Pengantar
Seiring dengan perkembangan teknologi yang membantu mempermudah manusia, seiring itu pulalah perkembangan Fiqh Islami dalam khazanah ilmiyyah kaum muslimin. Setiap kali muncul peralatan, fasilitas dan metode baru, maka para fuqaha’ pun bersegera menanggapinya agar kaum muslimin terutama kalangan awwam, bisa ittiba’ dengan hasil-hasil ijtihad dari para fuqaha’ dan ulama’nya.
Bila kita lihat perkembangan teknologi telekomunikasi pada 1 dekade terakhir, kita akan menjumpai fenomena penyempitan makna kata “jauh,” “luar negeri” dan “dunia” yang mengalami perubahan setelah perkembangan tersebut. Kata-kata tersebut tidak lagi bermakna “jauh, di luar dan luas” sebab sejauh apapun jarak antar kota di dunia ini, masih bisa dicapai dengan teknologi informasi.
Ketika orang sudah jamak melakukan hubungan jarak jauh dengan telepon SLI, SMS, internet, bahkan teleconference yang memungkinkan orang bisa melihat dan berbicara langsung dengan lawan bicaranya meskipun terpisah 20.000 kilometer jauhnya, maka tiga kata tersebut mengalami penyempitan. Dengan teknologi ini pula, kita bisa mengetahui bahwa negara di timur tengah sana sudah melakukan puasa Ramadhan, sementara di negara kita belum, sementara teknologi ini juga memungkinkan seorang lelaki menghubungi seorang perempuan yang bukan mahramnya dan tinggal di luar negeri yang ia klaim sebagai “kekasih”-nya.
Hal-hal semacam inilah yang menuntut para fuqaha’ untuk merespon dan melakukan ijtihad untuk memberikan status hukum yang pasti bagi kalangan awwam, sehingga mereka tidak asal mengikuti sesuatu yang menurut dugaan mereka bisa dan benar untuk diikuti padahal kenyataannya tidak.
Mathla’ Internasional
Salah satu permasalahan yang muncul akibat perkembangan teknologi ini adalah masalah Mathla’. Mathla’ artinya tempat terbit, yang dalam tulisan ini dimaksudkan untuk menyebut tempat atau daerah terbitnya hilal untuk menetapkan awal bulan-bulan hijriyyah terutama Ramadhan dan Syawwal.
Pertanyaan yang sering muncul sejak 1 dasawarsa terakhir adalah: Apakah dalam menentukan awal Ramadhan dan Syawwal harus digunakan Mathla’ Lokal atau Mathla’ Internasional?
Pertanyaan ini muncul disebabkan cepatnya informasi yang bisa sampai kepada kita dari seluruh penjuru dunia hanya dalam hitungan menit, bahkan detik. Artinya, jika kita bisa mengetahui bahwa di Saudi Arabia sudah terlihat hilal lewat teknologi komunikasi, mengapa kita tidak menetapkan bahwa besok sudah Ramadhan meskipun di negeri kita belum terlihat hilal? Mengapa kita dipisahkan Mathla’ Lokal, padahal kita bisa menggunakan Mathla’ Internasional?
Banyak orang berharap, dengan adanya Mathla’ Internasional maka barisan kaum muslimin bisa bersatu dan seragam, karena Mathla’ Internasional dapat digunakan untuk menentukan kapan awal Ramadhan dan kapan akhirnya secara serentak di seluruh dunia, sehingga kaum muslimin di seluruh dunia dapat memulai puasa pada hari yang sama dan mengakhirinya pada hari yang sama pula, sehingga tidak ada lagi alasan terjadi perbedaan awal Ramadhan karena perbedaan hisab dan ru’yah secara lokal karena awal Ramadhan ditentukan oleh kapan hilal terlihat di bagian manapun di bumi ini alias terlihat di Mathla’ Internasional.
Ide ini memang tidak pernah terbetik sebelum 1 dasawarsa yang lalu, sebab kala itu informasi dan berita dari seluruh penjuru dunia tidak dapat kita terima secara real time dan langsung pada saat yang sama, sehingga berita bahwa hilal telah terlihat di Mesir baru kita terima tengah malam atau bahkan dini hari menjelang subuh yang membuat ulama kaum muslimin di Indonesia terlambat untuk memutuskan dan mengumumkan awal Ramadhan kepada kaum muslimin yang menyebabkan kalangan awwam merasa punya hutang 1 hari Ramadhan.
