama.com

Seperti: Wazan تَفْعَلاَنِ dan يَفْعَلاَنِ (bersambung dengan Alif Itsnain), Wazan تَفْعَلُوْنَ dan يَفْعَلُوْنَ (bersambung dengan Wawu Jama’ah) dan Wazan تَفْعَلِيْنَ (bersambung dengan Yaa’ Mukhotobah).

Aturan seperti ini berlaku pada seluruh wazan Fi’il Mudhori’ seperti dikenal dalam Ilmu Tashrif. Berikut beberapa contoh:

يَرْفَعَانِ تَرْفَعَانِ يَرْفَعُوْنَ تَرْفَعُوْنَ تَرْفَعِيْنَ (mengangkat).

يَقِيَانِ تَقِيَانِ يَقُوْنَ تَقُوْنَ تَقِيْنَ (menjaga).

Tanda I’rob Af’aalul Khomsah

Ciri khas Af’aalul Khomsah adalah diakhiri dengan huruf Nun yang berfungsi menunjukkan posisi I’rob-nya.

Tanda I’rob Af’aalul Khomsah adalah dengan membiarkan huruf Nun pada akhir Fi’il Mudhori’ bila dalam keadaan Rafa’.

Seperti dalam firman Allah:

وَاللَّذَانِ يَأْتِيَانِهَا مِنْكُمْ فَآذُوهُمَا

(Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya).

Perhatikan kata يَأْتِيَانِ yang diambil dari kata kerja dasar يَأْتِيْ yang bersambung dengan huruf Alif Itsnain yang berfungsi menunjukkan bilangan dua (artinya: dua orang sedang mendatangi/akan mendatangi) dan diakhiri huruf Nun. Maka bisa disimpulkan bahwa Fi’il ini termasuk Af’aalul Khomsah, dan bila diakhiri huruf Nun maka ini menunjukkan bahwa Fi’il tersebut berada pada posisi Rafa’ sesuai dengan aturan I’rob-nya.

Sedangkan untuk kondisi Nashab dan Jazam maka tanda I’rob-nya dengan cara membuang huruf Nun tersebut.

Seperti dalam firman Allah:

فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا

(Maka jika kamu tidak dapat membuat (nya) dan pasti kamu tidak akan dapat membuat (nya)).

Perhatikan kata تَفْعَلُوْا yang diambil dari kata kerja dasar يَفْعَلُ yang bersambung dengan huruf Wawu Jama’ah yang berfungsi menunjukkan bilangan jamak (artinya: mereka sedang mendatangi/akan mendatangi) yang pada asalnya diakhiri dengan huruf Nun (yaitu: تَفْعَلُوْنَ). Maka bisa disimpulkan bahwa Fi’il ini termasuk Af’aalul Khomsah, dan bila huruf Nun-nya dibuang seperti dalam ayat ini maka ini menunjukkan bahwa Fi’il tersebut berada pada posisi Nashab sesuai dengan aturan I’rob-nya.

Contoh Af’aalul Khomsah dalam kondisi Jazam, firman Allah:

وَإِنْ يَكُنْ لَهُمُ الْحَقُّ يَأْتُوا إِلَيْهِ مُذْعِنِينَ

(Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada rasul dengan patuh).

Perhatikan kata يَأْتُوا yang diambil dari kata kerja dasar يَأْتِيْ yang bersambung dengan huruf Wawu Jama’ah yang berfungsi menunjukkan bilangan jamak (artinya: mereka sedang mendatangi/akan mendatangi) yang pada asalnya diakhiri dengan huruf Nun (yaitu: يَأْتُوْنَ). Maka bisa disimpulkan bahwa Fi’il ini termasuk Af’aalul Khomsah, dan bila huruf Nun-nya dibuang seperti dalam ayat ini maka ini menunjukkan bahwa Fi’il tersebut berada pada posisi Jazam sesuai dengan aturan I’rob-nya.

