by Fatahillah
Sudah jamak dirayakan orang pada setiap 17 Ramadhan, suatu momen yang disebut sebagai Nuzulul Qur'an. Pada saat itu, diadakanlah ceramah-ceramah umum yang dihadiri ummat ini, baik pembesar ataupun rakyat dengan diawali pembacaan Al-Quranul Karim dengan gaya mujawwad layaknya musabaqah tilawatil qur'an.
Entah siapa yang pertama kali mengadakan perayaan Nuzulul Qur'an ini. Namun yang menarik adalah, mengapa tanggal 17?
Sesuai artinya, Nuzulul Qur'an berarti "Turunnya Al-Qur'an" yang bila kita padukan dengan informasi dari riwayat-riwayat yang menjelaskan hal ini, maka kita bisa bagi Nuzulul Qur'an menjadi 2 bagian, yang pertama yaitu Nuzulul Qur'an dari Al-Lauh Al-Mahfuzh yang kemudian dibawa oleh Jibril AS ke Baitul 'Izzah di langit dunia pada saat Lailatul Qadar. Yang kedua, Nuzulul Qur'an dari Baitul 'Izzah kepada Rasulullah SAW dengan perantaraan Jibril AS secara berangsur-angsur selama 23 tahun.
Demikianlah pendapat yang rajih tentang Nuzulul Qur'an.
Lalu manakah yang dirayakan ummat ini pada tanggal 17 Ramadhan?
Sesuai dengan fakta yang ada, masyarakat pada tanggal itu merayakan turunnya 5 ayat pertama dari surah Al-'Alaq yang merupakan 5 ayat pertama yang diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam melalui perantaraan Jibril AS, yang saat itu beliau sedang melakukan uzlah atau mengasingkan diri dari masyarakat di gua Hira'.
Kejadian ini dianggap luar biasa dan dianggap sebagai tonggak perubahan ummat Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam karena merupakan saat pertama kali beliau menerima wahyu yang berarti pula saat di mana beliau diangkat menjadi rasul.
Dalam peristiwa tersebut, terangkum dua hal besar, yang pertama adalah Nuzulul Qur'an dan yang kedua Bi'tsatu Muhammad atau pengutusan Muhammad sebagai Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam .
Kalau kita melihat dan mentelaah hadits-hadits beliau, kita akan jumpai bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dengan jelas memperingati hari penting tersebut. Dalam sebuah hadits shahih riwayat Muslim dari shahabat Abi Qatadah Al-Anshary disebutkan:
قَالَ وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الاِثْنَيْنِ قَالَ: ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَىَّ فِيهِ
Artinya: "Ia berkata: Dan beliau ditanya tentang puasa hari senin, beliau bersabda: Itu adalah hari aku dilahirkan dan hari aku diutus atau diturunkan wahyu atasku."
Yang bisa diambil kesimpulan bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menerima wahyu pertama ini pada hari senin dan pada hari itu pula beliau diutus menjadi rasul terakhir. Yakni Nuzulul Qur'an dan Bi'tsatur Rasul, dan beliau memperingatinya dengan cara berpuasa dan menjadi syari'at kita.
Lalu ulama' mencoba merekonstruksi kejadian besar ini dengan mencari kapan sebenarnya 5 ayat yang pertama itu turun yang kemudian mereka jumpai banyak riwayat yang berbeda-beda tentang kapan sebenarnya peristiwa ini terjadi yang menyebabkan perbedaan pendapat dalam penentuan tanggalnya.
Sebagian ada yang meyakini bahwa peristiwa tersebut terjadi pada bulan Rabiul Awal pada tanggal 8 atau 18, sebagian lainnya meyakini terjadi pada bulan Rajab pada tanggal 17 atau 27, dan yang lain percaya bahwa itu terjadi pada bulan Ramadhan pada tanggal 17, 21 dan 24.
Manakah yang paling tepat?
