Stop Asal Ngomong apalagi Ngomong Asal!!!


Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Q.S. Al-Israa’ 36).




Secara umum, ayat ini menjelaskan kepada kita larangan untuk mengatakan, melakukan atau mengikuti sesuatu yang belum jelas. Dengan bahasa yang lebih sederhana, ayat ini melarang seorang muslim agar tidak asal ucap, asal vonis atau sok tahu dan sebagai konsekwensinya, seorang muslim dituntut untuk obyektif dan bertanggung jawab.


Asy-Syaukani menjelaskan dalam tafsirnya bahwa makna yang seperti ini adalah makna umum dan perkara jamak yang sudah difahami masyarakat luas, meskipun beberapa ahli tafsir membatasi makna ayat ini hanya pada masalah cela-mencela, tuduh-menuduh, atau dalam masalah sumpah palsu yang menunjukkan ketidak tahuan seseorang tetapi tetap nekat untuk mengatakannya. Walaupun begitu makna yang lebih umum dan lebih luas, lebih bisa diterima daripada makna yang terbatas, hal ini untuk memperbanyak pelajaran dan faidah dari sebuah ayat, bahkan globalisasi ayat dan makna seperti ini sudah diterima dan dibukukan oleh ulama dalam ilmu Ushul Fiqh.


Asy-Syaukani menjelaskan lebih lanjut bahwa ayat ini menerangkan haramnya beramal tanpa ilmu dan tanpa landasan. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa larangan ini juga berlaku pada orang yang suka ikut-ikutan atau memprioritaskan hasil analisis akalnya lebih dari Al-Qur’an dan Sunnah.


Dalam studi keislaman memang dikenalkan bahwa kita bisa berijtihad menggunakan analisis akal kita untuk menyelesaikan satu masalah yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah dan tentu saja ijtihad tidak bisa dilakukan asal-asalan atau oleh sembarang orang, sebab bila semua orang merasa dirinya berhak untuk berijtihad, maka kemungkinan besar orang hanya akan memperturutkan hawa nafsunya lalu meninggalkan obyektifitas dalam analisa masalah. Ironisnya, itulah yang banyak terjadi dalam masyarakat kita.


Baru-baru ini seorang mantan petinju mengatakan bolehnya shalat dengan bacaan terjemahan dengan dalih tidak ada larangan yang tentu saja menjadi bahan tertawaan karena pernyataannya menunjukkan bahwa ia tidak tahu sama sekali kalau ada perintah Rasulullah SAW untuk meniru tata cara beliau dalam melakukan shalat. Kasus yang seperti ini juga sempat terjadi di Amerika ketika seorang muslimah berinisiatif mengisi khutbah jum’at lalu mengimami sholat dengan shaf yang bercampur antara laki-laki dan perempuan dengan dalih emansipasi yang artinya lebih mengedepankan akal daripada Al-Qur’an dan Sunnah.


Kasus yang lain, di Surabaya, seorang insinyur nuklir menulis buku mencoba menafsirkan ayat-ayat tentang penciptaan Adam dan kehidupan akhirat dengan akalnya lalu mencoba menjelaskan hal-hal ghaib yang sejatinya tidak bisa dijangkau akal, dan ujungnya yang terjadi bukan terungkapnya kebenaran tapi justru penyesatan umat yang semuanya berpangkal dari sikap asal bicara dan sok tahu yang dilarang oleh ayat ini.


Allah SWT berfirman dalam surah An-Nahl ayat 43: “...Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” Yang merupakan petunjuk dari Allah SWT agar kita bertanya kepada ahlinya dalam hal apa saja, baik dalam hal keduniaan ataupun masalah agama. Jika berbicara tentang bahasa, tentu kita akan merujuk kepada para sastrawan. Jika berbicara tentang suatu penyakit, tentu kita bertanya kepada dokter dan bila kita bicara masalah agama, maka sudah seharusnya kita hanya bertanya kepada ulama. Namun realitas masyarakat kita memang aneh, sering kali kita jumpai artis penghibur, insinyur, dokter bahkan mantan petinju berbicara masalah agama. Seolah-olah untuk urusan keduniaan kita harus bertanya pada ahlinya, tapi untuk urusan agama, siapa saja boleh berbicara dan tiba-tiba menjadi mujtahid yang bisa diterima begitu saja. Sebagai akibatnya, terjadilah penyesatan secara disengaja ataupun tidak.


Ulama menjelaskan bahwa seseorang baru diakui sebagai mujtahid apabila ia menguasai betul bahasa Arab, seluk beluk Al-Qur’an dan hadits dan juga cara berfikir logis yang dirangkum dalam ilmu Ushul Fiqh. Tanpa tiga hal ini, suatu analisis hanya akan menghasilkan pendapat yang kurang ajar dan menyesatkan.


