Menuju Poligini Islami

Pengantar


Dalam perkembangannya Poligami terbagi menjadi tiga bentuk; yang pertama adalah Poligini, yaitu perkawinan antara seorang pria dengan beberapa wanita sekaligus dalam satu waktu yang banyak dijumpai di berbagai lapisan masyarakat dan diakui oleh banyak agama termasuk Islam yang dalam bahasa fiqh dikenal dengan istilah Ta’addud. Bentuk yang kedua adalah Poliandri, yaitu perkawinan antara seorang wanita dengan beberapa pria sekaligus dalam satu waktu yang terkadang bisa kita jumpai sedang dipraktekkan oleh beberapa anggota masyarakat modern meskipun sangat jarang terjadi karena masyarakat secara umum akan menganggap wanita yang bersuami lebih dari satu adalah pelacur. Yang ketiga adalah Group Marriage, di mana beberapa pria menikahi beberapa wanita sekaligus dalam satu waktu.


Dalam pembahasan berikutnya hanya akan dibahas tentang bentuk-bentuk poligini dari masa ke masa dengan menyoroti berbagai aspek untuk melihat dan membandingkan antara satu aspek dengan yang lainnya dan bagaimana konsep Islam yang sebenarnya tentang poligini yang sering difahami secara absurd bahkan secara salah oleh banyak kalangan.


Poligini Masa Prasejarah Hingga Masa Jahiliyyah


Poligini sudah dikenal manusia sejak lama, dari masa nabi Ibrahim AS yang beristrikan Sarah dan Hajar yang melahirkan dua bangsa besar yaitu Yahudi dan Arab, juga nabi Ya’kub AS yang mempunyai empat orang istri yang melahirkan 12 orang anak yang kelak akan menjadi cikal bakal 12 suku Yahudi, juga nabi Dawud AS dan nabi Sulaiman AS hingga masa Rasulullah SAW.


Kisah para nabi yang beristri lebih dari satu ini memang tidak bisa dibuktikan dengan catatan-catatan sejarah masa lampau, akan tetapi bisa kita jumpai berita-berita mereka dari pengkhabaran berbagai kitab suci agama samawi termasuk Al-Qur’an.


Pada zaman jahiliyyah hingga Muhammad SAW diangkat menjadi rasul, banyak dijumpai para lelaki menikahi 10 hingga 30 orang wanita karena adat dan kebiasaan mereka memperbolehkan hal tersebut tanpa ada protes dari kalangan manapun. Kaum lelaki masa itu bahkan punya hak untuk “mewarisi” istri-istri ayahnya tanpa harus membayar mahar apapun, padahal semua tahu bahwa istri-istri ayah mereka adalah ibu-ibu tiri mereka sendiri.


Dari adat dan kebiasaan mereka tersebut terpampang jelas suatu potret kelam masyarakat jahiliyyah yang sangat merendahkan wanita ditambah dengan fakta-fakta lain yang juga membuktikan bahwa masyarakat jahiliyyah tidak hanya merendahkan wanita dengan poligini jahiliyyahnya, mereka juga rela membunuh putri mereka hidup-hidup karena merasa malu jika harus mendapatkan anak wanita. Juga fakta bahwa mereka juga tidak memberikan harta waris sama sekali kepada kaum wanita dengan dalih bahwa hanya kaum prialah yang bertempur di medan perang demi menjaga nama baik keluarga dan suku sehingga hanya merekalah yang berhak menerima waris yang mengakibatkan semakin lengkapnya penghinaan mereka terhadap kaum wanita pada masa gelap tersebut.


Poligini Masa Islamiyyah


Kemudian datanglah Rasulullah SAW membawa ajaran Islam yang sedikit demi sedikit mulai mengangkat derajat wanita dengan berbagai aturan syari’at baik secara moral ataupun secara hukum, seperti melarang para ayah mengubur putri-putri mereka hidup-hidup, juga menetapkan hak waris kepada para wanita serta membatasi poligini hingga empat orang istri saja yang semuanya bisa dijumpai dalam sabda-sabda Rasulullah SAW dan ayat-ayat Al-Qur’an yang mengatur akhlak, hukum faraidh dan pernikahan.


