Shalat Tarawih 8 Dan 20 Raka'at (bagian ketiga - habis)

Oleh: Fatahillah Ibnu Hasan

Tiga Dalil

Pada halaman 66-70 Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. mengungkapkan 3 dalil yang menunjukkan bolehnya tarawih dengan jumlah rakaat yang tidak terbatas, meskipun beliau memberi judul yang lebih khusus yaitu “Tiga Dalil Tarawih 20 rakaat.”

Tiga dalil tersebut yang pertama adalah, adanya Hadis shahih yang tidak membatasi jumlah rakaat shalat tarawih, yaitu:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Yang kedua, Hadis mauquf yang meriwayatkan bahwa Ubay bin Ka’ab R.A. mengimami shalat tarawih 20 rakaat. Dan karena Hadis mauquf itu statusnya sama dengan Hadis marfu’ apabila tidak berkenaan dengan masalah ijtihadiyyah, maka Hadis Ubay bin Ka’ab R.A. ini teranggap marfu’ karena berkenaan dengan masalah ibadah yang tentu bukanlah masalah ijtihadiyyah.

Yang ketiga, Ijma’ shahabat.

Tanggapan kami:

Tentang dalil yang pertama, ada dijelaskan dalam ilmu Ushul Fiqh bahwa nash yang menunjuk kepada suatu makna yang tidak bisa ditentukan apa maksudnya kecuali dengan suatu penentu disebut sebagai nash yang Mujmal.

Seperti firman Allah SWT:

أَقِيْمُوْا الصَّلاَةَ

“Dirikanlah shalat”

Maka nash yang seperti ini dikatakan Mujmal karena menunjuk kepada suatu makna yaitu “Shalat,” namun tidak bisa ditentukan apa yang dimaksud dengan “Shalat” dalam ayat ini dan bagaimana caranya. Sementara kita tidak mungkin bisa memutuskan apa maksud dari “Shalat” dan bagaimana tata caranya jika hanya bersandar dengan satu ayat ini saja. Oleh karena itu harus dicarikan suatu Mubayyin atau nash-nash lain yang menjelaskan apa maksud dari “Shalat” yang disebutkan oleh ayat di atas yaitu Hadis-hadis yang menjelaskan Kaifiyyah atau tata cara shalat Rasulullah Saw sehingga bisa disimpulkan bahwa maksud dari “Shalat” adalah suatu ritual tertentu dengan cara-cara tertentu yang kita kenal sekarang.

Demikian pula Hadis:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barang siapa yang melaksanakan Qiyamu Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka akan diampunkan baginya apa yang telah lalu dari dosa-dosanya.”

Meskipun Hadis ini dengan jelas menunjukkan adanya ampunan bagi orang yang melaksanakan Qiyamu Ramadhan, namun Hadis ini mengandung nash yang Mujmal yaitu susunan “قَامَ رَمَضَانَ” yang menunjuk suatu makna yaitu “Qiyamu Ramadhan” namun tidak bisa ditentukan apa maksudnya kecuali dengan melihat nash-nash lain yang menjadi Mubayyin atau penjelasnya.

Dengan kata lain, jika seandainya Hadis ini adalah satu-satunya Hadis tentang Qiyamu Ramadhan, maka kita tidak bisa melakukan ibadah Qiyamu Ramadhan tersebut karena tidak jelas apa yang dimaksud dengan Qiyamu Ramadhan kecuali setelah melihat kepada Hadis-hadis lain yang menjelaskan bagaimana tata cara Qiyamu Ramadhan Rasulullah Saw seperti halnya Hadis Aisyah R.A. yang disebutkan di awal tulisan ini.

Oleh karena Hadis di atas mengandung susunan yang Mujmal, maka tidak bisa dijadikan dalil bahwa Rasulullah Saw tidak membatasi jumlah rakaat Qiyamu Ramadhan atau Tarawih.