Rasulullah SAW pernah memberikan arahan khusus kepada Muadz bin Jabal RA ketika mengutusnya sebagai seorang hakim, sabda beliau: “Dengan apa kamu akan memutuskan hukum?” Muadz menjawab: “Dengan kitab Allah.” Lalu Rasulullah SAW bertanya kembali: “Kalau tidak ada (dalam Al-Qur’an)?” Muadz menjawab: “Maka (aku berhukum) dengan Sunnah Rasulullah.” Rasulullah SAW bertanya kembali: “Kalau tidak ada (dalam Sunnah Rasulullah)?” Muadz menjawab: “Aku akan berijtihad dengan pemikiranku.” Demikianlah seharusnya prosedur memutuskan sesuatu dalam masalah agama, dimulai dari Al-Qur’an, Sunnah baru diakhiri dengan Ijtihad. Bukan dengan mengambil jalan pintas dengan cara melompat ke depan pintu ijtihad tanpa melihat Al-Qur’an dan Sunnah yang tentu saja cara seperti ini termasuk dalam larangan berbicara tanpa ilmu, karena pelakunya semata-mata hanya menggunakan akal dan tidak mengindahkan petunjuk Al-Qur’an dan sunnah.


Imam Malik Rahimahullah pernah ditanya puluhan pertanyaan masalah agama dan hanya menjawab 4 pertanyaan saja sementara sisanya dijawab dengan “Saya tidak tahu.” Ketika ditanya mengapa hanya menjawab “Saya tidak tahu” dan apa tidak malu dengan status mujtahid yang beliau sandang? Beliau menjawab bahwa malaikat saja tidak malu mengakui mereka tidak tahu ketika ditanya oleh Allah di hadapan Adam AS tentang nama benda-benda, lalu mengapa beliau harus malu? Sikap seperti inilah yang jarang kita jumpai di masyarakat kita. Seakan-akan kata-kata “Tidak tahu” adalah aib yang harus disembunyikan meskipun dengan cara bersikap sok tahu.


Sebenarnya kita sudah cukup punya banyak bekal dengan Al-Qur’an dan Sunnah di tangan tanpa harus mengikuti pemikiran atau ide yang dilontarkan orang yang “dituduh” sebagai mujtahid. Seorang yang benar-benar mujtahidpun apabila terlalu banyak menggunakan akalnya dikhawatirkan terjerumus dalam larangan berbicara tanpa ilmu, lalu bagaimana halnya dengan masyarakat yang membabi buta mengikuti pemikiran mereka?


Pada potongan ayat berikutnya Allah menjelaskan sebab terlarangnya berbicara dan beramal tanpa ilmu ini dengan menyatakan bahwa pendengaran, penglihatan dan hati akan dimintai tanggung jawabnya kelak di akhirat. Hal ini merupakan ancaman serius bagi orang-orang yang hanya asal bunyi, ikut-ikutan dan asal vonis tanpa dasar. Ancaman ini menjadi serius karena pertanggung jawaban ini hanya terjadi pada hari pembalasan di akherat kelak yang sudah sangat terlambat bagi siapa saja yang mau bertaubat.


Asy-Syaukani menjelaskan bahwa pemilik anggota tubuh ini akan ditanya bagaimana ia menggunakan anggota tubuhnya ini ketika masih hidup, sebab pendengaran, penglihatan dan hati hanyalah alat yang digerakkan oleh jiwa manusia, jika digunakan dalam hal yang baik dan berdasar, maka pahala akan didapatkan, dan sebaliknya, jika digunakan dalam kejelekan atau perbuatan yang tidak berdasar, maka siksa yang akan menantinya.


Tentang ibadah-ibadah atau ritual-ritual buatan manusia, Rasulullah SAW pernah bersabda: “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak kami perintahkan, maka amalan tersebut tertolak.” Sabda Rasulullah SAW ini merupakan klarifikasi bahwa kaum muslimin, baik ulama atau awamnya, tidak berhak membuat ritual keagamaan sendiri yang kemudian disandarkan dan diyakini sebagai ajaran Islam yang mendapat ganjaran pahala, sebab hal ini tentu saja melanggar larangan berbicara dan mengikuti sesuatu tanpa ilmu dan tanpa dasar.


Maka sudah sepantasnya kita introspeksi diri kita, barangkali ternyata selama ini kita melakukan, mempercayai atau mengatakan sesuatu tentang agama yang kita sendiri belum jelas ilmu dan dasarnya. Senyampang belum ditanya di akherat, Naudzubillah Min Dzalik.

No comments:

Post a Comment

Terbaru

recentposts

Sementara Itu

randomposts