Pada masa sekarang, seluruh kaum muslimin di Indonesia, baik yang ulama’ ataupun awwamnya, dapat melihat dan menyaksikan secara langsung dari televisi bahwa saudara-saudara mereka di timur tengah sudah mengadakan sholat tarawih dan akan berpuasa besok sabtu karena hilal sudah terlihat di negeri mereka, yang hal ini membuat kaum muslimin di negeri ini ragu dengan keputusan menteri agama bahwa besok sabtu belum ada puasa dan malam sabtu ini belum ada tarawih, karena hilal belum terlihat di Indonesia.
Mereka menjadi ragu karena perbedaan waktu antara Indonesia dengan Mesir barangkali hanya 6 jam saja. Lalu timbul pertanyaan: Mengapa kita tidak berpuasa besok sabtu dan mengapa harus menunggu ahad? Mengapa kita tidak ikut Mesir yang sudah membuktikan bahwa hilal sudah terlihat? Apakah haram puasa hari sabtu besok dan bagi yang tidak puasa sabtu besok apakah dihitung punya hutang 1 hari karena baru puasa hari ahad?
Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang harus segera dijawab oleh para fuqaha’ negeri ini. Jika tidak, maka perselisihan antar kaum muslimin akan bertambah banyak. Jika dahulu permasalahan ijtihad yang muncul hanya masalah mana yang harus dipakai? hisab atau ru’yah? Maka hari ini bertambah satu masalah lagi, yaitu: Apakah kita harus ikut Mesir dengan sistem Mathla’ Internasional ataukah kita tetap bertahan pada Mathla’ Lokal di Indonesia?
Perbedaan pendapat tentang Mathla’
Jika ditanyakan manakah yang paling tepat, antara mengikuti Mathla’ Internasional dalam menentukan awal bulan ataukah mengikuti Mathla’ Lokal? Maka akan muncul 2 pendapat, yaitu:
Wajib mengikuti Mathla’ Internasional dalam menentukan awal bulan.
Kalangan yang mencetuskan ide Mathla’ Internasional dan yang mengharuskan seluruh kaum muslimin mengikuti Mathla’ ini membawakan satu dalil, yaitu:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَضَرَبَ بِيَدَيْهِ فَقَالَ: اَلشَّهرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا ( ثُمَّ عَقَّدَ إِبْهَامَهُ فِي الثَّالِثَةِ ) فَصُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لَهُ ثَلاَثِيْنَ. (رواه مسلم).
Dari Ibnu Umar R.A. bahwasannya Rasulullah S.A.W. menerangkan Ramadhan, maka beliau memperlihatkan dengan kedua tangannya lalu bersabda: “Satu bulan itu begini dan begini dan begini,” (kemudian beliau melipat satu jempolnya pada kali yang ketiga) “Maka berpuasalah kalian semua jika melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian semua jika melihatnya (hilal), maka jika tertutupi atas kalian, maka tentukanlah baginya 30 hari.” H.R. Muslim
Hadits di atas menerangkan bahwa hitungan bulan dalam penanggalan Hijriyyah adalah 29 hari yang akan dianggap 30 hari jika hilal tidak bisa terlihat karena tertutup awan. Namun yang paling penting dari hadits di atas adalah perintah Rasulullah S.A.W kepada para shahabat untuk berpuasa dan berbuka jika melihat hilal baru dengan menggunakan perintah jamak yaitu kata صُومُوا dan أَفطِرُوا. Dan seperti yang difahami dalam ilmu Ushul Fiqh, bahwa bentuk jamak seperti ini menunjukkan bahwa perintah tersebut berlaku umum. Sehingga bisa disimpulkan bahwa, kewajiban berpuasa dan berbuka jika melihat hilal ini terkena kepada seluruh kaum muslimin di seluruh penjuru dunia tanpa mengenal Mathla’ Lokal, sebab yang berlaku hanyalah Mathla’ Internasional karena ikatan kaum muslimin tidak mungkin dipisahkan oleh batas teritorial negara atau bujur bumi.
Dan bila kesimpulan hukum ini diaplikasikan secara sederhana, maka, jika hilal baru telah nampak di Mesir pada hari jum’at malam sabtu, maka pada hari sabtu seluruh kaum muslimin baik di Mesir atau di Indonesia (yang notabene berbeda 6 jam) atau di belahan dunia mana pun harus berpuasa Ramadhan meskipun di negara atau daerah mereka belum nampak hilal baik secara ru’yah ataupun hisab berdasar perintah Rasulullah: صُومُوا لِرُؤيَتِهِ yang berlaku umum. Dan bagi yang hari sabtu tidak berpuasa karena tidak tahu kalau sudah masuk Ramadhan, maka ia dianggap hutang puasa 1 hari dan harus membayarnya di luar Ramadhan.