Dengan demikian klaim tidak adanya pembatasan jumlah rakaat yang dicetuskan Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. berdasar semata-mata kepada Hadis ini tidak bisa diterima, karena menyalahi kaidah Ushul Fiqh yang sudah disepakati para ulama.

Terlebih lagi jika hanya berdasar kepada Hadis ini semata-mata, bagaimana mungkin kita bisa mengatakan tidak ada pembatasan jumlah rakaat kalau kata Qiyamu Ramadhan saja kita tidak tahu apa yang dimaksud. Artinya, masih tersisa pertanyaan: “Apakah yang dimaksud dengan Qiyamu Ramadhan pada Hadis di atas?” Apakah suatu bentuk shalat, apakah seperti qurban, apakah mirip i’tikaf ataukah sejenis thawaf atau sekedar do’a saja atau bagaimana?

Jika ibadahnya saja tidak jelas apa yang dimaksud, bagaimana mungkin kita bisa menyimpulkan tidak ada pembatasan jumlah raka’at?

Kalau seandainya klaim tidak adanya pembatasan rakaat yang disebutkan Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. bisa diterima begitu saja, maka orang lain pun bisa mengatakan bahwa dengan Hadis ini juga dapat disimpulkan bahwa tidak ada pembatasan jumlah takbir, juga tidak ada pembatasan jumlah Fatihah, juga tidak ada pembatasan jumlah rukuk, jumlah sujud, jumlah salam dalam Qiyamu Ramadhan.

Kalau begitu halnya, maka seseorang tidak bisa disalahkan jika melakukan Qiyamu Ramadhan dengan diawali takbir 7 kali, lalu membaca Fatihah 3 kali, rukuk 5 kali, sujud 10 kali lalu diakhiri salam 20 kali pada setiap rakaat berdasar pada Hadis di atas yang memang tidak membatasi apapun.

Ini berarti Qiyamu Ramadhan itu bebas, tanpa aturan. Apa benar begitu?

Tidak cukup hanya bertentangan dengan kaidah Ushul Fiqh, klaim Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. tersebut juga bertentangan dengan Hadis yang mewajibkan kita shalat sesuai dengan tata cara shalat Rasulullah Saw berikut:

صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (H.S.R. Bukhari)

Yang secara umum juga mengharuskan kita melaksanakan Qiyamu Ramadhan sesuai tata cara Qiyamu Ramadhan Rasulullah Saw yang dijelaskan oleh Hadis Aisyah R.A. bahwa Rasulullah Saw tidak pernah melebihi 11 rakaat dalam Qiyamullail ataupun Qiyamu Ramadhannya.

Oleh karena itu, dalil pertama yang dibawakan Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. ini gugur dan tidak bisa dipakai untuk meniadakan batasan rakaat tarawih.

Adapun dalil yang kedua, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa Hadis Ubay bin Ka’ab R.A. ini bertentangan dengan Hadis Aisyah R.A. yang jauh lebih shahih sehingga teranggap sebagai hadits Syadz alias “nyeleneh” yang berarti lemah sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Apalagi ada riwayat yang menyebutkan bahwa Umar bin Khattab R.A. memerintahkan Ubay bin Ka’ab R.A. agar shalat 11 rakaat seperti yang sudah kami sebutkan yang meskipun Hadis ini dianggap bermasalah oleh Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. seperti yang disebutkan pada halaman 117, namun maknanya didukung oleh Hadis Aisyah R.A.

Karena tidak bisa dijadikan hujjah atau dalil, maka Hadis Ubay bin Ka’ab R.A. shalat 20 rakaat inipun gugur.

Adapun dalil yang ketiga, yaitu adanya Ijma’ shahabat, maka dengan sendirinya klaim tersebut gugur, karena Umar bin Khattab R.A. sendiri memerintahkan Ubay bin Ka’ab R.A. shalat tarawih 11 rakaat. Lalu bagaimana ada Ijma’ kalau terbukti ada perbedaan? Bagaimana kita bisa menyimpulkan bahwa seluruh shahabat sepakat shalat 20 rakaat kalau Khalifah Umar bin Khattab R.A. sendiri justru memerintahkan agar shalat 11 rakaat?