Sampai pada titik ini, Islam diakui sebagai agama yang adil dan bermartabat selama beradab-abad dan dikenal sebagai agama yang mengusung peradaban tinggi yang tidak hanya diakui oleh para pemeluknya, tapi juga diakui oleh pemeluk agama lain yang bersentuhan dan berinteraksi dengan kaum muslimin yang hal ini tidak lain dan tidak bukan disebabkan karena Islam berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang merupakan perwujudan Hikmah Ilahiyyah (Kebijaksanaan Tuhan).


Dengan demikian, sangatlah tidak tepat bila kemudian ada manusia yang mengaku muslim dan muslimah serta mengaku beriman kepada Allah, Rasul dan Al-Qur’an lalu memvonis bahwa Islam tidak adil karena melarang seorang ibu mengaborsi janinnya -yang merupakan pembunuhan- yang menurut mereka adalah hak wanita, karena dalam pandangan mereka wanita memiliki hak pilih untuk melahirkan atau tidak melahirkan janinnya yang konsep ini sudah dikenal secara luas oleh masyarakat barat hingga mereka membuat undang-undang yang mengizinkan seorang wanita untuk mengaborsi anaknya tanpa alasan sama sekali dengan dalih melindungi hak-hak wanita.


Ada juga kalangan kaum muslimin yang mengkritik sistem waris “satu banding dua” yang ditetapkan Islam yang menurut mereka menzhalimi wanita hingga ada seorang menteri agama pada masa lalu yang rela menyibukkan diri dalam usaha menghapus aturan syari’at ini dan menggantinya dengan sistem “sama rata” yang notabene adalah konsep barat.


Lalu yang terakhir -yang beberapa saat yang lalu sedang “panas-panasnya” dibahas berbagai media massa- adalah tuduhan bahwa sistem poligini Islami adalah sistem yang zhalim karena dianggap menyakiti hati dan merendahkan kaum wanita sehingga harus dilarang di negeri ini.


Semua tuduhan dan usaha untuk menggusur aturan syari’at ini disebabkan karena sempitnya cara pandang dan kurangnya informasi dan kajian tentang masyarakat-masyarakat jahiliyyah sebelum Islam.


Poligini Masa Jahiliyyah Modern


Islam mengatur banyak hal dalam membina rumah tangga yang baik dengan menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi suami, istri, anak-anak mereka, bahkan Islam juga menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban para mertua terhadap menantunya atau para menantu terhadap mertua mereka.


Sebagai contoh, Islam memberikan kepada suami hak seratus persen untuk mengatur dan mengarahkan istrinya, yang hak tersebut bahkan menghapus hak orang tua si istri sepanjang tidak untuk berma’shiyat kepada Allah dan juga menetapkan kewajiban dalam memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal serta tidak memarahi istri sepanjang ia mentaati suaminya.


Di sisi yang lain, Islam menetapkan hak istri untuk mendapatkan nafkah, pakaian, tempat tinggal dan hak untuk tidak dimarahi bila tetap ta’at kepada suaminya dan juga menetapkan kewajiban istri untuk ta’at kepada suami melebihi ketaatan kepada orang tuanya juga kewajiban menjaga harta benda dan rahasia suaminya bila sedang ditinggal pergi.


Aturan-aturan dalam rumah tangga ini tidak lain dan tidak bukan hanyalah untuk mempermudah terwujudnya keluarga “Sakinah mawaddah wa rahmah” yang selalu diidam-idamkan muslim dan muslimah saat akad nikah berlangsung yang bila dilihat pada lingkup yang lebih luas akan mewujudkan lingkungan masyarakat yang “Sakinah mawaddah wa rahmah” yang pada gilirannya akan mencapai tataran negara yang “Sakinah mawaddah wa rahmah.


