An-Nakiroh dan Al-Ma’rifah (bagian 10)

Isim Isyarah (Kata Tunjuk)



Isim Isyarah untuk menunjuk suatu tempat yang jauh


Adapun untuk menunjuk suatu tempat yang jaraknya jauh, maka digunakanlah Isim-isim Isyarah berikut ini:


هُنَاكَ , هَاهُنَاكَ , هُنَالِكَ , هَنَّا , هِنَّا , هَنَتَ dan juga ثَمَّ yang semuanya berarti “di sana.”


Contoh: Firman Allah dalam surah Asy-Syu’ara ayat 64:


وَأَزْلَفْنَا ثَمَّ الآخَرِيْنَ


(Dan di sanalah Kami dekatkan golongan yang lain).


Pada contoh di atas digunakan kata ثَمَّ yang berarti “di sana.”


Perlu diketahui bahwa Isim-isim Isyarah yang digunakan untuk menunjukkan tempat yang telah disebutkan di atas tidaklah menunjukkan keharusan penggunaannya setiap kali kita ingin menunjuk suatu tempat tertentu. Sebab kita bisa saja menggunakan Isim Isyarah biasa (yaitu هَذَا dan yang sejenisnya) yang sudah disebutkan pada awal pembahasan ini karena Isim-isim Isyarah tersebut bisa digunakan untuk menunjuk benda ataupun tempat.


Sedangkan Isim-isim Isyarah yang disebutkan pada bagian terakhir dari pembahasan ini (yaitu هُنَا dan yang sejenisnya), maka ia hanya bisa digunakan untuk menunjuk suatu tempat dan tidak bisa dipergunakan untuk menunjuk suatu benda.


Contoh Isim Isyarah biasa yang digunakan untuk menunjuk suatu tempat:


هَذَا الْمَكَانُ طَيِّبُ الْهَوَاءِ(Tempat ini udaranya baik).


Kalau kita perhatikan contoh di atas, maka kita bisa temukan bahwa kata هَذَا bisa saja digunakan untuk menunjuk suatu tempat dan tidak harus kata benda saja, dan kalimat di atas mirip maknanya dengan kalimat berikut:


هُنَا طَيِّبُ الْهَوَاءِ(Di sini udaranya baik).



Al-Maushul



Definisi


Secara bahasa, Al-Maushul artinya: “Yang disambung.”


Namun yang dimaksud dalam pembahasan berikut adalah:


“Kata yang membutuhkan kata-kata penjelas ataupun kalimat penjelas yang disebut Shilah untuk menerangkan apa yang dimaksud oleh kata tersebut.”


Contoh: جَاءَ الَّذِيْ أَكْرَمَنِيْ


(Telah datang orang yang telah memuliakan aku).


Pada contoh di atas terdapat kata اَلَّذِي yang punya arti: “Yang,” di mana kata ini tidak dapat dimengerti apa atau siapa yang dimaksud bila kata-kata sesudahnya yaitu أَكْرَمَنِيْ dibuang. Namun bila kata اَلَّذِيْ dan أَكْرَمَنِيْ ini digabungkan, maka menjadi jelaslah apa atau siapa yang dimaksud, sebab arti lengkapnya adalah “Yang telah memuliakan aku.”


Dalam pembahasan ini, kata اَلَّذِيْ adalah Al-Maushul sedangkan kata-kata sesudahnya yaitu أَكْرَمَنِيْ disebut Shilah. Dengan demikian Al-Maushul pasti membutuhkan Shilah untuk memperjelas makna dirinya, yang karena penyambungan atau penggabungan inilah ia diberi nama Al-Maushul atau yang disambung (dengan Shilah). Sedangkan Shilah sendiri artinya adalah sambungan.


Al-Maushul termasuk dalam bagian Al-Ma’rifah karena setelah ditambahkan Shilah, maknanya menjadi jelas dan tertentu seperti halnya anggota-anggota Al-Ma’rifah yang lain.




Pembagian Al-Maushul


Al-Maushul terbagi menjadi dua yaitu: Harfi dan Ismi.


1.      Yang dimaksud dengan Harfi adalah: Harf yang bila digabungkan dengan Shilah-nya, maka ia bisa di-ta’wil atau bisa diungkapkan dengan suatu Mashdar yang diambil (diderivasi) dari Shilah tersebut.


Sesuai dengan namanya, maka Al-Maushul jenis ini hanya terdiri dari Harf (kata yang tidak bisa difahami maknanya bila berdiri sendiri).


Contoh: Firman Allah dalam surah Al-Baqarah 184:


وَأَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَكُمْ


(Dan kalian berpuasa lebih baik untuk diri kalian).


Pada contoh di atas terdapat potongan kalimat أَنْ تَصُوْمُوْا yang artinya: “Kalian berpuasa.” Potongan kalimat tersebut terdiri dari satu harf yaitu أَنْ sebagai Al-Maushul dan kata تَصُوْمُوْا sebagai Shilah-nya.


Untuk membuktikan bahwa أَنْ benar-benar termasuk dalam anggota Al-Maushul, maka harus di-ta’wil atau diungkapkan dalam bentuk lain yaitu dengan cara mengganti أَنْ تَصُوْمُوْاdengan Mashdar (kata dasar) yang diambil dari Shilah-nya (تَصُوْمُوْا) yaitu صِيَامٌ(Puasa) sehingga kalimat dalam ayat tersebut menjadi:


وَصِيَامُكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ


(Dan puasa kalian lebih baik untuk diri kalian).


