Para Penemu Yang Tidak Rela

Sebagai suatu eksistensi cerdas berumur ribuan tahun, manusia telah mengalami banyak perkembangan pemikiran dan juga telah mengalami banyak penemuan-penemuan positif dalam tiap generasi kehidupannya.

Ketika pertama kali manusia menemukan batu api yang bisa dibentuk menjadi senjata pemburu, bisa dibayangkan bagaimana para manusia pra sejarah tersebut memperbaiki taraf kehidupan mereka pada hal yang sangat mendasar yaitu kebutuhan akan makanan. Mereka yang terbiasa berburu dengan melemparkan batu-batuan ke arah hewan-hewan buruan mereka yang notabene membutuhkan waktu yang lebih lama untuk membunuh, kini mereka menemukan pengalaman baru bahwa melempar suatu tombak bermata batu api tajam ke tubuh hewan-hewan tersebut jauh lebih efektif dan lebih cepat dibanding melemparinya dengan batu-batu tumpul.

Ketika pertama kali manusia menemukan bahwa benda bundar lebih mudah memindahkan benda-benda berat dibanding papan yang diseret ataupun pengungkit, bisa kita bayangkan pula bagaimana mereka memperbaiki kehidupan mereka yang tergantung pada kebutuhan alat transportasi yang lebih cepat. Mereka yang biasa menyeret atau memikul benda-benda berat di atas bahu atau menggunakan hewan peliharaan untuk memindahkannya ke tempat lain, kini mereka menemukan pengalaman baru bahwa menggelindingkan benda-benda berat di atas kayu-kayu gelondongan yang difungsikan seperti roda lebih mudah dibanding memikul atau menyeret benda-benda tersebut di atas tanah.

Begitu pula ketika pertama kali manusia menemukan teropong, lampu, radio, pesawat terbang, bahkan kertas tulis, mereka telah berhasil memperbaiki kehidupannya yang tergantung dengan alat-alat tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, baik kebutuhan primer seperti makanan dan minuman ataupun memenuhi banyak kebutuhan sekunder seperti sarana eksplorasi, transportasi, komunikasi dan lain sebagainya termasuk di dalamnya adalah kebutuhan untuk mengisi wawasan atau kebutuhan akan ilmu pengetahuan.

Allah SWT menciptakan manusia dengan insting untuk bertahan dalam kehidupan, bersaing dan juga saling menjatuhkan. Insting atau gharizah seperti inilah yang menimbulkan kemampuan manusia untuk meng-upgrade kehidupan mereka melalui generasi-generasi keturunan mereka sehingga mereka mampu menemukan cara yang lebih baik untuk melewati hidup dibanding nenek moyang mereka atau bahkan dibanding orang tua mereka sendiri. Melalui penemuan-penemuan inilah taraf hidup manusia selalu meningkat dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Manusia sering disebut sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup secara terpisah dari manusia yang lainnya. Manusia membutuhkan keahlian manusia yang lain dan berbagi keahliannya untuk memenuhi kebutuhan manusia lainnya.

Seorang pandai besi tidak dapat memenuhi kebutuhannya akan makanan jika tidak ada sang petani yang bercocok tanam dan menghasilkan hasil bumi yang bisa dikonsumsi. Oleh karena itu si pandai besi membutuhkan keahlian petani agar dia bisa bertahan hidup dan berbagi keahliannya untuk memenuhi kebutuhan sang petani akan peralatan-peralatan bertani yang terbuat dari besi karena sang petani memang tidak mampu membuat peralatan-peralatan tersebut secara mandiri.

Dalam perkembangan manusia di era-era modern, seorang manusia yang ahli dalam bidang tertentu berbagi keahliannya untuk memenuhi kebutuhan manusia yang lain begitupula sebaliknya dengan mendapatkan imbalan, entah berbentuk uang ataupun jasa.

Lalu gharizah bersaing yang selalu mengikuti dalam kehidupan manusia mulai berperan dalam merubah simbiosis mutualisme ini menjadi medan persaingan antar manusia.