Tambahan

Dalam ilmu Tashrif ada dua wazan Fi’il Mudhori’ yang diakhiri huruf Nun yaitu wazan يَفْعَلْنَ dan تَفْعَلْنَ yang barangkali pada kata-kata kerja tertentu akan terjadi kesamaran. Perlu diketahui, dua wazan ini diakhiri Nun Niswah yang menunjukkan jenis perempuan yang dalam posisi apapun tidak bisa dibuang alias Mabni (Lihat pembahasan tentang Mabni) dan Nun ini berbeda dengan huruf Nun yang berada dalam Af’aalul Khomsah yang berfungsi sebagai tanda I’rob.

Contoh firman Allah:

إِلاَّ أَنْ يَعْفُونَ

(Kecuali jika isteri-isterimu itu mema`afkan).

Kata-kata يَعْفُوْنَ di sini diakhiri huruf Wawu asli dan bukan Wawu Jama’ah sementara huruf Nun di akhir kata tersebut adalah Nun Niswah yang menunjukkan perempuan dan bukan Nun yang ada pada tiap Af’aalul Khomsah, sehingga meskipun يَعْفُوْنَ di sini berada pada posisi Nashab tetap tidak akan ada perubahan seperti layaknya Af’aalul Khomsah.

Berbeda halnya dengan contoh berikut:

وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى

(dan pema`afan kamu itu lebih dekat kepada takwa).

Kata-kata تَعْفُوا di sini diakhiri huruf Wawu Jama’ah yang menunjukkan bilangan jamak (artinya: kalian memaafkan) sementara huruf Nun di akhir kata tersebut dibuang yang menunjukkan bahwa Fi’il ini termasuk dalam Af’aalul Khomsah yang berada pada posisi Nashab.

Dengan demikian, untuk membedakan antara Fi’il yang menggunakan Nun Niswah dan Fi’il yang termasuk dalam Af’aalul Khomsah kita harus kembali kepada makna Fi’il tersebut, apakah menunjuk kepada jenis perempuan (jamak) atau yang lainnya. Hal ini supaya tidak terjadi kesalahan dalam mengenali tanda I’rob dari Fi’il-fi’il tersebut.

7. Fi’lul Mudhori’ Mu’tal Akhir

Definisi dari Fi’lul Mudhori’ Mu’tal Akhir adalah tiap Fi’il Mudhori’ yang diakhiri oleh huruf ‘Illat (huruf penyakit) yaitu Alif, Wawu dan Yaa’.

Contoh Fi’il Mudhori’ yang diakhiri huruf Alif:

يَخْشَى (Takut).

Contoh Fi’il Mudhori’ yang diakhiri huruf Wawu:

يَدْعُوْ (Menyeru).

Contoh Fi’il Mudhori’ yang diakhiri huruf Yaa’:

يَرْمِيْ (Melempar).

Tanda I’robnya

Tanda I’rob dari Fi’il Mudhari’ jenis ini adalah:

Jika dalam keadaan Rafa’ maka tanda Rafa’-nya adalah dengan Dhommah Muqaddarah (Tanda Dhommah yang diperkirakan) berada di atas huruf ‘Illat yang bersangkutan. Sedangkan huruf-hurf Fi’il tersebut tetap sesuai wazan-nya tanpa ada perubahan atau pembuangan.

Contoh:

وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ

(…sedang Allah mengajak ke surga…).

Kata-kata يَدْعُو pada ayat ini, tanda I’rob-nya adalah dengan Dhommah Muqaddarah (Dhommah yang diperkirakan) di atas huruf Wawu atau huruf ‘Illat. Sebab, asli kata يَدْعُو adalah يَدْعُوُ (dengan dua Dhommah pada dua huruf terakhir) yang pada lidah bangsa Arab, pengucapan dua Dhommah secara berurutan adalah sesuatu yang berat untuk dilakukan. Sebagai solusinya, mereka membuang Dhommah yang terakhir agar mudah dalam pengucapannya. Namun mereka masih ingat bahwa diakhir kata tersebut ada Dhommah yang dibuang, itulah maksud dari Muqaddarah.

