Al-Mu'rob dan Al-Mabni (bagian 5)

4. Jam’ul-Muannats Salim

Definisi dari Jama’ Muannats Salim adalah kata jamak untuk jenis perempuan yang selamat –dari pembentukan jamak yang tidak mengikuti kaidah-.

Maksudnya adalah tiap kata yang menunjukan bentuk jamak untuk jenis perempuan yang pembentukannya melalui kaidah pembentukan kata jamak yaitu dengan menambahkan huruf Alif dan Taa’ pada akhir kata Mufrod (tunggal).

Seperti: المُسْلِمَاتُ (orang-orang muslim perempuan) yang dibentuk dari kata المُسْلِمُ (seorang muslim) yang kemudian ditambah dengan huruf Alif dan Taa’ menjadi المُسْلِمَاتُ .

I’rob Jama’ Muannats Salim

I’rob Jama’ Muannats Salim adalah dengan Dhommah bila dalam keadaan Rafa’ sedangkan untuk Nashab dan Jarr maka menggunakan Kasroh.

Seperti firman Allah:

خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالأَرْضُ إِلاَّ مَا شَاءَ رَبُّكَ

(Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain))

Perhatikan kata السَّمَوَاتُ yang diakhiri oleh huruf Alif dan Taa’ dengan Dhommah pada akhirnya yang menunjukkan bahwa ia adalah Jamak Muannats Salim yang berada dalam kondisi Rofa’.

Jika berada dalam kondisi Nashab dan Jarr, maka tanda i’rob-nya adalah Kasroh seperti firman Allah berikut ini:

خَلَقَ اللهُ السَّمَاوَاتِ

(Allah menciptakan langit-langit).

dan firman Allah:

يَعلَمُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ

(Bertasbihlah kepada Allah apa yang ada di langit-langit dan apa yang ada di bumi).

Perhatikan kata السَّمَوَاتِ yang diakhiri oleh huruf Alif dan Taa’ dengan Kasroh pada akhirnya yang menunjukkan bahwa ia adalah Jamak Muannats Salim yang berada dalam kondisi Nashab (pada ayat yang pertama) dan Jarr (pada ayat yang kedua).

Kesimpulannya, ketentuan Dhommah dan Kasroh ini berlaku pada semua dialek suku arab apapun dengan syarat apabila Mufrod (bentuk tunggal)-nya tidak diakhiri huruf ‘Illat (Alif, Wau dan Yaa’) atau kalaupun seandainya diakhiri huruf ‘Illat -yang biasanya huruf ini dibuang pada bentuk tunggal- maka huruf ’Illat yang dibuang tersebut harus muncul pada bentuk jamak untuk bisa mengikuti aturan ini.

Contoh:

سَنَةٌ (tahun) yang di sini diakhiri huruf  ‘Illat yaitu huruf Wau yang harus dibuang pada bentuk Mufrod-nya. Sementara bentuk jamaknya adalah سَنَوَاتٌ (beberapa tahun) di mana huruf Wau yang dibuang tadi muncul kembali. Maka kata-kata ini mengikuti aturan Dhommah dan Kasroh pada Jama’ Muannats Salim.

Adapun jika ada satu kata yang berhuruf ‘Illat di akhirnya –yang biasanya huruf ini dibuang dalam bentuk tunggalnya- dan huruf ‘Illat tadi tidak muncul kembali pada bentuk jamaknya, maka ada beberapa suku arab yang mengucapkan Jama’ Muannats Salim dengan akhiran Fat-hah pada kondisi Nashab dan Jarr.

Contoh:

لُغَةٌ (bahasa), di sini diakhiri huruf ‘Illat yaitu huruf Wau yang harus dibuang pada bentuk Mufrod-nya. Sementara bentuk jamaknya adalah لُغَاتٌ (beberapa bahasa) di mana huruf Wau yang dibuang tadi tidak muncul kembali. Dalam hal ini diketahui ada beberapa suku arab yang menggunakan Fat-hah pada posisi Nashab dan Jarr, contoh: سَمِعْتُ لُغَاتَهُمْ (Aku telah dengar bahasa mereka).

Isim-isim Yang Dianggap Sebagai Jam’ul-Muannats Salim

Selain dari Jama’ Muannats Salim yang murni, ada dua hal yang dianggap termasuk dari Jama’ Muannats Salim.