Manusia-manusia modern mengembangkan jargon "Knowledge is power," dengan pengertian bahwa siapa yang menguasai pengetahuan ataupun ilmu, maka dialah yang bisa berkuasa. Entah menguasai ekonomi, teknologi, politik, ataupun menguasai manusia yang lain. Sehingga bukanlah suatu yang aneh jika kemudian manusia-manusia modern ini mengembangkan metoda yang memproteksi pengetahuan mereka agar tidak dikuasai manusia yang lain. Mereka menyebutnya Copyright, HAKI dan Hak Paten lalu membuat seperangkat undang-undang yang melindungi pengetahuan mereka akan suatu hal agar tidak bisa digunakan oleh orang lain yang bahasa sawahnya: "Tidak Rela."

Mereka tidak rela kalau ilmu yang mereka temukan dan kuasai itu digunakan oleh orang lain tanpa mereka mendapatkan keuntungan baik materi ataupun non materi. Mereka tidak rela kalau "Knowledge" yang merupakan power mereka itu digunakan oleh orang lain untuk menghasilkan power dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Kita bisa bandingkan sekarang, bagaimana nenek moyang manusia sama-sama berbagi ilmu tentang tombak batu api untuk berburu, ilmu tentang roda untuk memindahkan benda-benda berat, ilmu tentang teropong untuk melihat sesuatu dari jarak jauh, dan ilmu-ilmu yang bermanfaat yang lain. Mereka rela berbagi ilmu tersebut. Mereka rela jika "Knowledge" yang merupakan power mereka itu digunakan oleh orang yang lain dalam memnuhi kebutuhan hidup. Mereka rela yang penting semua orang merasakan manfaatnya.

Asas rela itulah yang menginspirasi banyak ilmuwan, saintis ataupun ulama' yang ahli dalam berbagai macam disiplin ilmu untuk menulis "Knowledge" mereka dalam buku-buku mereka dan mempersilahkan orang lain untuk membacanya dan mengambil manfaat dari karya-karya mereka.

Tak ada seorang dokterpun yang tak kenal Avicena alias Ibnu Sina, sang pioner kedokteran yang menulis buku Al-Qanun yang berisi banyak ilmu dan teknik kedokteran yang menjadi pilar kedokteran modern. Karya beliau ini dicetak ulang puluhan kali dalam berbagai bahasa secara terus menerus hingga 7 abad setelah kematiannya dan terus diajarkan di universitas-universitas eropa terus menerus hingga 5 abad setelah kematiannya. Suatu prestasi yang tidak pernah dilampaui oleh dokter manapun sepanjang sejarah. Namun apa yang didapatkan oleh si Avicenna? Apakah sebuah Copyright bernilai trilyunan dolar karena karyanya masih bisa dijumpai sampai zaman sekarang? Ataukah Hak Paten yang diwarisi oleh keluarganya selama ratusan tahun? Tidak sesenpun. Karena ia rela ilmu dan "Knowledge" yang ia kuasai bisa dimanfaatkan oleh orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya akan kesehatan.
Namun apa yang terjadi pada zaman sekarang?

Banyak figur bernama Benz, Honda, Daimler, Kawasaki yang menempelkan nama mereka di atas mesin temuan mereka dan tidak rela orang lain menggunakan apa yang mereka ketahui tanpa mendapatkan imbalan materi.

Figur yang lain bernama Bill Gates dan Steven Jobs juga menempelkan nama perusahaan mereka di atas software yang mereka rancang dan tidak rela jika orang lain mengambil manfaat tanpa memberikan keuntungan materiil kepada mereka.

Tidak ada lagi asa rela dalam jiwa mereka. Tidak ada lagi unsur kemanusiaan yang bersifat sosial dalam diri mereka meskipun semua sepakat bahwa mereka adalah makhluk sosial. Barangkali lebih tepat kita sebut sebagai sosial ekonomikal, yang membutuhkan dan dibutuhkan oleh orang lain sepanjang itu menghasilkan nilai ekonomis.

