Shalat Tarawih 8 Dan 20 Raka'at (bagian pertama)


Oleh: Fatahillah Ibnu Hasan



Tulisan ini ditulis untuk menanggapi tulisan Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. dalam buku “Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan” dengan judul “Shalat Tarawih 8 dan 20 Raka’at” yang sedikit banyak telah menarik perhatian kami untuk mengulas lebih dalam tentang permasalahan ini.


Sebelum membaca tulisan ini, disarankan agar para pembaca menyempatkan diri membaca tulisan Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. tersebut agar mempunyai gambaran terperinci tentang masalah yang dibahas, karena kami hanya memberi tanggapan atas hal-hal yang kami rasa kurang tepat saja dan tidak mengulang kembali pembahasan beliau kecuali bila diperlukan.


Hanya Shalat Witir saja?


Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. menulis di halaman 55:


“Memang benar ada Hadis shahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan lain-lain dari Aisyah isteri Nabi seperti yang Ustadzah sampaikan tadi. Kami tidak ingin mengomentari Hadis itu, karena ia adalah Hadits shahih, sehingga tidak perlu komentar lagi. Yang ingin kami komentari adalah sikap sementara kita yang menjadikan Hadis Aisyah itu sebagai dalil shalat tarawih.


Komentar kami ada tiga hal.


1. Orang-orang yang menggunakan Hadis tersebut sebagai dalil shalat tarawih biasanya tidak membaca Hadis itu secara utuh, sehingga mungkin dapat menimbulkan kesimpulan yang berbeda. Hadis Aisyah tadi diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam al-Tirmidzi, Imam Abu Dawud, Imam al-Nasai, dan Imam Malik bin Anas. Kisahnya adalah, seorang Tabi’i yang bernama Abu Salamah bin Abd al-Rahman bertanya kepada Aisyah isteri Nabi saw tentang shalat Nabi Saw pada bulan Ramadhan. Aisyah menjawab:


مَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيْدُ فِيْ رَمَضَانَ وَلاَ فِيْ غَيْرِهِ عَلىَ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّيْ أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثاً. قَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوْتِرَ؟ فَقَالَ: يَا عَائِشَةُ، إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلاَ يَنَامُ قَلْبِيْ.


Rasulullah Saw tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan, dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat. Aisyah kemudian berkata, “Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah Anda tidur sebelum shalat witir?” Beliau menjawab, “Wahai Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, tetapi hatiku tidak tidur.”


Jadi apabila kita baca Hadis itu secara utuh, maka konteks Hadis itu adalah berbicara tentang shalat witir, bukan shalat tarawih, karena pada akhir Hadis itu Aisyah menanyakan shalat witir kepada Nabi Saw. Dan seperti kami jelaskan di depan, shalat tarawih itu adalah shalat sunnah yang hanya dilakukan pada malam-malam bulan Ramadhan. Sedangkan shalat witir adalah shalat sunnah yang dilakukan setiap malam, tidak hanya pada bulan Ramadhan.”


Tanggapan kami:


Kesimpulan Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. yang menyatakan bahwa Hadis di atas adalah mengenai shalat witir semata-mata adalah kurang tepat. Sebab Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. sendiri sudah menyebutkan bahwa hadits ini diawali oleh sebuah pertanyaan dari Abu Salamah bin Abd al-Rahman tentang shalat Nabi Saw pada bulan Ramadhan. Kalimat terakhir sengaja kami garis bawahi untuk memberi tekanan bahasan dan agar para pembaca bisa fokus pada masalah tersebut.


Agar lebih lengkap dalam membahas pertanyaan Abu Salamah bin Abd al-Rahman ini, kami akan sebutkan nash Hadis tersebut disertai dengan sanadnya sebagaimana berikut ini:


حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ سَعِيْدِ المَقْبَرِي عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ: أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ رَمَضَانَ؟ قَالَتْ مَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيْدُ فِيْ رَمَضَانَ وَلاَ فِيْ غَيْرِهِ عَلىَ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّيْ ثَلاَثاً. قَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوْتِرَ؟ فَقَالَ: يَا عَائِشَةُ، إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلاَ يَنَامُ قَلْبِيْ.


Imam Bukhari menulis dalam Kitab Shahih Bukhari yang artinya:


Telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Sa’id Al-Maqbary dari Abu Salamah bin Abdurrahman: bahwasannya ia pernah bertanya kepada Aisyah R.A. bagaimana shalat Rasulullah Saw di bulan Ramadhan? Ia (Aisyah) menjawab: Rasulullah Saw tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan, dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, maka jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat rakaat, maka jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat. Aisyah kemudian berkata, “Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah Anda tidur sebelum shalat witir?” Beliau menjawab, “Wahai Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, tetapi hatiku tidak tidur.”