Yang pertama adalah: أُوْلاَتُ (wanita-wanita pemilik) yang tidak mempunyai bentuk tunggal.

Contohnya firman Allah SWT:

وَإِنْ كُنَّ أُوْلاَتِ حَمْلٍ (dan jikalau mereka itu sedang hamil)

Yang kedua adalah Jama’ Muannats Salim apapun yang dijadikan nama tempat atau nama orang.

Contoh:

رَأَيْتُ عَرَفَاتٍ (Aku telah melihat Arafat) dan

سَكَنْتُ أَذْرِعاَتٍ (Aku tinggal di Adzri’at) yang keduanya adalah nama tempat di daerah Syam.

Maka untuk dua kata seperti ini ada beberapa variasi tanda I’rob-nya, yaitu:

  1. Ada yang menganggapnya sebagai Jama’ Muannats Salim biasa dengan tanda Dhommah dan Kasroh seperti yang kita bahas di awal tulisan ini.

  2. Ada yang menggunakan Dhommah dan Kasroh tapi tidak menggunakan Dhommatain atau Kasrotain dengan alasan meskipun aslinya adalah Jama’ Muannats Salim tapi sudah menjadi ‘Alam (nama tempat atau nama panggilan), maka mereka gabungkan dua ciri khasnya yaitu: Kasroh sebagai ciri Jama’ Muannats Salim dan tidak bertanwin sebagai ciri sebuah ‘Alam.

  3. Ada yang menggunakan Dhommah dan Fat-hah tanpa menggunakan Dhommatain atau Fat-hatain. Dengan alasan bahwa sekarang kata tersebut sudah menjadi ‘Alam yang menunjukkan Muannats dan tidak bisa menerima Tanwin, maka Nashab dan Jarr-nya adalah dengan Fat-hah sebagai ganti Kasroh sebab kata ini sudah berubah menjadi Mamnuu’ Minash Sharf (terlarang untuk ditashrif/ditanwin).


Dengan demikian kata عَرَفَات dan أَذْرِعَات di atas apabila berada pada posisi Nashab dan Jarr maka bisa dibaca:

عَرَفَاتٍ dan  أَذْرِعَاتٍatau عَرَفَاتِ dan  أَذْرِعَاتِatau عَرَفَاتَ dan  أَذْرِعَاتَ.

5. Mamnuu’ Minash Sharf

Definisi Mamnuu’ Minash Sharf atau Isim Ghairu Munsharif adalah: Isim yang tidak bisa menerima Tanwin dan Kasroh.

Maksudnya adalah Isim yang mempunyai satu atau dua sebab sekaligus dari sebab-sebab berikut ini:

  • ‘Alamiyah (berbentuk ‘Alam, yaitu: nama orang, nama tempat, nama kota, nama panggilan dan yang semacamnya).


‘Alamiyah di sini bisa dilihat dari segi wazan (timbangan/rumus)-nya dan bisa juga dari segi maknanya.

Jika dilihat dari segi wazan, ada beberapa wazan yang mengikuti aturan Mamnuu’ Minash Sharf ini. Seperti wazan مَفَاعِلُ , مَفَاعِيلُ yang memang digunakan untuk menunjukkan tempat dan jenis hewan. Juga wazan Fi’il seperti أَفْعَلَ juga wazan فُعَلُ , فَعْلانُ , فُعَيلاَنُ , فُعَيْلَةُ , فَعْلَى dan beberapa yang lain yang biasanya digunakan untuk memberi nama seseorang.

Contoh: مَسَاجِدُ (Masjid-masjid), عَصَافِيرُ (Burung-burung pipit), أَحْمَدُ (Ahmad), عُمَرُ (Umar), سَلْمَانُ (Salman), سُلَيمَانُ (Sulaiman), هُرَيرَةُ (Kucing kecil), سَلْمَى (Salma) dan yang lainnya.

Sementara jika dilihat dari segi makna, bisa kita jumpai banyak Isim yang masuk dalam jenis ini, terutama Isim serapan dari bahasa asing yang menunjukkan nama orang dan nama tempat.

Contoh: إِبرَاهِيمُ (Ibrahim), إِسْماَعِيلُ (Ismail), داَوُدُ (Dawud), مَكَّةُ (Makkah) dan yang lainnya.