Jika dalam keadaan Nashab dan Jazam, maka tanda I’rob-nya adalah dengan membuang huruf ‘Illat yang bersangkutan.

Contoh:

وَمَنْ يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا ءَاخَرَ لاَ بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِنْدَ رَبِّهِ

(Dan barangsiapa menyembah tuhan yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya).

Kata-kata يَدْعُ pada ayat ini, asalnya adalah يَدْعُو yang kemudian dibuang huruf ‘Illat-nya karena berada pada posisi Jazam yaitu terletak dalam kalimat bersyarat.

Pembuangan huruf ‘Illat ini berfungsi sebagai tanda I’rob-nya dan tidak menggunakan metode Muqaddarah, sebab jika masih menggunakan Muqaddarah, maka secara lahir tidak akan bisa dibedakan mana yang dalam posisi Rafa’, Nashab dan Jazam disebabkan huruf-hurufnya sama sementara harakat-nya Muqaddarah.

Itulah sebabnya mengapa ketika Rafa’ cukup menggunakan Muqaddarah, sementara dalam posisi Nashab dan Jazam harus dengan membuang huruf ‘Illat.

Zhahir dan Muqaddarah dalam Mu’rab

Harakat Zhahir adalah harakat yang nampak di akhir semua kata, baik itu Isim, Fi’il ataupun Harf yang merupakan aturan asal.

Terkadang harakat-harakat ini terpaksa harus disembunyikan karena berat dalam pengucapan (seperti dijelaskan dalam pembahasan Fi’il Mu’tal Akhir) dan disebut Muqaddarah.

Dengan demikian, harakat Zhahir ataupun Muqaddarah berlaku pada semua Isim, Fi’il ataupun Harf selama memenuhi syarat untuk menjadi Zhahir ataupun Muqaddarah.

Harakat Zhahir digunakan jika akhir dari kata tersebut adalah huruf Shahih atau tidak termasuk huruf ‘Illat (Alif, Wawu dan Yaa’).

Sedangkan harakat Muqaddarah digunakan jika akhir dari kata tersebut termasuk huruf ‘Illat dan memenuhi kondisi-kondisi berikut:

1. Jika sebuah Isim Mu’rob diakhiri oleh huruf Alif Lazimah (selalu ada dalam semua posisi), maka harus menggunakan harakat Muqaddarah. Kondisi ini disebut Mu’tal Maqshur.

Contoh: الفَتَى (pemuda) dan المُصطَفَى (yang terpilih).

Kedua kata ini adalah Isim yang diakhiri Alif Lazimah, sebab Alif tersebut tidak akan dibuang dalam kondisi apapun. Sehingga tanda I’rob-nya tetap menggunakan Dhommah, Fat-hah dan Kasroh pada tiga kondisi I’rob yaitu: Rofa’, Nashab dan Jarr. Akan tetapi 3 harakat tersebut harus Muqaddarah, sebab tidak mungkin mengucapkan huruf Alif dengan 3 harakat tersebut.

2. Jika sebuah Isim Mu’rob diakhiri oleh huruf Yaa’ Lazimah (selalu ada dalam semua posisi) dan huruf sebelumnya ber-Kasroh, maka harakat Dhommah dan Kasrah harus Muqaddarah. Kondisi ini disebut Manqush.

Contoh: المُرتَقِي (pendaki) dan القَاضِي (hakim).

Kedua kata ini adalah Isim yang diakhiri Yaa’Lazimah, sebab Yaa’ tersebut tidak akan dibuang dalam kondisi apapun. Sehingga tanda I’rob-nya tetap menggunakan Dhommah, Fat-hah dan Kasroh pada tiga kondisi I’rob yaitu: Rofa’, Nashab dan Jarr. Akan tetapi harakat Dhommah dan Kasrah harus Muqaddarah, sebab mengucapkan huruf Yaa’ (yang didahului oleh huruf ber-Kasroh) menggunakan Dhommah dan Kasroh adalah berat di lidah bangsa Arab.