Setelah membaca ulasan Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. di halaman 56, terbetiklah suatu pertanyaan kecil yang cukup menggelitik. Jika memang Abu Salamah bin Abdurrahman bertanya kepada Aisyah R.A. tentang shalat Rasulullah Saw di bulan Ramadhan, lalu apakah logis dan masuk akal kalau Aisyah R.A. kemudian menjawab pertanyaan tersebut dengan deskripsi shalat witir?


Kalau ketidakcocokan jawaban Aisyah R.A. dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Abu Salamah bin Abdurrahman seperti itu dianggap logis, masuk akal dan benar, berarti sengaja atau tidak sengaja kita telah menemukan bukti bahwa Aisyah R.A. tidak faham bahasa Arab karena dalam Hadis ini beliau jelas-jelas ditanya tentang shalat Rasulullah Saw di bulan Ramadhan, tapi jawabannya malah mengenai shalat witir seperti yang difahami dan disimpulkan oleh Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A.. Padahal semua orang sepakat bahwa Aisyah R.A adalah “asli” wanita arab yang sudah pasti lisan atau lidahnya fasih berbahasa Arab dan sudah pasti juga logika atau manthiqnya baik bahkan beliau dipuji-puji sebagai seorang wanita yang cerdas seperti yang disebutkan dalam kitab-kitab biografi. Jika faktanya demikian, berarti ada yang salah dengan kesimpulan Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. di atas.


Lalu bagaimana pemahaman yang tepat tentang Hadis ini?


Sebelum kami menjawab pertanyaan singkat di atas, ada baiknya kita fahami bahwa kebanyakan orang ketika ditanya dengan suatu pertanyaan ringkas, mereka terpancing secara otomatis untuk memberi informasi lebih dari yang ditanyakan oleh si penanya.


Ketika seorang anak kecil ditanya: “Mau ke mana?” maka bisa jadi jawaban panjang seperti: “Mau ke toko, beli permen karet” akan keluar dari mulutnya. Padahal kita tahu pertanyaan yang ditanyakan hanyalah “Mau ke mana?” yang jawabannya mestinya hanya “Mau ke toko,” hingga akhirnya timbul pertanyaan, mengapa anak tersebut juga menambahkan kalimat “Beli permen karet” sebagai jawaban?


Dalam hal ini bisa kita lihat bahwa tambahan “Beli permen karet” adalah merupakan tambahan informasi untuk si penanya yang tentunya akan menjadi hal yang salah kalau kemudian kita simpulkan bahwa si penanya sedang bertanya tentang permen karet.


Seperti yang sudah dimaklumi dalam ilmu Al-Ma'anie, penambahan informasi seperti ini lebih dikenal dengan istilah Al-Ithnaab yang mempunyai bermacam bentuk dan tujuan. Sehingga sangat wajar jika hal-hal seperti ini dijumpai dalam penggunaan bahasa Arab bahkan dalam bahasa-bahasa yang lain.


Oleh karena itu, jika kita melihat kembali jawaban yang diungkapkan Aisyah R.A. ketika beliau ditanya “Bagaimana shalat Rasulullah Saw di bulan Ramadhan?” beliau menjawab Rasulullah Saw tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan, dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat.”


Dari jawaban awal ini saja kita bisa tahu mana jawaban dari pertanyaan dan mana tambahan informasi atau Al-Ithnaab dari Aisyah R.A. Dalam hal ini pembaca pasti sepakat bahwa yang teranggap sebagai jawaban pertanyaan adalah kalimat: “Beliau shalat empat rakaat,” “Kemudian beliau shalat empat rakaat dan kalimat: “Kemudian beliau shalat tiga rakaat yang sengaja kami garis bawahi karena sesuai dengan pertanyaan “Bagaimana shalat Rasulullah Saw di bulan Ramadhan?”


Sedangkan ungkapan: “Rasulullah Saw tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan, dari sebelas rakaat.” Juga ungkapan: “dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya” adalah merupakan tambahan informasi dari Aisyah R.A. untuk si penanya. Apalagi bila kita lihat ungkapan Aisyah R.A. berikutnya: “Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah Anda tidur sebelum shalat witir?” Beliau menjawab, “Wahai Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, tetapi hatiku tidak tidur” yang jelas-jelas merupakan tambahan informasi dari Aisyah R.A. mengenai shalat witir Rasulullah Saw, sehingga tidak bisa disimpulkan sebagai jawaban dari pertanyaan sederhana Abu Salamah bin Abdurrahman tentang shalat Rasulullah Saw di bulan Ramadhan karena memang tidak cocok.