Konsep pernikahan Islami di atas, di samping menunjukkan kesempurnaan syari’at Islam, ia juga pasti mampu mewujudkan goal atau tujuannya bila dipandang dengan kaca mata iman dan taqwa yang menempatkan manusia sebagai hamba-hamba Allah SWT yang mampu menaklukkan nafsu, syahwat dan sikap egois mereka yang seringkali merasuki manusia-manusia modern sehingga melupakan kewajiban-kewajiban mereka dalam rumah tangga atau selalu melampaui batas hak-hak mereka yang pada akhirnya menzhalimi suami atau istrinya sendiri, juga menzhalimi anak-anak mereka, bahkan menzhalimi para mertua atau para menantu.


Pada era kiwari, poligini dipraktekkan dengan prinsip-prinsip yang berbeda dari yang sudah ditetapkan oleh Islam seperti yang sudah diuraikan di atas. Kesimpulan ini berdasar pada fenomena banyaknya kaum muslimin yang mempraktekkan poligini tanpa mengetahui ilmu poligini Islami secara benar, sebab dalam konsep Islam, sebuah pernikahan adalah ibadah dan suatu ibadah harus dilandasi oleh ilmu, oleh karena itu jika kemudian seorang muslim melakukan poligini -yang notabene adalah sebuah ibadah- tanpa menguasai ilmunya, maka akan muncul anomali dan penyelewengan-penyelewengan hak bahkan kezhaliman dalam keluarga poligini tersebut.


Kita banyak jumpai seorang pria yang secara finansial sangat kekurangan, namun tetap nekat beristri tiga. Akibatnya, ia menzhalimi hak-hak istri-istrinya juga anak-anaknya karena tidak mampu memberikan nafkah yang cukup kepada mereka.


Dalam kasus yang lain, seorang pria yang bermental bejat dan hanya menuruti syahwatnya, berhasil menikahi dua atau tiga wanita sekaligus yang kemudian ia melupakan kewajibannya untuk membimbing dan mengarahkan istri-istri dan anak-anaknya karena dari awal ia adalah teladan buruk bagi keluarganya yang membuat keluarga tersebut mendapat label keluarga yang tidak sakinah, tidak mawaddah dan tidak rahmah karena dipenuhi keguncangan.


Oknum-oknum pelaku poligini asal-asalan dan tanpa ilmu inilah yang membuat potret poligini menjadi potret menakutkan hingga dibenci banyak kalangan. Padahal seandainya pernikahan-pernikahan poligini di atas dilaksanakan atas dasar “ilmu sebelum ibadah” maka pernikahan tersebut tidak akan diwarnai kezhaliman-kezhaliman dan akan terwujudlah hikmah-hikmah ilahiyyah dari syari’at poligini Islami.


Kesimpulan di atas didukung fakta bahwa masyarakat tidak mengkritik atau menghujat pernikahan poligini yang dipraktekkan Rasulullah SAW dan para shahabat beliau, juga tidak mencibir pernikahan poligini yang banyak dipraktekkan ulama’-ulama’, para kyai-kyai pesantren dan beberapa tokoh Islam pemimpin ormas Islam di negeri ini karena masyarakat memandang bahwa mereka ini adalah orang-orang yang “berilmu sebelum beribadah” sehingga mereka tidak khawatir akan terjadi kezhaliman-kezhaliman dari mereka karena mereka sudah menguasai ilmu poligini Islami dengan baik.


Menzhalimi Versus Mengangkat Derajat


Telah terbukti dalam sejarah bahwa Islam mengangkat derajat wanita dari kondisi “keterkungkungan yang ekstrim” di masa jahiliyyah klasik ke posisi “kehormatan Islami” di bawah naungan ridha Ilahi dengan memberikan hak-hak mereka secara proposional. Bahkan di hadapan putra-putrinya, perintah seorang ibu ditempatkan 3 kali lipat lebih tinggi dibandingkan perintah seorang ayah.