Kita kembalikan kepada dalil yang ada di atas bahwa tanggal apapun itu haruslah tepat hari senin yang kemudian kita cocokkan dengan informasi dari Al Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani di dalam Fathul Bari yang beliau menyebutkan bahwa Imam Al-Baihaqi telah mengisahkan bahwa masa wahyu mimpi (Ar-Ru'ya Ash-Shalihah) adalah 6 bulan yang terjadi pada bulan kelahiran beliau SAW yaitu bulan Rabiul Awwal ketika usia beliau genap 40 tahun. Kemudian permulaan turunnya wahyu dalam keadaan terjaga (Al-Wahyu Yaqzhatan) dimulai pada bulan Ramadhan.
Jadi intinya, harus bulan Ramadhan tepat hari senin.
Maka dari perhitungan hisab Falak, para ulama' menemukan bahwa tanggal untuk seluruh hari senin pada bulan Ramadhan tahun 40 setelah peristiwa Gajah adalah tanggal 7, 14, 21 dan 28 dan tidak ada tanggal 17, karena 17 Ramadhan tahun itu jatuh pada hari kamis.
Dari bukti ini saja kita bisa yakin bahwa peringatan Nuzulul Qur'an ini salah tanggal lalu meningkat menjadi salah kaprah. Meskipun ada riwayat yag mendukung tanggal 17 Ramadhan seperti yang biasa disebutkan dalam tafsir surah Al-Anfal ayat 41, namun tidak bisa kita terima karena jelas-jelas menyalahi sejarah berdasar ilmu Falak.
Kalaupun kita terima, kita bisa takwilkan bahwa maksud dari apa yang diturunkan Allah dalam ayat tersebut bukanlah ayat-ayat pertama di gua Hira' karena memang tidak ada dalil yang jelas yang menunjukkan hal itu.
Apakah boleh merayakannya?
Ada memang kelompok yang merayakan malam Nuzulul Qur'an ini meskipun tidak semeriah perayaan hari kelahiran Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ataupun malam Isra' dan Mi'raj beliau.
Kalau mau ditebak-tebak (sebab sulit menanyakan dalil syar'i kepada mereka), kemungkinan alasan bolehnya mengadakan perayaan ini adalah hadits tentang puasa senin di atas. Secara ringkas, logika yang mungkin dipakai (sebab sulit pula menanyakan istimbath kepada mereka) adalah: kalau Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam saja merayakan maka kita sebagai ummatnya mestinya juga boleh merayakannya.
Logika seperti itu sebenarnya logika yang sah-sah saja yang dalam khazanah ilmu Ushul Fiqh disebut para ulama' sebagai Qiyas -yang sangat mirip dengan Silogisme Kategorial dalam ilmu logika- dan untuk hal ini mereka tidak asal-asalan menerima semua Qiyas tanpa memperhatikan rukun dan syaratnya.
Qiyas dalam ilmu Ushul Fiqh harus memenuhi 4 rukunnya yaitu: Al-Ashlu, Al-Hukm, Al-Maqiis dan Al-'Illah atau secara sederhana bisa disebut sebagai "Pijakan asal" atau bolehlah disebut Premis Mayor, "Aturan dari ijakan asal" atau Konklusi, "Yang diqiyas atau yang dianalogikan" atau Premis Minor dan "Penyebab atau ciri khas" atau Term Penengah/Middle Term.
Dalam Qiyas di atas, yang menjadi "Pijakan asal" adalah bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam merayakan hari senin yang salah satu sebabnya adalah karena hari itu diturunkan kepada beliau wahyu pertama.
Kemudian yang menjadi "Aturan dari Pijakan asal"-nya adalah bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam melakukan puasa untuk merayakannya.
Kemudian "yang diqiyaskan" adalah perayaan Nuzulul Qur'an yang dilakukan sebagian masyarakat hingga hari ini dengan alasan atau "Penyebab" yang sama dengan apa yang dilakukan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yaitu sama-sama merayakan.