Dengan demikian ketika kita kembali pada pokok permasalahan “Apakah hadits ini berkenaan tentang shalat witir saja ataukah berkenaan tentang shalat Rasulullah Saw di bulan Ramadhan dengan perincian witir” maka kita telah mendapat jawaban jelas bahwa hadits ini berkenaan tentang shalat Rasulullah Saw di bulan Ramadhan sesuai dengan pertanyaan Abu Salamah bin Abdurrahman dan bukan semata-mata tentang shalat witir.


Masalah menjawab pertanyaan lebih dari semestinya


Lalu mengapa Aisyah R.A. repot-repot memberi banyak informasi tambahan termasuk rincian bahwa Rasulullah Saw “tidur mata” terlebih dahulu sebelum shalat witir kepada Abu Salamah?


Untuk pertanyaan di atas ada dua jawaban:


Yang pertama, seperti yang sudah kami sebutkan bahwa sudah menjadi kebiasaan orang untuk memberi informasi tambahan ketika ditanya orang lain dengan pertanyaan pendek seperti halnya analogi anak kecil yang mau beli permen karet yang dalam bahasa Arab lebih dikenal sebagai Al-Ithnaab.


Yang kedua, tindakan spontan Aisyah R.A. yang memberi jawaban lebih luas dan rinci, bermaksud menjelaskan kepada kita bahwa shalat Rasulullah Saw, baik di bulan Ramadhan ataupun di luarnya, adalah 4 rakaat-salam, 4 rakaat-salam, diikuti witir 3 rakaat-salam yang dilakukan setelah “tidur mata” yang berarti menunjukkan pula kepada kita bahwa shalat witir 3 rakaat-salam itu termasuk di dalam rangkaian kaifiyyah atau tata cara shalat Rasulullah Saw yang ditanyakan Abu Salamah tersebut.


Dari uraian ini bisa juga kita katakan bahwa meskipun jawaban dan penjelasan Aisyah R.A. lebih luas dari pertanyaannya namun masih teranggap sebagai jawaban dari pertanyaan “Bagaimana shalat Rasulullah Saw di bulan Ramadhan?” karena jawaban Aisyah R.A. sudah mencakup jawaban untuk pertanyaan tersebut.


Di kemudian hari, tata cara shalat Rasulullah Saw yang diinformasikan oleh Aisyah R.A. dalam hadits ini dipilah-pilah oleh para ulama’ menjadi dua bagian. Jika itu dilakukan di luar bulan Ramadhan diberi istilah Qiyamullail atau shalat malam alias shalat tahajjud dan jika dilakukan di bulan Ramadhan diberi istilah Qiyamu Ramadhan alias shalat tarawih.


Jika kita kembali melihat model jawaban Aisyah R.A. yang lebih luas di atas, maka kita jumpai ternyata Rasulullah Saw juga pernah menggunakan model jawaban seperti ini yang isi atau informasi yang dikandungnya lebih luas dari pertanyaan yang dilontarkan, seperti disebutkan dalam sebuah hadis shahih tentang bolehnya berwudhu dengan air laut berikut ini:


سَأَلَ رَجُلٌ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُوْلُ اللهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ الْقَلِيْلَ مِنَ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا مِنْهُ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ مِنْ مَاءِ الْبَحْرِ؟ فَقَالَ: هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ اَلْحَلاَلُ مَيْتَتُهُ (رَوَاهُ الْبُخَارِي فيِ صَحِيْحِهِ فيِ كِتَابِ الوُضُوءِ بَابِ الرُّخْصَةِ فيِ الْغُسْلِ وَالْوُضُوْءِ مِنْ مَاءِ الْبَحْرِ إِذْ مَاؤُهُ طُهُوْرٌ مَيْتَتُهُ حِلٌّ)


Seseorang bertanya kepada Rasulullah Saw maka ia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami berlayar di lautan dan kami (hanya) membawa sedikit air, maka jika kami berwudhu dengan air tersebut maka kami akan kehausan, apakah (boleh) kami berwudhu dengan air laut?” Maka beliau bersabda: “Ia (laut) itu suci airnya, halal bangkainya.” (H.S.R Bukhari).


Hadis di atas menunjukkan bagaimana Rasulullah Saw juga menjawab lebih banyak dari pertanyaan yang dilontarkan dengan sabdanya “Ia (laut) itu suci airnya, halal bangkainya.” Padahal kita tahu pertanyaannya cuma “Apakah (boleh) kami berwudhu dengan air laut?” yang mestinya Rasulullah Saw cukup menjawab “Boleh” atau “Ya,” namun jelas kita lihat bahwa Rasulullah Saw juga telah menambahkan informasi bahwa bangkai laut adalah halal yang informasi ini tidak ada kaitannya dengan pertanyaan yang dilontarkan.