Wajib mengikuti Mathla’ Lokal dalam menentukan awal bulan.
Kalangan yang mendukung ide Mathla’ Lokal dan yang mengharuskan seluruh kaum muslimin mengikuti Mathla’ ini membawakan pula satu dalil, yaitu:
عَنْ كُرَيْبٍ أَنَّ أُمَّ الفَضْلِ ابْنَةَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلىَ مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ قَالَ: فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا فَاسْتَهَلَّ رَمَضَانَ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْنَا الْهِلاَلَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِيْنَةَ فِيْ آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِيْ ابْنُ عَبَّاسٍ ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلاَلَ فَقَالَ: مَتىَ رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ؟ قُلْتُ رَأَيْتُهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ قَالَ أَنْتَ رَأَيْتَهُ؟ قُلْتُ نَعَمْ وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوْا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ قَالَ لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُوْمُهُ حَتىَّ نُكْمِلَ الثَّلاَثِيْنَ أَوْ نَرَاهُ فَقُلْتُ أَفَلاَ تَكْتَفِيْ بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةِ وَصِيَامِهِ؟ قَالَ لاَ هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ . (رواه أبو داود وقال الألباني: صحيح).
Dari Kuraib, bahwasannya Ummu Fadhl bintu Harits mengutusnya untuk menemui Mu’awiyah di Syam, ia berkata: “Maka aku sampai di Syam lalu aku selesaikan urusannya (Ummu Fadhl) maka orang-orang mencari-cari hilal Ramadhan sementara aku masih di Syam, maka kami melihat hilal tersebut malam jum’at, kemudian aku sampai di Madinah pada akhir bulan (Ramadhan) lalu Ibnu Abbas menanyaiku kemudian ia ingat tentang hilal (Ramadhan), lalu ia bertanya: “Kapan kalian melihat hilal?” Aku katakan: “Aku melihatnya malam jum’at.” Ia berkata: “Engkau (sendiri) melihatnya?” Aku jawab: “Ya dan orang-orang (juga) melihatnya dan mereka berpuasa (keesokan harinya) dan Mu’awiyah (juga) berpuasa.” Ia berkata: “Akan tetapi kami (di Madinah) melihatnya malam sabtu, maka kami terus berpuasa Ramadhan hingga kami sempurnakan 30 hari atau kami melihatnya (hilal Syawwal).” Maka aku katakan: “Apakah engkau tidak cukup dengan ru’yahnya Mu’awiyah dan puasanya?” Ia berkata: “Tidak, demikianlah kami diperintah oleh Rasulullah SAW.” (H.R. Abu Dawud dan Albani berkata: shahih).
Dari riwayat di atas bisa kita simpulkan bahwa Ibnu Abbas tidak menganggap Mathla’ Internasional yang kebetulan pada tahun itu ada di Syam dan tetap berpegang pada Mathla’ Lokal yaitu kota Madinah Munawwarah meskipun perbedaan waktu antara Madinah dan Syam hanya 1 jam, sehingga beliau tetap berpuasa pada hari sabtu dan akan berhenti puasa jika melihat hilal di Madinah atau menyempurnakan bilangan menjadi 30 hari dan tidak menganggap awal Ramadhan di kota Syam yang jelas jatuh pada hari jum’at dan juga tidak menganggap bahwa penduduk kota Madinah harus membayar hutang puasa karena mereka tidak puasa pada hari jum’at.
Ibnu Abbas melakukan ini atas dasar bahwa Rasulullah SAW memerintahkan mereka untuk bertindak demikian, dengan kata lain bahwa Rasulullah SAW sendiri tidak pernah menganggap Mathla’ Internasional sebagai dasar penentuan awal Ramadhan di seluruh dunia dan justru yang dianggap hanyalah Mathla’ Lokal yang berlaku lokal untuk tiap tempat di seluruh penjuru bumi ini.
Perdebatan antara dua kelompok
Kelompok pertama membantah riwayat Kuraib ini dengan menyatakan bahwa itu hanyalah perbuatan Ibnu Abbas semata, sehingga tidak bisa dijadikan dasar karena riwayat ini Mauquf dan tidak sampai kepada Nabi SAW dan tuduhan ini dibantah oleh kelompok kedua, bahwa riwayat ini meskipun secara sanad adalah Mauquf, namun derajatnya naik menjadi Marfu’ Hukman alias secara hukum dia adalah Marfu’ dan sampai kepada Nabi SAW, dengan dasar bahwa di dalam riwayat ini terdapat isyarat yang menunjukkan bahwa Ibnu Abbas dan para shahabat yang lain diperintah oleh Rasulullah SAW untuk melakukan hal tersebut.