Pertanyaannya sekarang, setelah ditempatkan dalam posisi “kehormatan Islami” seperti ini, haruskah wanita kemudian ditempatkan pada posisi “kebebasan yang ekstrim” ala jahiliyyah modern? Haruskah wanita disamaratakan dengan pria dalam segala hal?


Bila anda menggunakan kaca mata akal dan nafsu, maka anda akan menjawab “Ya” dan mendukung emansipasi wanita dalam segala hal. Namun bila anda menggunakan kaca mata iman dan taqwa, maka anda pasti akan mengatakan “Tidak” dan membela hak prerogatif Allah dalam mengatur alam semesta.


Perbedaan kaca mata inilah yang membuat perbedaan pandangan hingga timbul kesimpulan bahwa aturan-aturan Allah yang tertuang dalam sistem poligini Islami dan juga sistem waris Islami adalah kezhaliman atas wanita, karena menurut kaca mata akal dan nafsu, wanita harus sama benar dengan pria. Kalau pria boleh berpoligini, mengapa wanita tidak boleh berpoliandri? Kalau pria mendapat 2 bagian waris, mengapa wanita tidak? Kalau pria boleh jadi pemimpin, mengapa wanita tidak?


Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tentu tidak akan timbul bila yang digunakan adalah kaca mata iman dan taqwa ditambah dengan pengetahuan yang lebih luas tentang sejarah poligini dan sistem waris sebelum Islam juga tentang perbedaan mendasar antara pria dan wanita.


Dari paparan bentuk-bentuk poligini juga sistem waris sebelum masa Rasulullah SAW, kita bisa lihat jelas bahwa Islam datang untuk mengangkat derajat wanita dan tidak untuk menzhalimi mereka lebih jauh. Sebaliknya, justru ide emansipasi mutlak inilah yang sekarang sedang menzhalimi wanita karena ide ini menempatkan wanita pada posisi yang setara dengan pria dalam segala hal padahal secara fisik dan psikologis kaum wanita tidak mampu menanggung beban tanggung jawab sebesar itu. Sebab hak poligini yang diberikan kepada suami dibarengi dengan beban untuk membuahi banyak istri, sementara hak waris “dua banding satu” selalu disertai beban untuk memberi nafkah istri dan anak-anak, juga hak untuk menjadi pemimpin selalu disertai beban untuk membimbing dan melindungi.


Untuk membuktikan hipotesa di atas, kita bisa mengujinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang mesti dijawab dengan jujur dan tanpa tendensi pemaksaan kehendak seperti: “Adakah satu wanita pun yang secara fisik mampu membuahi para pria hingga layak melakukan poliandri? dan adakah satu wanita pun yang mampu melindungi pria dari bahaya dan membimbing pria dalam arti yang sebenar-benarnya sehingga layak diberi hak menjadi pemimpin? dan adakah satu wanita pun yang secara naluri selalu merasa berkewajiban untuk memberi nafkah kepada suami dan anak-anaknya sehingga layak mendapat bagian sama rata dalam sistem waris?”


Dari jawaban-jawaban jujur yang timbul akan nampak jelas konsep apa yang sedang menzhalimi wanita -karena memaksa mereka menanggung beban yang mereka tidak bisa emban- dan konsep apa yang sedang mengangkat derajat wanita -karena meletakkan wanita pada posisinya secara proporsional-.


Monogami Versus Poligini


Pandangan sempit kalangan anti-poligini terhadap konsep poligini Islami bisa dimaklumi karena mereka hanya membandingkan poligini Islami dengan potret monogami yang selalu digembar-gemborkan dunia barat sebagai satu-satunya model pernikahan ideal hingga mereka lupa membandingkannya dengan sistem poligini bebas yang penuh kezhaliman yang diterapkan masyarakat jahiliyyah pada masa lampau. Oleh karena itu, sangatlah wajar bila vonis mereka atas poligini Islami adalah vonis yang timpang karena berdasar pada pandangan yang sempit.