Dengan demikian kita bisa simpulkan bahwa Hadis Aisyah R.A. di atas berkenaan tentang shalat malam secara umum baik itu Tahajjud ataupun Tarawih yang di dalam kedua shalat itu ada shalat witir.


Hadis Aisyah R.A. di atas juga tidak hanya khusus berbicara tentang shalat witir saja, apalagi sampai disalahfahami bahwa hadits ini menjelaskan kaifiyyah shalat witir yang terdiri dari 11 rakaat berisi 4 rakaat-salam, 4 rakaat-salam dan 3 rakaat-salam seperti yang diungkapkan Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A.


Oleh karena itu, pemahaman yang benar dari Hadis ini adalah; bahwa kaifiyyah Qiyamullail atau Qiyamu Ramadhan Rasulullah Saw adalah diawali oleh 4 rakaat-salam, 4 rakaat-salam, lalu ditutup dengan shalat witir 3 rakaat-salam seperti yang dijelaskan oleh Aisyah R.A.


Dengan kesimpulan ini kami berpendirian bahwa shalat witir hanya diawali satu takbir dan diakhiri satu salam dan bukan rangkaian beberapa shalat genap lalu ditutup satu shalat ganjil seperti anggapan bahwa rangkaian 4 rakaat-salam, 4 rakaat-salam, dan 3 rakaat-salam adalah semata-mata shalat witir seperti halnya pandangan Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A.


Witir 3 rakaat atau 11 rakaat?


Lalu mengapa hanya 3 rakaat saja yang dinamakan shalat witir sementara 8 rakaat sebelumnya tidak termasuk shalat witir?


Kami menjawab; sebagaimana para ulama’ mendefinisikan shalat dengan ungkapan:


أَقْوَالٌ وَأَفْعَالٌ مُفْتَتَحَةٌ بِالتَّكْبِيْرِ مُخْتَتَمَةٌ بِالتَّسْلِيْمِ بِشَرَائِطَ مَخْصُوْصَةٍ


Shalat adalah: “Ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang dibuka dengan takbir dan ditutup dengan salam dengan syarat-syarat yang khusus.” (Al-Fiqh ‘Alal Madzahib Al-Arba’ah 1/172).


Maka 4 rakaat-salam yang pertama dan 4 rakaat-salam yang kedua merupakan suatu shalat tersendiri karena dibuka dan ditutup dengan salam dan kedua-duanya tidak bisa disebut shalat witir karena istilah witir berarti ganjil, sedangkan angka 4 jelas-jelas bukan ganjil.


Kecuali bila dipaksakan bahwa 4 tambah 4 tambah 3 sama dengan 11 rakaat yang pasti ganjil seperti pemahaman Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. yang barangkali diambil dari suatu pemahaman atas sabda Rasulullah Saw yang disebutkan dalam Shahih Bukhari:


صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنىَ مَثْنىَ فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلىَّ رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوْتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلىَّ


Shalat malam itu dua dua, maka jika salah seorang dari kalian khawatir (akan datangnya) subuh, (hendaknya) ia shalat satu rakaat yang mengganjilkan shalat-shalat yang telah ia lakukan.


Hadis di atas menerangkan bahwa dua rakaat dua rakaat bisa diganjilkan dengan satu rakaat, maka mengapa kita tidak katakan pula bahwa empat rakaat empat rakaat bisa diganjilkan dengan tiga rakaat sehingga langsung bisa kita simpulkan bahwa witir beliau Saw adalah 11 rakaat?


Jawabannya adalah: kenyataan bahwa Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. dari awal telah berkesimpulan bahwa hadis Aisyah R.A. adalah berbicara tentang shalat witir dan bukan tentang shalat malam/Qiyamullail/Qiyamu Ramadhan. Padahal sabda Rasulullah Saw di atas, sejak dari awalnya pula sedang berbicara tentang shalat malam seperti yang sudah kami jelaskan. Oleh karena itu di sini tidak berlaku qiyas pemahaman karena perbedaan subjek pembicaraan. Hadis yang pertama dianggap masalah shalat witir, sementara yang kedua berkenaan tentang masalah shalat malam.


Yang nampak jelas adalah; bahwa istilah shalat malam yang dikenalkan oleh Rasulullah Saw pada Hadis di atas terdiri dari beberapa shalat genap dan diakhiri shalat ganjil/witir seperti variasi 2+2+2+2+2+1=11 rakaat yang dicakup maknanya oleh hadits di atas atau 4+4+3=11 rakaat sesuai variasi versi Aisyah R.A. atau 2+2+7=11 rakaat versi yang lainnya. Tapi semuanya bermuara pada kenyataan bahwa Rasulullah Saw tidak menambah lebih dari 11 rakaat seperti yang dijelaskan oleh Hadis Aisyah R.A. dan kenyataan bahwa ini adalah shalat malam, bukan shalat witir seperti yang disebutkan oleh Rasulullah Saw di awal hadis tersebut atau seperti yang ditanyakan oleh Abu Salamah kepada Aisyah R.A. yaitu “Bagaimana shalat Rasulullah Saw di bulan Ramadhan?” yang jelas-jelas bukan sedang bertanya tentang shalat witir.