Kecuali jika maksud dari Ijma' shahabat ini adalah bahwa para shahabat sepakat tentang tidak adanya batasan rakaat pada shalat tarawih seperti yang disebutkan oleh Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. akan tetapi hal ini pun tidak bisa diterima karena Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. sendiri menyebutkan di halaman 66 bahwa Ijma' yang dimaksud adalah kesepakatan para shahabat untuk shalat 20 rakaat dengan merujuk pada komentar Imam Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni.

Kalaupun kita terima bahwa para shahabat sudah Ijma' atas shalat tarawih 20 rakaat, maka bisa disimpulkan bahwa shalat tarawih dengan jumlah rakaat melebihi 20 raka'at ataupun kurang dari 20 raka'at adalah menyalahi Ijma' dan tidak boleh dilakukan. Apakah begitu?

Talaqqi al-ummah bi al-qabul

Pada halaman 70 di bawah sub judul “KH. Ahmad Dahlan Shalat Tarawih 20 Rakaat” Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. menulis:

“Jadi shalat tarawih dua puluh rakaat dengan berjama'ah bukanlah bid'ah, melainkan merupakan sunnah Nabi Saw yang telah dilakukan dan hal itu diterima oleh umat Islam sejak masa Khalifah Umar bin al-Khattab sampai hari ini.”

Lalu beliau menyebutkan di halaman 71:

"Dan kenyataannya bahwa Shalat Terawih itu telah dilakukan dan diterima oleh umat Islam sejak masa shahabat sampai masa kini, yang dalam Ilmu Hadis disebut dengan talaqqi al-ummah bi al-qabul, merupakan suatu faktor yang memperkuat otentisitas Hadits shalat tarawih dua puluh rakaat itu."

Tanggapan kami:

Banyak contoh permasalahan yang bila dilihat sepintas seakan-akan menunjukkan adanya talaqqi al-ummah bi al-qabul atau diterima umat Islam tanpa ada perselisihan seperti perayaan Maulid Nabi Saw, tahun baru hijriyyah, Isra' Mi'raj, shalawat jama'ah setiap malam jum'at, yasinan, adzan 2 kali sebelum shalat Jum'at dan lainnya.

Kita ambil contoh adzan 2 kali sebelum shalat Jum'at yang jamak dilakukan orang. Jika kita lihat asal muasalnya, kita dapatkan dalam sejarah bahwa orang yang pertama kali memerintahkan hal tersebut adalah Utsman bin Affan R.A. dan tidak pernah dilakukan sebelumnya yang kemudian tersebar luas ke berbagai wilayah sehingga mengesankan adanya unsur talaqqi al-ummah bi al-qabul. Lalu apakah hal yang demikian ini kita terima begitu saja lalu kita katakan sunnah Rasul Saw?

Padahal untuk menentukan apakah ini sunnah Rasul Saw atau tidak kita harus melihat bagaimana Rasulullah Saw melakukannya atau setidaknya adakah taqrir atau persetujuan Rasulullah Saw akan suatu perbuatan atau ritual seperti ini. Jika tidak dijumpai Rasulullah Saw pernah melakukannya atau pernah mengizinkan para shahabat melakukan hal tersebut maka perbuatan atau ritual seperti ini tidak dapat diikuti meskipun seluruh umat Islam di dunia biasa melakukannya. Artinya, talaqqi al-ummah bi al-qabul semata-mata bukanlah dasar yang kuat untuk membenarkan sesuatu.

Oleh karena itu, ketika banyak dijumpai acara, ritual atau kebiasaan-kebiasaan yang banyak dilakukan masyarakat yang disandarkan kepada ajaran Islam, maka untuk menguji apakah hal-hal tersebut patut dilaksanakan atau tidak cukuplah kita bertanya: "Apakah pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw? Apakah Rasulullah Saw pernah menyetujui dan membenarkan?"