Kalau kita mau jujur, konsep monogami -yang diyakini banyak kalangan sebagai yang terbaik- sebenarnya membawa ekses negatif yang tidak disadari karena konsep monogami selalu dan wajib disertai konsep “kesetiaan pasangan” yang merupakan konsep wajib ciptaan barat yang tidak dikenal dalam Islam.


Dalam ajaran Islam, kesetiaan istri adalah hak suami karena istri menempati posisi orang yang dipimpin yang membuatnya harus tetap setia di belakang sang suami selama sang suami tidak mengajak kepada perbuatan ma’shiyat. Bila kemudian sang istri melanggar kesetiaan tersebut, maka pernikahan tersebut akan hancur berantakan dan berakhir dengan perceraian.


Di sisi yang sebaliknya, kesetiaan suami hanyalah untuk Rabbnya dan bukan hak istri, karena dalam pernikahan Islami para suami diposisikan sebagai pemimpin yang bila kemudian ia memindahkan kesetiaan hakikinya dari Rabb kepada istrinya, maka akan tidak jelaslah siapa yang memimpin dan siapa yang dipimpin sehingga pernikahan tersebut ibarat sebuah kapal dengan dua nahkoda yang membuat pernikahan tersebut tidak punya tujuan jelas. Lebih jauh, bila suami sudah memindahkan kesetiaannya untuk taat kepada Allah lalu menyerahkannya kepada istri, maka yang akan muncul adalah bibit-bibit syirik yaitu menyekutukan Allah dengan istrinya sendiri dalam hal kesetiaan yang merupakan ma’shiyat terbesar yang terlarang.


Dari sisi yang berbeda, kita bisa melihat bahwa monogami menutup kesempatan banyak wanita untuk dipimpin pria shalih dan unggul, karena monogami tidak memperkenankan seorang istri untuk berbagi suami yang shalih dan unggul ini dengan wanita lain. Dan karena semua sepakat bahwa pria-pria shalih ini sedikit jumlahnya, maka haruskah para wanita yang tidak beruntung merelakan dirinya dipimpin pria-pria fasik yang membahayakan kehidupannya lalu kehilangan kesempatannya untuk dipimpin dan dibimbing oleh para pria shalih karena stok pria-pria shalih ini sudah habis karena aturan monogami?


Sistem monogami juga membuat perselingkuhan tumbuh subur, karena pria pada dasarnya adalah makhluk poliginis yang dari kemampuan reproduksinya saja bisa terlihat bahwa mereka mampu menghasilkan jutaan sel sperma dalam sekali hubungan seksual sementara wanita hanya menghasilkan satu sel telur saja dalam sekali siklus haidnya. Bahkan secara seksual pun pria bisa mengalami syahwat berkali-kali lebih banyak dari yang dialami wanita dalam sehari. Maka jangan salahkan para pria fasik bila mereka nekat berselingkuh karena dipaksa bermonogami yang membuat mereka tidak bisa menyalurkan syahwatnya secara legal.


Suami milik istri?


Banyak orang beranggapan bahwa istri adalah mutlak milik sang suami dan suami adalah mutlak milik istri. Anggapan ini terlahir sebagai sub konsep dari konsep “kesetiaan pasangan” ala barat yang tidak hanya dianut oleh masyarakat barat saja, tapi juga dianut oleh masyarakat timur bahkan dianut juga oleh sebagian besar kaum muslimin yang pada gilirannya anggapan ini terbukti telah mendorong masyarakat untuk mencap para wanita yang menjadi istri kedua sebagai orang yang telah mengambil “hak milik orang lain.”


Bila kita bandingkan anggapan ini dengan ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka kita akan jumpai bahwa anggapan tersebut adalah anggapan yang salah yang dibangun atas konsep yang salah pula. Sebab dalam Islam dikenalkan konsep yang sangat bertolak belakang dari anggapan umum di atas.