Adapun istilah shalat witir dengan definisi yang berbeda yang dikenalkan Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. di halaman 56 atau pemahaman bahwa shalat witir itu bisa terdiri dari beberapa shalat genap yang ditutup satu shalat ganjil baik itu variasi 4+4+3=11 rakaat witir atau 2+1=3 rakaat witir, maka istilah ini belum kami jumpai pernah dikenalkan oleh Rasulullah Saw. Oleh karena itu, merupakan kewajiban Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. untuk menerangkan dasar dan dalil dari apa yang sudah beliau kemukakan.


Pemahaman para ulama’?


Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. menulis di halaman 57:


2. Dalam hadis tersebut Aisyah dengan tegas menyatakan bahwa Nabi Saw tidak pernah shalat lebih dari sebelas rakaat baik pada bulan Ramadhan maupun bukan Ramadhan. Shalat yang dilakukan pada malam hari sepanjang tahun, baik pada bulan Ramadhan maupun bukan Ramadhan, tentu bukan shalat tarawih. Sebab shalat tarawih hanya dilakukan pada bulan Ramadhan.


Oleh karena itu para ulama berpendapat bahwa Hadis Aisyah di atas adalah Hadis tentang shalat witir, bukan Hadis tentang shalat tarawih. Para ulama umumnya juga menempatkan Hadis Aisyah itu pada bab shalat witir atau shalat malam, bukan pada bab tentang shalat tarawih. Al-Qadhi Iyadh, Imam al-Nawawi dan lainnya juga menempatkan Hadis itu pada bahasan shalat witir. Bahkan Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Fath al-Bari mengatakan bahwa Hadis Aisyah itu menunjukkan bahwa shalat malam Nabi Saw sepanjang tahun itu jumlahnya sama. Hadis itu juga menunjukkan bahwa tidur sebelum shalat witir itu makruh. Jadi Imam Ibnu Hajar menilai bahwa hadis Aisyah itu konteksnya adalah shalat witir.


Tanggapan kami:


Karena dari awalnya Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. sudah berkesimpulan bahwa Hadis Aisyah R.A. ini berkenaan dengan shalat witir –yang sudah kami bantah dan kami dudukkan permasalahannya pada tanggapan kami di awal tulisan ini-, maka adalah hal yang sangat wajar bila pada komentar yang kedua ini beliau mencoba mempertahankan kesimpulan tersebut dengan beralasan bahwa “Shalat yang dilakukan pada malam hari sepanjang tahun, baik pada bulan Ramadhan maupun bukan Ramadhan, tentu bukan shalat tarawih. Sebab shalat tarawih hanya dilakukan pada bulan Ramadhan.”


Yang dengan mudah kita bisa luruskan bahwa memang benar bahwa shalat yang dilakukan pada malam hari sepanjang tahun, baik pada bulan Ramadhan maupun bukan Ramadhan, bukanlah shalat tarawih. Dan perlu diingat pula bahwa Aisyah R.A. dalam hadis tersebut berbicara tentang shalat malam secara umum sekaligus lengkap dan bukan tentang witir saja. Dan tidak masalah apakah itu nanti disebut qiyamullail ataupun qiyamu ramadhan, yang jelas kedua-duanya tidak pernah dilakukan Rasulullah Saw lebih dari 11 rakaat.


Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. menulis: “Oleh karena itu para ulama berpendapat bahwa Hadis Aisyah di atas adalah Hadis tentang shalat witir, bukan Hadis tentang shalat tarawih.”


Sayangnya beliau tidak menunjukkan rujukannya agar bisa kami periksa ulama-ulama mana saja yang berpendapat bahwa hadis ini hanya bicara shalat witir saja.


Beliau melanjutkan: “Para ulama umumnya juga menempatkan Hadis Aisyah itu pada bab shalat witir atau shalat malam, bukan pada bab tentang shalat tarawih.”


Pada foot note ke 12 halaman 57 disebutkan “lihat secara umum kitab-kitab dalam foot note no.11” yang setelah kami periksa beliau menyebutkan kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nasai dan Al-Muwatta’ yang setelah kami periksa 6 kitab tadi dijumpai bahwa:


1. Imam Bukhari menyebutkan Hadis ini di dalam Kitab Tahajjud Bab berdirinya Nabi Saw pada malam hari di bulan Ramadhan atau yang lainnya, Kitab Shalat Tarawih Bab keutamaan orang yang menjalankan Qiyamu Ramadhan dan Kitab Manaqib Bab bahwasannya Nabi Saw tidur matanya tapi tidak tidur hatinya.