Perlu diperhatikan pula, bahwa tidak semua ‘Alam termasuk dalam Mamnuu’ Minash Sharf selama wazan-nya tidak mirip dengan wazan Fi’il atau wazan-wazan yang disebut di atas.

Contoh: مُحَمَّدٌ (Muhammad) dan زَيْدٌ (Zaid) yang meskipun jelas-jelas ia adalah ‘Alam, tapi tidak terlarang menerima Tanwin dan Jarr.

Dengan demikian bisa diambil kesimpulan bahwa bersifat ‘Alam saja ternyata tidak cukup membuat sebuah Isim menjadi Mamnuu’ Minash Sharf, perlu dilihat apakah ia mirip dengan Fi’il atau tidak. Apakah ia mirip dengan wazan-wazan tersebut atau tidak.

  • At-Ta’nits (kata-kata yang mengandung makna perempuan).


Contoh: زَيْنَبُ (Zainab) dan فَاطِمَةُ (Fatimah) dan yang lainnya.

Perlu diketahui bahwa mempunyai sifat perempuan saja tidak menyebabkan sebuah Isim menjadi Mamnuu’ Minash Sharf. Akan tetapi perlu dilihat juga apakah Isim tersebut  mempunyai ciri ‘Alam yang menunjukkan nama orang atau nama tempat atau tidak.

Contoh: المُسلِمَةُ (Muslimah) meskipun mengandung makna perempuan, tapi tidak menunjukkan nama orang atau tempat, maka Isim seperti ini tidak termasuk Mamnuu’ Minash Sharf dan boleh menerima Tanwin atau Jarr.

Tanda I’rob Awal  Mamnuu’Minash Sharf

Tanda I’rob dari Mamnuu’ Minash Sharf adalah dengan Dhommah jika berada pada posisi Rafa’ dan dengan Fat-hah bila berada pada posisi Nashab ataupun Jarr.

Contoh pada posisi Rafa’:

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا ءَامِنًا

(Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdo`a: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa).

Contoh pada posisi Nashab:

وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ

(Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya.).

Contoh pada posisi Jarr:

يَاأَهْلَ الْكِتَابِ لِمَ تُحَاجُّونَ فِي إِبْرَاهِيمَ

(Hai Ahli Kitab, mengapa kamu bantah-membantah tentang hal Ibrahim)

Dari ketiga contoh di atas kita bisa memperhatikan perubahan pada kata إِبرَاهِيمُ pada semua posisi I’rob.

Lalu mengapa memakai Fat-hah pada posisi Jarr? Mengapa bukan Kasroh? Dan mengapa tidak boleh menerima Tanwin?

Para ahli bahasa menjawab bahwa semua peraturan ini adalah disebabkan karena Mamnuu’ Minash Sharf punya kemiripan dengan Fi’il.

Perlu diketahui dahulu bahwa semua wazan Fi’il diambil dari Mashdar yang berarti Fi’il adalah cabang dari Isim. Dari segi maknanya, Fi’il tidak bisa berdiri sendiri, sebab makna Fi’il adalah menunjukkan terjadinya suatu perbuatan atau tindakan yang tentu saja membuat Fi’il perlu kepada subyek atau pelaku untuk menyempurnakan maknanya yang subyeknya tentu saja adalah sebuah Isim baik itu Sharih (Jelas) atau Mashdar Muawwal (wujud Isim yang difaham dari Fi’il). Dan karena semua Fi’il tidak dapat menerima Jarr dan Tanwin, maka jika ditemukan sebuah Isim yang punya dua ciri khusus ini, maka Isim tersebut dihukumi dan dianggap seperti halnya sebuah Fi’il yang tidak bisa menerima Jarr dan Tanwin.

Dan jika kita menganalisa Mamnuu’ Minash Sharf lebih lanjut ternyata kita bisa menemukan dua ‘Illat (sebab) yang juga ada pada Fi’il, yang pertama dari segi Lafazh dan yang kedua dari segi makna.

Dari segi Lafazh, kita bisa lihat sebagian Mamnuu’ Minash Sharf diambil dari wazan-wazan Fi’il atau wazan-wazan tertentu yang punya ciri khas tidak menerima Jarr dan Tanwin seperti: أَحْمَدُ dan مَسَاجِدُ. Karena Mamnuu’ Minash Sharf diambil dari wazan-wazan ini, maka hal ini mirip dengan kondisi Fi’il yang juga diambil dari Mashdar seperti yang sudah diterangkan.