Dalam Islam seorang istri adalah hak dan milik suami selama tidak terjadi perceraian dan selama suami tidak mengajak ma’shiyat, sementara suami adalah hak dan milik Allah secara mutlak dan bukan hak ataupun menjadi milik istri.


Pada uraian yang telah lalu disebutkan bahwa dalam Islam, istri hanya mempunyai 4 hak saja, yaitu: sandang, pangan dan papan serta tidak dimarahi bila selalu taat kepada suami. Dan bila kita perhatikan keempat hak ini, tidak ada disebutkan bahwa istri berhak memiliki suaminya sehingga berhak untuk melarang atau memerintahnya.


Oleh karena itu dalam Islam tidak pernah ada anggapan bahwa seorang wanita yang menjadi istri kedua berarti telah mengambil “hak milik orang lain” sebab seorang pria pada hakekatnya bukanlah milik istri yang pertama, kedua atau ketiga karena seorang pria pada dasarnya adalah milik Allah semata.


Konsep Islam di atas akan mudah difahami dan dipatuhi oleh kaum mu’minin yang selalu melaksanakan perintah Allah dan rasul-Nya tanpa banyak tanya karena dasar ketaatan mereka adalah Iman hingga hasil positif yang akan timbul adalah: bahwa seorang istri shalihah akan bersikap biasa-biasa saja melihat suaminya menikah lagi karena memang ia sadar bahwa suaminya adalah milik Allah SWT dan sikap ini sudah terbukti dimiliki istri-istri Rasulullah SAW, juga istri-istri para shahabat, para ulama’, para kyai bahkan sudah dimiliki Teh Ninih istri pertama da’i kondang Aa’ Gym.


Adapun kalangan yang anti-poligini, tentu menganggap konsep ini sebagai konsep penindasan pria atas wanita yang harus diganyang dan dihapus, karena mereka bertekad menyetarakan pria dan wanita secara mutlak agar tidak terjadi penindasan gender dan hal ini sangat wajar karena mereka menggunakan kacamata akal yang jelas-jelas terbatas dan juga kacamata nafsu yang selalu ingin dipuaskan.


Adil dalam poligini


Adil adalah salah satu tindakan yang harus dilakukan dalam berpoligini, meskipun adil bukan merupakan syarat sahnya pernikahan poligini. Sebagaimana diisyaratkan oleh Rasulullah SAW:


مَنْ كَانَ لَهُ اِمْرَأَتَانِ يَمِيْلُ لإِحْدَاهُمَا عَلىَ الأُخْرَى جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَدُ شَقَّيْهِ مَائِلٌ (النسائي)


Barangsiapa mempunyai dua istri (yang ia) condong kepada salah satu dari keduanya atas yang lainnya, (maka ia akan) datang pada hari kiamat (dalam keadaan) salah satu pundaknya miring.” (H.S.R. An-Nasai).


Pada hadits di atas terdapat ancaman bagi orang yang berbuat tidak adil di antara dua orang istrinya. Namun dalam hal apakah sebenarnya suami harus bertindak adil? Ternyata adil yang dimaksud adalah adil secara fisik dan materi seperti adil dalam pembagian giliran dan nafkah.


Adapun masalah cinta dan rasa sayang yang bertempat di dalam hati, maka tidak ada keharusan untuk berbuat adil dalam hal-hal tersebut, sebab tidak mungkin seorang suami berbuat adil dalam masalah hati meskipun berusaha sekuat tenaga. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an:


وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوْا أَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيْلُوْا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوْا وَتَتَّقُوْا فَإِنَّ اللهَ كَانَ غَفُوْرًا رَحِيْمًا


Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa 129).


Dari ayat di atas jelaslah sudah bahwa suami tidak akan bisa adil dalam masalah cinta dan kasih sayang yang tempatnya ada di hati, sebab hati sepenuhnya ada di tangan Allah, seperti disebutkan dalam firman-Nya:


وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ يَحُوْلُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ


Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya.” (Al-Anfaal 24).