2. Imam Muslim menyebutkan Hadis ini di dalam Kitab shalatnya orang musafir dan qasharnya Bab shalat malam dan bilangan rakaat Nabi Saw pada malam hari dan bahwasannya witir itu adalah 1 rakaat dan bahwasannya 1 rakaat adalah shalat yang sah. Dan dalam kenyataannya, Imam Muslim tidak pernah menulis sendiri judul bab-babnya, sebab seperti diungkapkan para ulama’ bahwa penulis judul bab-bab dalam kitab Shahih Muslim adalah para Syarih alias para pensyarahnya yaitu orang yang menjelaskan lebih luas Hadis-hadis Shahih Muslim seperti Imam Nawawi yang menyusun kitab Syarah Shahih Muslim.


3. Abu Dawud menyebutkan Hadis ini di dalam Kitab Shalat Bab tentang shalat malam.


4. At-Tirmidzi menyebutkan Hadis ini di dalam Kitab Bab-bab Shalat pada subbab Shifat Shalat Nabi Saw.


5. An-Nasai menyebutkan Hadis ini di dalam Kitab Qiyamullail dan Sunnah siang hari, pada Bab bagaimana witir dengan 3 rakaat.


6. Imam Malik menyebutkan Hadis ini di dalam Kitab Shalat Lail dalam Bab Shalat Nabi Saw dalam witir.


Judul-judul dan subbab-subbab yang kami sebutkan di atas justru menunjukkan bahwa para ulama menyebutkan Hadis ini sesuai proporsi dan keperluan pembahasan kitab mereka. Di mana ada yang menyebutkan Hadis tersebut dalam Kitab Shalat Malam/Qiyamullail/Tahajjud, ada juga yang menyebutkannya di dalam Kitab Shalat Tarawih/Qiyamu Ramadhan seperti yang dilakukan Imam Bukhari, juga dalam Bab Shalat Witir, bahkan hadits ini disebutkan dalam Kitab Manaqib yang biasanya berisi hadis-hadis tentang biografi Rasulullah Saw.


Kalau sudah terbukti bahwa para ulama tidak ada kecenderungan meletakkan hadis ini hanya dalam bab witir saja, maka bisakah Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. memberikan bukti bahwa para ulama tersebut hanya menempatkan hadits ini pada bab witir saja? Atau, tidakkah ini hanya klaim Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. tanpa ada dasar ilmiah?


Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. menulis: “Al-Qadhi Iyadh, Imam al-Nawawi dan lainnya juga menempatkan Hadis itu pada bahasan shalat witir.”


Yang setelah kami periksa di kitab aslinya yaitu Syarah Muslim tepatnya di juz 6 halaman 20, justru hadits tersebut disebutkan ketika berbicara tentang memperpanjang bacaan shalat malam dan bukan sedang berbicara tentang witir. Sehingga lagi-lagi hanya dijumpai klaim tanpa dasar.


Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. menulis: “Bahkan Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Fath al-Bari mengatakan bahwa Hadis Aisyah itu menunjukkan bahwa shalat malam Nabi Saw sepanjang tahun itu jumlahnya sama. Hadis itu juga menunjukkan bahwa tidur sebelum shalat witir itu makruh. Jadi Imam Ibnu Hajar menilai bahwa hadis Aisyah itu konteksnya adalah shalat witir.”


Yang setelah kami periksa di kitab aslinya yaitu Fath al-Bari tepatnya di juz 3 hal 33, kami temukan tulisan Imam Ibnu Hajar sesuai dengan yang dinukil Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. bahwa shalat malam Nabi Saw sepanjang tahun itu jumlahnya sama dan bahwa tidur sebelum shalat witir itu makruh. Namun anehnya tidak kami jumpai komentar Ibnu Hajar yang menilai hadits Aisyah R.A. ini hanya berkenaan dengan shalat witir saja seperti yang diklaim oleh Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A.


Bagaimanapun juga, kalaupun kita anggap bahwa para ulama’ yang disebutkan di atas menganggap bahwa hadits Aisyah R.A. ini hanya berkenaan tentang shalat witir saja, maka tetap saja anggapan mereka tidak bisa dipakai karena satu alasan, yaitu: bahwa anggapan tersebut tentu tidak akan cocok dengan pertanyaan Abu Salamah yang ringkas: “Bagaimana shalat Rasulullah Saw di bulan Ramadhan?” yang dijawab oleh Aisyah R.A. dengan jawaban tentang shalat malam secara umum dan lengkap yang termasuk di dalamnya ada witir.