Tidak ada lagi figur Thomas Alfa Edison yang sebelum ia menemukan lampu, ia berjanji kepada penduduk kota untuk menerangi kota mereka dengan lampu yang akan ia ciptakan. Toh, kang Thomas tidak mendapatkan Hak Paten bernilai bilyunan dolar. Sebab kalau lampu benar-benar dipatenkan oleh kang Thomas dengan hak seumur bumi, maka kang Thomas dan anak keturunannya barangkali akan mandi intan seumur hidupnya. Padahal, di akhir hidupnya, kang Thomas hanyalah seorang pebisnis yang bangkrut meskipun ia punya "Knowledge" yang sangat luar biasa bermanfaat untuk kehidupan manusia lebih dari apa yang ditemukan oleh penemu-penemu yang tak rela itu.

Yang lebih memprihatinkan dan mengesalkan hati, ketika kaum muslimin yang mengaku ilmuwan dan mengenal agamanya secara mendalam, tiba-tiba membeo dengan apa yang dibawa oleh penemu-penemu yang tak rela tersebut.

Mereka tidak rela kalau ilmu atau karya yang mereka tulis di buku-buku mereka disebarkan dengan bebas kepada masyarakat luas tanpa mendapatkan imbalan materi lalu bahkan mereka mulai mengutuki orang-orang yang menyebarkan ilmu mereka.

Mereka lupa akan Imam Bukhari yang membuat karya ribuan kali lebih bermanfaat dari karya mereka tanpa mengharap atau mendapatkan imbalan sepeserpun. Imam Bukhari Rela bahkan bersyukur bila kaum muslimin mengambil manfaat dari karya-karyanya.

Apakah sesempit itu makna "Knowledge" yang bermanfaat?

Apakah sekedar komoditi yang bisa menghasilkan keuntungan besar?

Betapa miskinnya jiwa para penemu itu jika hanya profit-oriented semata.

Rasulullah SAW, sang pelopor kemanusiaan pernah bersabda:

"Barang siapa menunjukkan suatu kebaikan -kepada orang lain- maka ia akan mendapatkan ganjaran seperti ganjaran pelakunya tanpa dikurangi ganjaran si pelaku itu sedikitpun."

Yang kalau kita bahasakan ulang: "Barang siapa mengajarkan suatu ilmu kebaikan kepada orang lain, maka ia akan mendapatkan ganjaran seperti ganjaran orang yang memanfaatkan ilmu tersebut tanpa dikurangi ganjaran orang yang mengamalkan tadi sedikitpun."

Rasulullah SAW mengajarkan rela, lalu mengapa banyak kaum muslimin yang tidak rela?

Beberapa jam yang lalu, istri saya mendapatkan brosur penawaran pelatihan berjuluk Parenting School via email namun segera diakhiri dengan rasa kecewa karena pada akhir brosur tersebut disebutkan bahwa para peserta tidak diperkenankan mengambil rekaman apapun dari acara tersebut baik secara audio ataupun visual dengan cara apapun yang menunjukkan sikap ketidakrelaan para penemu ini jika ada kaum muslimin yang memanfaatkan dan menyebarkan ilmu temuan mereka ini tanpa memberikan kompensasi ekonomis kepada mereka.

Walhasil, kaum muslimin zaman sekarangpun sudah mulai ogah mengikuti tuntunan Rasulullah SAW untuk rela dalam masalah ilmu.

Allahlah sang pemilik ilmu dan begitu relanya memberikannya kepada manusia, lalu bagaimana mungkin seorang muslim yang hanya ditakdirkan diberi ilmu ini menjadi picik hingga tidak rela jika kaum muslimin yang lain menyebarkan ilmu mereka?

Fikirkan baik-baik...

No comments:

Post a Comment

Terbaru

recentposts

Sementara Itu

randomposts