Karena “Allah membatasi antara manusia dan hatinya,” maka Allah-lah yang menguasai hati manusia, sehingga seorang manusia merasa bahwa imannya terkadang menguat dan terkadang melemah atau merasa dalam hatinya terkadang timbul rasa cinta pada istrinya dan terkadang timbul rasa benci. Kalau demikian halnya, bagaimana mungkin suami bisa adil dalam masalah hati?


Dengan bijaknya Rasulullah SAW mencontohkan kepada kaum muslimin, seperti disebutkan dalam satu riwayat:


عَن عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَسِّمُ بَيْنَ نِسَائِهِ فَيَعْدِلُ ثُمَّ يَقُوْلُ: (اَللَّهُمَّ هَذَا فِعْلِيْ فِيْماَ أَمْلِكُ فَلاَ تَلُمْنِيْ فِيْماَ لاَ أَمْلِكُ) (صحيح ابن حبان)


Dari Aisyah R.A. ia berkata: “Adalah Rasulullah SAW membagi untuk istri-istrinya maka beliau berbuat adil, kemudian bersabda: “Ya Allah, inilah perbuatanku pada apa yang aku miliki (nafkah & giliran), maka janganlah Engkau mencelaku pada apa yang aku tidak memilikinya (hati).” (H.S.R. Ibnu hibban).


Dengan demikian tidaklah benar seorang suami harus benar-benar adil dalam masalah cinta dan rasa sayang, karena hal tersebut adalah hal yang mustahil yang dalam masalah ini Al-Qur’an telah memberikan solusi serta petunjuk agar seorang suami tidak terlalu condong kepada salah satu istrinya yang lalu menyebabkan dirinya berbuat zhalim dalam masalah giliran dan nafkah.


Racun Feminisme


Feminisme lahir dari ketidakpuasan para wanita barat yang merasa terkungkung dengan aturan dan norma masyarakat yang membatasi mereka atau bahkan memposisikan mereka menjadi makhluk nomor dua setelah pria. Bagi wanita modern, gerakan feminisme dianggap mampu membebaskan wanita dari segala hal yang berbau pengungkungan atas wanita dan mampu menyamaratakan hak mereka dengan kaum pria, karena fakta membuktikan bahwa para wanita adalah manusia juga sehingga tidak seharusnya dikungkung dan dinomorduakan di bawah pria.


Logika yang menarik ini tidak hanya diiyakan oleh para wanita tapi juga diiyakan oleh kaum pria, yang bila kita telusuri terus maka kita akan temukan tujuan sebenarnya dari gerakan ini, yaitu membebaskan wanita dan memposisikannya dalam “kebebasan yang ekstrim.”


Terkait dengan pembahasan ini, feminisme ternyata tidak hanya menyerang poligini Islami yang mempunyai kesan merendahkan wanita, namun feminisme juga menyerang monogami bahkan menyerang lembaga perkawinan versi apapun, sebab perkawinan -baik monogami ataupun poligami- semuanya dianggap telah menempatkan wanita pada posisi pengikut pria –sebagai pemimpin rumah tangga- yang berarti memposisikan wanita pada tempat yang lebih rendah dari pria.


Kalau logika ini terus kita turuti, maka akan muncul di benak kita bayangan sebuah masyarakat tanpa lembaga pernikahan, yang masyarakat ini mengizinkan wanita berhubungan seks dengan siapa saja, kapan saja dan di mana saja tanpa harus menikah. Sebab, jargon feminisme adalah membebaskan para wanita dari kungkungan pria termasuk kungkungan pernikahan.


Oleh karena itu tak heranlah kita bila banyak wanita modern di Amerika dan Eropa lebih memilih hidup seatap dengan pria yang dicintainya hingga melahirkan beberapa anak tanpa ikatan pernikahan karena ia tidak mau terkungkung dengan aturan pernikahan. Kalau ini dibiarkan terus, barangkali pada masa yang akan datang akan kita jumpai para wanita yang tidak bersedia melahirkan dan mengurus anak dengan dalih bahwa hal itu adalah sebuah kungkungan yang membuat mereka tidak bisa sederajat dengan pria. Kalau kondisi ini berlanjut, maka konsep yang dibangun feminisme ini akan mengancam eksistensi spesies manusia dan ini terbukti dengan menurunnya angka kelahiran di beberapa negara Eropa karena mereka beranggapan bahwa mempunyai anak adalah kungkungan dan beban.