Bagaimana mungkin para ulama’ menyimpulkan bahwa Hadis Aisyah R.A. ini hanya berkenaan tentang witir saja kalau bertentangan dengan konteks pertanyaannya?


Alhamdulillah, ternyata tidak ada satupun ulama’ yang memahami Hadis Aisyah R.A. ini hanya dalam konteks shalat witir saja kecuali Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A..


Hadis Aisyah yang lain


Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. menulis: “Untuk memperkuat kesimpulan bahwa Hadis Aisyah di atas itu adalah Hadis tentang shalat witir, bukan Hadis tentang shalat tarawih,” begitu lanjut kami, “adalah keterangan lain yang juga dari Aisyah sendiri, di mana beliau berkata:


كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً مِنْهَا الْوِتْرُ وَرَكْعَتَا الْفَجْرِ (رَوَاهُ الْبُخَارِيْ)


Rasulullah Saw shalat malam tiga belas rakaat, terdiri dari shalat witir dan dua rakaat fajar. (Riwayat Al-Bukhari).


Tanggapan kami:


Hadits tersebut memang disebutkan dalam Shahih Bukhari, namun cara menerjemahkan ala Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. inilah yang membuat makna hadits ini berbeda, sebab beliau menterjemahkan kata “ِمنهَا” dengan arti “terdiri dari” yang mengesankan bahwa shalat 13 rakaat yang beliau lakukan adalah 11 rakaat witir dan 2 rakaat fajar. Padahal kata “مِنهَا” yang jika diartikan secara harfiah mestinya diartikan “darinya” yang bermakna “di antaranya” karena kata “مِن” di sini bermakna Tab’idhiyyah (sebagian dan tidak semuanya).


Agar pembaca lebih faham, kami akan berikan analogi singkat berikut ini.


Jika kita mengatakan dalam bahasa Arab:


أَنْدُونِيْسِيَا تَتَكَوَّنُ مِنْ ثَلاَثََ عَشْرَةَ جَزِيْرَةً كَبِيْرَةً، مِنْهَا جَاوَى وَكَالِمَنتَان


Lalu diartikan:


“Indonesia terdiri dari 13 pulau besar, terdiri dari Jawa dan Kalimantan”


Maka pembaca pasti sepakat bahwa terjemahan ini kurang tepat, karena Jawa dan Kalimantan hanyalah “sebagian Indonesia” dan bukan “seluruh Indonesia.” Kecuali kalau ditambahkan “Terdiri dari Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sumatra, Bali, Irian...” dan seterusnya sampai disebut 13 pulau.


Dan jika diartikan:


“Indonesia terdiri dari 13 pulau besar, di antaranya Jawa dan Kalimantan”


Maka pembaca pasti sepakat terjemahan ini lebih tepat karena Jawa dan Kalimantan itu memang “sebagian Indonesia” dan bukan “seluruh Indonesia” dan pembicara tidak perlu menyebutkan 13 pulau secara lengkap karena memang hanya ingin menginformasikan sebagian pulau-pulau Indonesia.


Demikian pula Hadis Aisyah R.A.:


كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّيْ مِنَ اللَّيْلِ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً مِنْهَا الْوِتْرُ وَرَكْعَتَا الْفَجْرِ (رَوَاهُ الْبُخَارِيْ)


Lalu diartikan:


“Rasulullah Saw shalat malam tiga belas rakaat, terdiri dari shalat witir dan dua rakaat fajar.”


Maka pembaca pasti sepakat bahwa terjemahan ini kurang tepat, karena Witir -seperti yang sudah diisyaratkan Aisyah R.A. dan sudah kami jelaskan pada awal tulisan ini- hanyalah terdiri dari 3 rakaat, sedangkan shalat fajar hanya terdiri dari 2 rakaat, sehingga totalnya 5 rakaat, di mana 5 rakaat tersebut bukanlah “seluruh” shalat malam, karena Aisyah R.A. menyebutkan dengan jelas pada Hadis di atas bahwa ada 13 rakaat yang dilakukan Rasulullah SAW.


Kecuali kalau diakhir Hadis ini ditambahkan “Terdiri dari 4 rakaat-salam, 4 rakaat-salam, 3 rakaat witir dan 2 rakaat shalat fajar” hingga lengkap 13 rakaat, maka maknanya menjadi benar. Tetapi pembaca sudah tahu benar kenyataannya bahwa hadis ini tidak merinci 13 rakaat tersebut.


Dan jika diartikan:


“Rasulullah Saw shalat malam tiga belas rakaat, di antaranya shalat witir dan dua rakaat fajar.”