Dalam ilmu Mustholah Hadits, isyarat-isyarat seperti ini membuat sebuah hadits Mauquf dihukumi menjadi Marfu’ dan bisa dijadikan landasan istimbath hukum, sehingga tidak ada alasan lagi untuk menyatakan bahwa riwayat ini Mauquf dan tidak bisa dipakai.
Kelompok yang pertama juga membantah bahwa perintah صُومُوا pada hadits yang mereka bawakan adalah berlaku umum atas seluruh kaum muslimin di seluruh dunia pada saat yang sama, sehingga fihak yang menganggap lafazh صُومُوا adalah bermakna khusus dan lokal yang hanya berlaku pada satu daerah yang sempit adalah bertentangan dengan kaidah bahasa Arab dan Ushul Fiqh tentang lafazh ‘Aam, karena dalam kaidah bahasa Arab dan Ushul Fiqh disebutkan bahwa lafazh ‘Aam selalu difahami umum sampai ada dalil yang menyatakan kekhususannya.
Untuk klaim di atas, kelompok kedua membantah dengan mengatakan, bahwa makna khusus yang berlaku lokal di atas adalah makna yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW sebagai shahibusy-syari’ah (pemilik syari’at) yang hanya bisa dita’ati dan tidak bisa diganggu gugat berdasarkan pada riwayat Kuraib.
Jika Rasulullah SAW sendiri menerangkan bahwa صُومُوا hanya berlaku secara lokal dan tidak internasional, lalu mengapa kemudian ada yang memaksakan صُومُوا harus bermakna internasional? Bukankah ini menentang penjelasan shahibusy-syari’ah? Adakah penafsiran syari’ah yang lebih benar dari penafsiran Rasulullah SAW?
Kemudian untuk masalah kaidah bahasa Arab dan Ushul Fiqh yang mengharuskan adanya dalil untuk membuat makna lafazh ‘Aam menjadi Khash atau khusus, maka cukuplah riwayat Kuraib itu sebagai dalilnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kata صُومُوا pada hadits yang pertama tidak lagi bermakna ‘Aam yang harus berlaku secara internasional, karena makna tersebut sudah dijelaskan dan dirubah oleh riwayat Kuraib sehingga menjadi makna yang khusus dan hanya berlaku lokal. Dalam ilmu Ushul Fiqh, metode seperti ini lebih dikenal sebagai Al-‘Aam urida bihi Al-Khash yang artinya “Lafazh umum namun yang dimaksud adalah khusus.”
Kelompok pertama juga menyatakan bahwa: jika seandainya seluruh kaum muslimin di dunia pada masa sekarang berada pada satu khilafah di bawah pimpinan satu khalifah, maka bukankah sang khalifah hanya akan menentukan satu versi Ramadhan saja berdasar Mathla’ Internasional?
Klaim ini dijawab oleh kelompok kedua, bahwa Rasulullah SAW pada masanya adalah seorang khalifah sekaligus shahibusy-syari’ah untuk seluruh kaum muslimin di dunia dan menentukan awal bulan berdasar Mathla’ Lokal, maka adakah khalifah yang lebih pantas dicontoh dari Rasulullah SAW? Dan adakah ijtihad yang boleh dipakai jika ada keputusan Rasulullah SAW yang menggugurkannya?
Kesimpulan
Dari pemaparan yang telah lalu, dapat kita simpulkan beberapa hal:
Dalam menentukan awal Ramadhan, harus digunakan Mathla’ Lokal dan bukan Mathla’ Internasional.
Orang yang berpuasa sehari sebelum hilal Ramadhan terlihat pada Mathla’ daerahnya sendiri adalah berdosa karena telah berpuasa pada hari yang haram, kecuali puasanya bertepatan dengan hari puasa sunnah yang ia biasa melakukannya.
Orang yang berpuasa Ramadhan berdasar Mathla’ daerahnya sendiri tidak mempunyai hutang puasa 1 hari Ramadhan berdasar Mathla’ daerah yang lain.
Mudah-mudahan tulisan ini menjadi penjelasan bagi para pencari kebenaran. Amin… (Ramadhan 1427 H).
No comments:
Post a Comment