Coba ucapkan: القَاضِيُ, maka kita akan merasa kesulitan ketika mengucapkan lafazh ضِيُ, karena harakat Kasroh dan Dhommah yang berurutan tersebut membuat kita harus mengeluarkan tekanan dalam pengucapan.

Demikian pula kalau kita mengucapkan القَاضِيِ, maka kita akan merasa kesulitan ketika mengucapkan lafazh ضِيِ, karena dua harakat Kasroh yang berurutan tersebut membuat kita harus mengeluarkan tekanan dalam pengucapan dan hal ini memang berat di lidah bangsa Arab.

Bandingkan dengan mengucapkan القَاضِيَ, maka kita akan merasa ringan ketika mengucapkan lafazh ضِيَ, yang hal ini disebabkan karena harakat Fat-hah lebih mudah dan tidak memerlukan tekanan dalam pengucapan.

Hal inilah yang menyebabkan mengapa harakat Dhommah dan Kasroh saja yang harus Muqaddarah sementara harakat Fat-hah justru harus Zhahir.

3. Jika sebuah Fi’il Mu’rob diakhiri oleh huruf Alif yang berarti dalam kondisi Mu’tal Akhir, maka harakat Dhommah dan Fat-hah (sebagai tanda I’rob Rafa’ dan Nashab) harus Muqaddarah. Sementara harakat Sukun harus Zhahir.

Contoh: هُوَ يَخْشَاهَا (Dia takut padanya) dan لَنْ يَخْشَاهَا (Dia tidak akan pernah takut padanya).

Kedua Fi’il يَخْشَى di sini diakhiri oleh huruf Alif. Dan tentu saja mustahil mengucapkan harakat Dhommah dan Fat-hah di atas huruf ini dan hal inilah yang menyebabkan keduanya harus Muqaddarah.

Berbeda dengan harakat Sukun yang bisa diucapkan di atas huruf Alif. Hal ini dikarenakan huruf Alif adalah huruf Mad (huruf untuk memanjangkan pengucapan) yang cocok sekali dengan karakter harakat Sukun dalam memanjangkan pengucapan.

4. Jika sebuah Fi’il Mu’rob diakhiri oleh huruf Wawu atau Yaa’ yang berarti dalam kondisi Mu’tal Akhir, maka hanya harakat Dhommah (sebagai tanda I’rob Rafa’) saja yang harus Muqaddarah.

Contoh: هُوَ يَدْعُو (Dia menyeru) dan هُوَ يَرْمِي (Dia melempar).

Fi’il يَدْعُو di sini diakhiri oleh huruf Wawu yang tentu saja merupakan hal yang berat di lidah bangsa Arab untuk mengucapkan dua harakat Dhommah berurutan pada kata يَدْعُوُ ini. Sebab Dhommah yang terakhir memerlukan tekanan karena berada di atas huruf Wawu. Karena itu, Dhommah harus Muqaddarah.

Adapun يَرْمِي di sini diakhiri oleh huruf Yaa’ yang tentu saja berat bagi lidah bangsa Arab untuk mengucapkan Dhommah pada kata يَرْمِيُ (perhatikan lafazh مِيُ). Karena itu, Dhommah harus Muqaddarah.

Untuk harakat Fat-hah, maka harus Zhahir.

Contoh: إِنَّ القَاضِيَ لَنْ يَرْمِيَ وَلَنْ يَغْزُوَ

(Sesungguhnya sang hakim tidak akan melempar dan tidak akan berperang).

Kata-kata يَغْزُوَ dan يَرْمِيَ di sini diakhiri oleh huruf Wawu dan Yaa’, akan tetapi karena posisinya adalah Nashab (karena berada setelah harf لَنْ) yang mengharuskan Fat-hah di akhirnya, maka Fat-hah tersebut harus Zhahir, sebab pengucapannya mudah.

(Bersambung)

No comments:

Post a Comment

Terbaru

recentposts

Sementara Itu

randomposts