Secara sepintas logika ini masuk akal, karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam merayakan, maka umatnya PASTI boleh juga merayakan, yang berarti perayaan Nuzulul Qur'an itu adalah sunnah atau syari'ah yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
Dan kalau kita lihat lebih teliti, qiyas tersebut di atas adalah qiyas tak sempurna sebab tujuan qiyas sebagaimana dijelaskan dalam ilmu Ushul Fiqh adalah mencari hukum dan aturan atas sesuatu yang tidak pernah ada dalilnya berdasar kemiripan yang ada.
Sayangnya, Qiyas di atas membawakan dua hukum/aturan atau dua konklusi yang berbeda. Yang pertama membawakan hukum sunnahnya berpuasa, yang kedua membawakan hukum bolehnya merayakan. Artinya Qiyas ini tidak menemukan tujuannya.
Mestinya, setelah proses qiyas, ditemukanlah tujuan qiyas yaitu ditemukannya hukum atas sesuatu yang belum ada hukumnya. Maka, sudah semestinya hukum atau aturan dari sesuatu yang diqiyas menjadi sama dengan pijakan asal, yang berarti jika memang ummat ini sama-sama merayakannya sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam merayakannya, maka aturan perayaannya harus sama yaitu sama-sama melakukan puasa dan bukan dengan ceramah umum atau dengan ritual-ritual tertentu.
Lebih jelas lagi, kalau mau qiyas yang baik sesuai dengan ilmu Ushul Fiqh yang baik, maka mestinya qiyas tersebut berbunyi: jika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam merayakan hari senin (yang menjadi waktu turunnya wahyu yang pertama/Nuzulul Qur'an) dengan berpuasa, maka semestinya pula kaum muslimin juga merayakan Nuzulul Qur'an dengan BERPUASA.
Di sini, yang menjadi Al-Ashlu adalah hari senin, adapun Al-Hukm-nya adalah berpuasa, kemudian yang menjadi Al-Maqiis adalah malam Nuzulul Qur'an dengan illat yaitu sama-sama waktu Nuzulul Qur'an, maka konklusinya adalah: dirayakan dengan BERPUASA.
Nah, inilah qiyas yang sempurna yang memenuhi rukun-rukun yang disebutkan oleh 'ulama Ushul Fiqh yang dengan mudah kita bisa mengatakan bahwa ini mengikuti sunnah dan syari'at.
Yang menjadi masalah kemudian, apakah boleh kita berpuasa pada malam Nuzulul Qur'an?
Tentu tidak ada seorangpun yang waras dari kaum muslimin yang menyatakan bolehnya hal tersebut meskipun berdasar qiyas yang sempurna di atas, sebab ilmu Ushul Fiqh juga menyebutkan bahwa Qiyas baru dapat diterima jika tidak menyelisihi nash yang jelas tentang hal yang sama.
Nah dalam hal ini, hadits di atas adalah nash yang menetapkan apa yang harus dilakukan untuk merayakan hari senin yang merupakan hari dilahirkannya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, sekaligus hari diutusnya beliau juga hari diturunkannya wahyu pertama kali kepada beliau (Nuzulul Qur'an). Oleh karena itu, Qiyas apapun, baik sempurna ataupun tidak sempurna yang berkenaan dengan Nuzulul Qur'an adalah bertentangan dengan nash sehingga tidak dapat diterima sama sekali sebagai dasar untuk memperbolehkan perayaan malam Nuzulul Qur'an.
Oleh karena itu pula, bagi kaum muslimin yang mengaku mengikuti jalan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan hendak merayakan Nuzulul Qur'an -kalau boleh dikatakan demikian-, lakukanlah dengan berpuasa sunnah pada hari senin sebagaimana hadits yang disebutkan di awal pembahasan ini. Dengan demikian, barulah kita bisa mengatakan bahwa kita merayakan Nuzulul Qur'an dengan cara Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
Wallahu A'lam Bish Shawab...
No comments:
Post a Comment