Dari segi makna, sebagian Mamnuu’ Minash Sharf ada yang merupakan kata-kata asing atau kata-kata serapan atau nama-nama orang, kota atau benda yang tentu saja untuk memahami maknanya membutuhkan pengetahuan tentang asal kata tersebut, maka hal ini mirip dengan Fi’il yang juga membutuhkan subyek atau pelaku agar si pendengar memahami maknanya.

Dari dua kemiripan ini, maka sangatlah mudah memahami mengapa Mamnuu’ Minash Sharf dihukumi seperti halnya sebuah Fi’il yang tidak bisa menerima Tanwin dan Jarr.



Tanda I’rob Pengecualian

Tanda I’rob yang mestinya menggunakan Fat-hah pada kondisi Jarr bisa kembali menjadi menggunakan Kasroh seperti layaknya Isim-isim yang lain jika Mamnuu’ Minash Sharf ini disandarkan kepada Isim yang lain alias menjadi Mudhaf.

Contoh:

لَقَدْ خَلَقْنَا الإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

(sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya).

Perhatikan kata أَحسَن yang terletak sesudah Harf Jarr yang mestinya membuat kata أَحسَنَ tersebut diakhiri Fat-hah karena berada pada posisi Jarr, akan tetapi ketika kita mengetahui bahwa kata tersebut disandarkan pada kata berikutnya (kata تَقْوِيم), maka kata أَحسن harus diakhiri oleh Kasroh.

Kondisi yang lain adalah jika Mamnuu’ Minash Sharf diawali oleh Alif Laam yang berfungsi sebagai Ma’rifat (tertentu).

Contoh:

وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

(sedangkan kamu beri`tikaf dalam mesjid).

Perhatikan kata المَسَاجِدِ yang mestinya harus menggunakan Fat-hah karena terletak setelah Harf Jarr, akan tetapi ketika diketahui bahwa kata tersebut diawali oleh Alif Laam Ma’rifat maka tanda Jarr-nya harus berubah menjadi Kasroh.

Kondisi yang lain adalah jika Mamnuu’ Minash Sharf ini diawali oleh Alif Laam yang berfungsi sebagai Isim Maushul (dengan arti yang).

Contoh:

مَثَلُ الْفَرِيقَيْنِ كَالأَعْمَى وَالأَصَمِّ وَالْبَصِيرِ وَالسَّمِيعِ

(Perbandingan kedua golongan itu (orang-orang kafir dan orang-orang mukmin), seperti orang yang buta dan yang tuli dengan orang yang dapat melihat dan dapat mendengar).

Perhatikan kata الأصمِّ yang menggunakan Kasroh pada akhirnya padahal berada dalam posisi Jarr dan Isim ini termasuk Mamnuu’ Minash Sharf, namun jika diperhatikan sejenak, maka kita akan tahu bahwa penyebabnya adalah Alif Laam yang bermakna Maushul pada awal kata tersebut.

Kondisi yang terakhir adalah apabila  diawali oleh Alif Laam Zaaidah atau tambahan.

Contoh:

رَأَيتُ الوَليدَ بنَ اليَزِيدِ مُبَارَكاً

(Aku lihat Walid Bin Yazid sebagai orang yang diberkahi)

Perhatikan kata اليَزِيدِ yang berwazan Fi’il ini namun diakhiri oleh Kasroh padahal Isim ini adalah Mamnuu’ Minash Sharf, apa sebab Isim ini kembali menggunakan Kasroh? Tentu saja karena Alif Laam Zaaidah di awal Isim ini.

Dan bila kita perhatikan semua contoh ini, maka kita bisa simpulkan bahwa Mamnuu’ Minash Sharf akan menggunakan Fat-hah sebagai tanda Jarr bila Isim tersebut mirip dengan Fi’il. Namun jika beberapa cirinya lebih mirip kepada Isim biasa, maka dihukumi seperti halnya Isim biasa yang menggunakan Kasroh sebagai tanda Jarr-nya.

(Bersambung)

No comments:

Post a Comment

Terbaru

recentposts

Sementara Itu

randomposts