Jika Rasulullah Saw pernah melakukan atau menyetujui dan membenarkan maka hal tersebut sangat patut diikuti. Dan sebaliknya, jika Rasulullah Saw tidak pernah melakukan ataupun tidak pernah menyetujui dan membenarkan, maka hal tersebut tidak berhak untuk diikuti meskipun itu pernah dilakukan oleh ulama' besar, syeikh, atau bahkan shahabat sekalipun karena pada prinsipnya, seluruh ummat Islam hanya mengikuti satu qudwah saja yaitu Rasulullah Saw.

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيْهِ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري)

"Barangsiapa mengada-adakan dalam perkara kami ini (agama Islam) apa yang tidak termasuk di dalamnya maka ia itu tertolak." (H.S.R Bukhari).

Mufti Masjidil Haram berkunjung ke Bangil

Pada tanggal 25 Juni 2007, di masjid Manarul Islam Bangil digelar kajian Islam yang dipandu oleh Mufti Masjidil Haram Syeikh Dr. Abdurrahman Jail Al-Qassas yang juga dihadiri rombongan ulama' Makkah di antaranya Syeikh Yusuf Said Al-Ghomidi, MA -salah satu murid Syeikh bin Baz dan Syeikh Ibn Jibrin-, Syeikh Dr. Talal Muhammad Abu Al-Nur -Dosen Fakultas Dakwah Universitas Ummul Quro Makkah-, Syeikh Badr Ibrahim Al-Rajihi -Hakim Pengadilan Tinggi Makkah- dan beberapa ulama Makkah yang lain.

Pada saat sesi tanya jawab, seorang anggota jama'ah masjid Manarul Islam menanyakan tentang pelaksanaan shalat tarawih 20 rakaat di Masjidil Haram, lalu Mufti Masjidil Haram sebagai pembicara tunggal bertanya kembali dengan diterjemahkan oleh seorang penterjemah: "Bagaimana pelaksanaan shalat tarawih di masjid ini -masjid Manarul Islam, pen-?" lalu dijawab oleh si penanya bahwa shalat tarawih dilaksanakan rutin setiap malam dengan jumlah rakaat sebanyak 11 rakaat. Ketika jawaban tadi diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, spontan Mufti Masjidil Haram menjawab "Antum ahsanu minna" atau "Anda sekalian lebih baik dari kami."

Penggalan fakta di atas kami bawakan tidak untuk mendukung benarnya tarawih 11 rakaat, namun untuk mengembalikan fokus bahwa sebuah kesimpulan syar'i tidak didasarkan kepada Qoul Professor ini atau Professor itu, bukan mufti ini atau mufti itu dan bukan pula berdasar kepada perbuatan syeikh ini dan itu, namun didasarkan kepada dalil dan metode istimbath ushul fiqh yang sudah teruji. Wallahu A'lam Bish Shawab.

Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah lalu bisa disimpulkan beberapa hal:

  1. Rasulullah Saw tidak pernah shalat Qiyamu Ramadhan ataupun Qiyamul Lail lebih dari 11 rakaat berdasarkan Hadis Shahih riwayat Aisyah R.A.

  2. Hadits "Man Qaama Ramadhan..." tidak bisa dijadikan dasar untuk menghilangkan batasan rakaat tarawih.

  3. Hadits Mauquf yang menerangkan bahwa Ubay bin Ka'ab shalat tarawih 20 rakaat atas perintah Umar bin Khattab R.A. adalah Syadz karena bertentangan dengan Riwayat Aisyah R.A.

  4. Hadits Mauquf yang menerangkan bahwa Umar bin Khattab memerintahkan Ubay bin Ka'ab shalat tarawih 11 rakaat adalah Mahfuzh karena sesuai dengan Riwayat Aisyah R.A.

  5. Tidak ada Ijma' atas shalat tarawih 20 rakaat.

No comments:

Post a Comment

Terbaru

recentposts

Sementara Itu

randomposts