Dari hasil ta’wil atau penggantian ini, ternyata tidak ada perubahan arti yang mencolok dari makna ayat yang sesungguhnya sebelum dilakukan ta’wil, sebab makna “Puasa kalian” tidak jauh berbeda dengan makna “Kalian berpuasa.” Maka dengan ini kita yakin dan tahu bahwa أَنْ dalam ayat di atas adalah anggota Al-Maushul.


Dari definisi yang disebutkan di atas kita juga bisa tahu bahwa tidak semua Harf bisa masuk dalam jenis Al-Maushul, sebab tidak semua Harf bisa di-ta’wil, bahkan tidak semua Harf mempunyai Shilah.


2.      Sedangkan yang disebut Ismi adalah: Isim yang bila disambungkan dengan Shilah-nya akan membuat Isim tersebut menjadi tertentu atau menjadi jelas apa atau siapa yang dimaksud oleh lafazhnya.


Contoh: Firman Allah dalam surah Az-Zumar 74:


اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ صَدَقَنَا وَعْدَهُ


(Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya kepada kami).


Pada contoh di atas terdapat potongan kalimat اَلَّذِيْ صَدَقَنَا وَعْدَهُ yang artinya: “Yang telah memenuhi janji-Nya kepada kami.” Potongan kalimat tersebut terdiri dari satu Isim yaitu اَلَّذِيْsebagai Al-Maushul, sedangkan kata-kata صَدَقَنَا وَعْدَهُ sebagai Shilah-nya.


Untuk membuktikan bahwa اَلَّذِيْ benar-benar Al-Maushul, maka kita bisa mencoba membuang Shilah-nya, lalu kita lihat, apakah makna اَلَّذِي tetap tertentu dan bisa difahami atau malah tidak tertentu dan tidak jelas apa yang dimaksud.


Ternyata bila kita buang Shilah-nya sehingga kalimat tersebut menjadi:


اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ(Segala puji bagi Allah Yang).


Kita dapati perubahan makna atau arti yang sangat mencolok, yaitu dari makna tertentu yang jelas dan mudah difahami menjadi makna yang tidak tertentu dan tidak bisa difahami. Sebab arti “Yang” tidak lagi bisa difahami maksudnya, karena si pendengar akan bertanya: “Yang apa? Yang mana? Yang bagaimana?” dan seterusnya.


Dari hasil ini maka kita bisa simpulkan bahwa اَلَّذِيْ dalam ayat di atas adalah anggota Al-Maushul, karena maknanya baru jelas dan tertentu setelah dihubungkan dengan Shilah-nya.


Tidak seperti jenis Harfi, Al-Maushul jenis Ismi ini mudah dibedakan dan mudah dihafal karena jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan seluruh Isim yang ada.


 


Al-Maushul Al-Harfi


Yang termasuk dalam Al-Maushul Al-Harfi ada 6, yaitu:


1.      أَنَّ(Bahwasannya)


Perlu diketahui bahwa Harf أَنَّ hanya bisa dihubungkan dengan Shilah yang berbentuk Jumlah Ismiyyah (Kalimat sempurna yang diawali oleh Isim), sehingga Harf أَنَّ yang disertai Jumlah Ismiyyah tersebut memungkinkan untuk di-ta’wil atau diganti dengan suatu Mashdar.


Contoh: Firman Allah dalam surah Al-Ankabut 51:


أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَى عَلَيْهِمْ


(Apakah tidak cukup bagi mereka bahwasannya Kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) sedang Dia dibacakan kepada mereka?)


Pada ayat di atas terdapat potongan kalimat أَنَّا أَنْزَلْنَا yang terdiri dari Harf أَنَّ diikuti oleh Jumlah Ismiyyah yaitu نَحْنُ أَنْزَلْنَاyang bertindak sebagai Shilah, yang karena dihubungkan dengan Harf أَنَّ tadi maka harus dirubah menjadi أَنَّا أَنْزَلْنَا.


Untuk membuktikan bahwa Harf أَنَّ di sini benar-benar Al-Maushul Al-Harfi, maka kita coba men-ta’wil-nya atau menggantinya dengan sebuah Mashdar, sehingga potongan kalimat tersebut menjadi: إِنْزَالُنَا-yang merupakan sebuah Mashdar- yang bila Mashdar ini dimasukkan ke dalam ayat tadi sebagai pengganti أَنَّا أَنْزَلْنَا, maka akan berbentuk seperti berikut ini:


أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ إِنْزَالَنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَى عَلَيْهِمْ


(Apakah tidak cukup bagi mereka hal penurunan Kami kepadamu -yaitu- Al-Kitab (Al-Quran) sedang Dia dibacakan kepada mereka?)


Yang bila kita perhatikan maknanya, maka tidak kita jumpai perbedaan mencolok dari makna asal ayat di atas dengan kalimat yang sudah dimodifikasi dengan Mashdar Muawwal (Mashdar hasil ta’wil).


Dengan demikian hal ini membuktikan bahwa أَنَّbenar-benar berfungsi sebagai Al-Maushul Al-Harfi.



(bersambung)

No comments:

Post a Comment

Terbaru

recentposts

Sementara Itu

randomposts