Maka pembaca pasti sepakat terjemahan ini lebih tepat karena shalat witir dan 2 rakaat fajar itu memang “sebagian shalat malam” dan bukan “seluruh shalat malam” dan Aisyah R.A. sebagai pembicara tidak perlu menyebutkan 13 rakaat itu secara lengkap karena memang beliau hanya ingin menginformasikan sebagian rakaat-rakaat shalat malam yang di antaranya ada 3 rakaat shalat witir dan 2 rakaat shalat fajar.


Pemahaman kami ini juga didukung kenyataan bahwa kata-kata “منها” ini berada dalam susunan Khabar Muqaddam + Mubtada’ Muakhkhar yang dalam bahasa Arab pada asalnya adalah berstruktur Mubtada’ + Khabar. Sehingga bila kita balik ungkapan analogi tentang Indonesia:


مِنهَا جَاوَى وَكَالِمَنتَان


Yang berstruktur Khabar Muqaddam + Mubtada’ Muakhkhar menjadi:


جَاوَى وَكَالِمَنتَان مِنهَا


Yang berstruktur Mubtada’ + Khabar, maka arti yang paling tepat adalah: “Jawa dan Kalimantan darinya” yang maksudnya “Jawa dan kalimantan termasuk dari Indonesia” tapi Jawa dan Kalimantan bukanlah “seluruh Indonesia.”


Dan akan tidak tepat kalau kita artikan dengan: “Jawa dan Kalimantan membentuk Indonesia” karena kedua pulau ini bukanlah “seluruh Indonesia.”


Demikian pula Hadis Aisyah R.A yang sedang kita bahas, kalau kita balik ungkapan:


مِنهَا الوِترُ وَرَكعَتَا الفَجرِ


Yang berstruktur Khabar Muqaddam + Mubtada’ Muakhkhar menjadi:


الوِترُ وَرَكعَتَا الفَجرِ مِنهَا


Yang berstruktur Mubtada’ + Khabar, maka arti yang paling tepat adalah: “Shalat Witir dan 2 rakaat Shalat Fajar darinya” yang maksudnya “Shalat Witir dan 2 rakaat Shalat Fajar termasuk dari Shalat Malam,” tapi bukan “seluruh Shalat Malam.”


Dan akan tidak tepat kalau kita artikan dengan: Shalat Witir dan 2 rakaat Shalat Fajar membentuk Shalat Malam karena kedua shalat ini bukanlah “seluruh Shalat Malam.”


Oleh karena itu, terjemahan yang benar secara harfiah untuk Hadis Aisyah di atas adalah:


Rasulullah Saw shalat malam tiga belas rakaat, darinya (ada) shalat witir dan dua rakaat fajar.


Yang terjemahan bebas atau terjemahan maknawinya adalah:


Rasulullah Saw shalat malam tiga belas rakaat, di antaranya (adalah) shalat witir dan dua rakaat fajar.


Sehingga makna yang diambil dari terjemahan ini adalah: bahwa Rasulullah Saw shalat 13 rakaat yang di antara 13 rakaat itu ada rakaat witir terdiri hanya 3 rakaat –seperti yang sudah diisyaratkan Hadis Aisyah R.A. yang pertama- lalu diikuti 2 rakaat shalat fajar, sehingga totalnya 5 rakaat. Lalu bagaimana dengan 8 rakaat sisanya?


Adapun 8 rakaat pertama yang tidak dijelaskan dalam Hadis ini sebagai shalat apa, maka itu adalah rangkaian shalat tahajjud seperti yang biasa dilakukan kaum muslimin yang hal ini sudah diisyaratkan oleh Hadis Aisyah R.A. yang pertama, yaitu terdiri dari 4 rakaat-salam 4 rakaat-salam.


(Bersambung)

2 comments:

  1. عن المغيرة رضي الله عنه يقول: إن كان النبي صلى الله عليه وسلم ليقوم ليصلي حتى ترم قدماه أو ساقاه. فيقال له, فيقول: أفلا أكون عبدا شكورا؟

    Al-Mughirah r.a. menuturkan bahwa Nabi Saw shalat malam sampai pecah-pecah kedua tumit atau betisnya. Ketika hal itu ditanyakan kepada beliau, beliau menjawab, “Bukankah aku ini seorang hamba yang banyak bersyukur?...

    Ustad Bagaimana dgn Penjelasan Hadist ini...??

    ReplyDelete
  2. Hadits serupa saya sebutkan di lanjutan artikel di atas (bagian kedua) lengkap dengan penjelasannya, silahkan klik: http://wp.me/pdI74-U. agar tuntas, silahkan baca hingga bagian ke-tiga (terakhir) klik di: http://wp.me/pdI74-10

    Kalau seandainya dirasa kurang, insya Allah saya update info tambahan dari para ulama'.

    ReplyDelete

Terbaru

recentposts

Sementara Itu

randomposts