Melarang poligini dengan demokrasi


Beberapa kalangan berusaha menghapus poligini Islami dengan dasar banyaknya ungkapan kekhawatiran para wanita tentang praktek poligini di negeri ini yang dibuktikan dengan banyaknya SMS yang masuk ke lembaga kepresidenan untuk melarang praktek poligini. Mereka menganggap bahwa SMS-SMS ini adalah suara rakyat banyak dan karena negara ini berprinsip demokrasi maka tuntutan tersebut harus dituruti dengan mengeluarkan larangan praktek poligini Islami.


Berkaitan dengan masalah ini, Allah SWT sudah mengingatkan kita melalui firman-Nya:


وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ إِنْ يَتَّبِعُوْنَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلاَّ يَخْرُصُوْنَ


Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (Al-An’am 116).


Adalah hal yang dimaklumi bahwa suara mayoritaslah yang akan menang dalam alam demokrasi dan akan selalu dituruti, sementara suara minoritas -meskipun itu kebenaran Ilahi- terpaksa harus minggir. Artinya; jika mayoritas penduduk Indonesia ingin seks bebas dan pelacuran dilegalkan, maka pemerintah tidak bisa melarang hal tersebut demi terjaganya demokrasi. Begitupula jika wanita-wanita Indonesia ingin poligini Islami dilarang, maka pemerintah juga hanya bisa menurut demi tegaknya demokrasi. Padahal tidak selamanya suara mayoritas yang kita turuti berada di atas kebenaran, sebab suara mayoritas yang tidak bersandar kepada wahyu Ilahi, maka itu adalah murni persangkaan akal dan nafsu manusia yang pasti menyesatkan.


Penutup


Setelah paparan ringkas dari berbagai segi, kita akhirnya bisa melihat sesuatu yang lebih prinsipil untuk direnungkan sebagai manusia yang mengaku beriman. Jika kaum muslimin dan muslimat melihat poligini Islami dengan kaca mata iman yang selalu “Sami’na wa atha’na” (kami dengar dan kami patuh), maka fihak yang menolak poligini akan melihat hal yang sama dengan kaca mata akal dan nafsu yang selalu “Sami’na wa ashayna” (kami dengar dan kami langgar), alias “Kalau aturan wahyu itu enak menurut akal kami, maka akan kami laksanakan dan kalau tidak, akan kami cari cara untuk menentang dan menghapusnya.” Sehingga jelaslah siapa yang berdiri di koridor iman dan siapa yang berdiri di koridor akal-sentris.


Oleh karena itu, bagi muslim ataupun muslimah yang tidak mau berpoligini, maka “Laa kurha ‘alaikum” alias tidak ada paksaan untuk melaksanakannya karena memang tidak semua orang menguasai ilmu poligini Islami dengan baik apalagi lalu mampu untuk melaksanakannya.


Sedangkan bagi muslim atau muslimah yang menentang poligini dan berniat melarangnya, maka ingatlah bahwa syari’at poligini termaktub dalam Al-Qur’an, yang bila anda menentang poligini, maka sama saja dengan menentang salah satu ayat Al-Qur’an, dan barang siapa yang menentang salah satu ayat Al-Qur’an maka berarti ia telah melakukan kekufuran yang menyebabkan tercabutnya rukun iman yang ketiga yaitu iman kepada kitab-kitab Allah yang pada gilirannya akan mengakibatkan batalnya Syahadat anda. Jadi berhati-hatilah…


 

No comments:

Post a Comment

Terbaru

recentposts

Sementara Itu

randomposts